Geguritan Koh Hwat di Punggung
Kaus<http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/12/04430972/geguritan.koh.hwat.di.punggung.kaus>

Jumat, 12 Februari 2010 | 04:43 WIB

Jika di Ranah Minang, Padang, Sumatera Barat, dikenal Christine Hakim yang
menuangkan pantun di atas kaus (Kompas, 8/2), di Kota Gudeg, Yogyakarta,
juga ditemukan sosok yang berbuat serupa. Dia adalah Koh Hwat. Keduanya
sama-sama pengusaha sekaligus warga keturunan Tionghoa.

Yang membedakan hanyalah tulisan pada kaus. Christine Hakim menuliskan
pantun, sedangkan Koh Hwat mencoretkan geguritan atau sajak dalam bahasa
Jawa.

Pinasthi/apa bener kagaris pinasthi/yen watuk iku bisa ditambani/ning nek
watak digawa tekaning pati/ mulane ninggala karma sing sejati/uga ora methik
gela ing panguripan iki/lan tetep sumeleh kalihan ajaraan gusti.

Demikian tertulis dalam kaus warna merah hati dengan judul ”Pinasthi” atau
pinilih kang mesthi dengan terjemahan bebas ’pilihan yang sudah pasti’.

Meski belum ditabalkan sebagai seorang penyair berkelas nasional, Koh Hwat
yang tanggal 10 Februari lalu berulang tahun ke-58 menekuni geguritan sejak
bulan April 1999. Terhitung sampai sekarang, ia telah menulis ratusan judul
geguritan. Jika ditambah sajak dalam bahasa Indonesia dan Inggris, karya Koh
Hwat lebih dari 1.800 judul.

Sajak dalam bahasa Jawa yang dikenal dengan sebutan geguritan itulah yang
kemudian ia abadikan lewat tulisan di atas kaus dan ditujukan untuk umum.

Oleh berbagai kalangan, kepiawaian Koh Hwat menulis geguritan cukup
mencengangkan mengingat ia seorang keturunan Tionghoa yang terlahir di
Yogyakarta dengan nama Oei Tjhian Hwat, kemudian berganti nama menjadi
Handoyo Wibowo lewat proses naturalisasi.

”Saya mampu berbahasa Jawa karena pergaulan saya dengan staf dan karyawan
saya yang nyaris keseluruhan dari etnis Jawa,” tutur Koh Hwat. Tentang
kelihaian menulis geguritan itu sendiri, bapak dua anak yang di kotanya,
Yogyakarta, dikenal sebagai pemilik tiga toko fashion dan pengelola sebuah
pabrik rokok tersebut, diperoleh secara otodidak.

*Ponsel*

Ketika ditemui, Koh Hwat tengah duduk di ruang tamu di rumahnya di bilangan
Kampung Nitidipuran, sisi barat Jalan Malioboro, Yogyakarta. Tangan Koh Hwat
terlihat memegang telepon seluler dengan bungkus warna perak.
Sebentar-sebentar kepalanya mendongak ke atas, kemudian jari-jemarinya
menekan tuts ponsel. Setelah susunan kata demi kata di ponsel terlihat rapi,
Koh Hwat pun langsung mengirim lewat sarana pesan pendek ke alamat stafnya
yang berkantor di Jalan Jenderal A Yani, Yogyakarta, sekitar 2 kilometer
dari Nitidipuran ke arah timur. Oleh anggota stafnya, pesan pendek itu
kemudian diketik ulang di atas kertas dan didokumentasikan.

Itulah sekelumit proses kreatif Koh Hwat saat menyusun sajak atau geguritan.
Begitu ia memperoleh ilham, secepat kilat ia meraih ponsel dan menuangkan
idenya ke dalam ponsel. Jika tempat tak memungkinkan, karena masih di jalan
atau ada kesibukan lain yang tak bisa ditunda, ia baru menyempurnakan
susunan kalimat demi kalimat tersebut setiba di rumah.

”Dengan merenung saat mencari inspirasi, di situlah Tuhan membisikkan muatan
dalam bentuk sinyal-sinyal. Melalui latihan keterampilan serta
bimbingan-Nya, terbitlah karya tersebut dalam bentuk sajak atau geguritan,”
tutur Koh Hwat.

Ia berkata lagi, ”Sebagai bukti dan kejadian yang saya rasakan, yaitu waktu
membaca sajak atau geguritan tersebut, dalam hati saya bertanya, apakah
karangan ini adalah karangan saya. Di situlah timbul kesadaran bahwa
keterbatasan ternyata muncul terealitas dengan kekurangan yang saya miliki.”

*Tiga buku*

Koh Hwat, seperti ditunjukkan oleh tiga buku yang telah diterbitkan,
berturut-turut tahun 2000 berisi 99 judul sajak dan geguritan, kemudian 2002
berisi 333 judul sajak/geguritan, dan buku ketiga terbit tahun 2009 berisi
999 judul sajak/geguritan.

Yang istimewa, semua sajak/geguritan dalam buku pertama ditulis tangan,
bukan huruf ketik komputer. ”Saya masih sanggup menulis tangan karena hanya
berjumlah 99 judul. Ketika diminta menulis lagi untuk buku kedua dan ketiga,
saya tak sanggup, mengingat jumlahnya sudah sedemikian banyak,” tutur Koh
Hwat. Beruntung tulisan tangan Koh Hwat sangat bagus dan sangat rapi
sehingga mudah dibaca.

”Padahal, ketika duduk di bangku kuliah, saya jarang menulis kecuali
menghitung, menghafal, dan mencoret-coret rumus kimia,” tutur Koh Hwat yang
pernah duduk di Fakultas Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada. Latar
belakang pendidikan eksakta ini menjadikan isi geguritan dan sajak karya Koh
Hwat terlihat ringkas, padat, dan jelas.

Buah karya Koh Hwat berupa sajak dan geguritan yang semula hanya untuk
kalangan sendiri, sejak tahun 2000 bisa dinikmati oleh para pencinta sastra
menyusul perkenalannya dengan Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Yogyakarta Bambang Widiatmoko.

Bambang melukiskan: ”... di tengah keheningan malam di batas utara kota
Yogyakarta, saya kedatangan seorang tamu yang mengesankan. Mengesankan,
karena dia adalah seorang warga keturunan Tionghoa yang lebih Jawa dan
Indonesia dibandingkan dengan saya sendiri”.

Lebih jauh Bambang berkata, melalui beberapa kali pertemuan yang akrab,
mereka mendiskusikan sajak-sajak yang ditulis Koh Hwat. Namun, belum pernah
satu karya pun dipublikasikan di media massa. Yang lebih mengejutkan, Koh
Hwat juga piawai dalam menulis geguritan, sebagai salah satu bentuk
kecintaannya terhadap budaya Jawa.

Atas dorongan Bambang, kumpulan sajak dan geguritan karya Koh Hwat kemudian
dimasyarakatkan KSI Yogyakarta lewat tiga buku yang sama-sama diberi judul
Nurani Peduli. Pencinta sastra pun gempar sehubungan isi buku tersebut
ditulis oleh seorang pengusaha yang notabene keturunan Tionghoa.

”Di sela-sela hiruk-pikuk Malioboro yang terasa kian padat dan kehidupan
yang bergegas, di sana saya menemukan mata air yang menyejukkan, yakni
bertambahnya seorang penulis sajak dan geguritan,” tulis Bambang dalam kata
pengantar buku Nurani Peduli edisi pertama (2000).

*Penuh ajaran dan nilai*

Kehadiran Koh Hwat di jagat sastra Jawa, khususnya geguritan, cukup menarik
lantaran karya-karyanya mengandung nilai, ajaran, dan filosofi Jawa. Bahkan
sejumlah pengamat sastra dan budaya Jawa menilai geguritan Koh Hwat
merupakan ungkapan untuk mbabar rasa Jawa dan ndangir tresna.

Maksudnya, geguritan karya Koh Hwat banyak menguraikan rasa yang nJawani dan
menumbuhsuburkan katresnan. Namun, katresnan yang muncul lewat geguritan Koh
Hwat tidak sekadar cinta asmara, tetapi lebih pada kasih sayang kepada
sesama manusia dan penggugah kepedulian kepada pihak lain.

”Kelebihan lain adalah penerapan konvensi persajakan yang sangat ketat, baik
dalam sajak maupun geguritan,” tutur Joko Budiarto dalam KRjogja.com.

Doktor Damardjati Supadjar dari Fakultas Filsafat UGM berkata, membaca sajak
dan geguritan Handoyo Wibowo seolah-olah orang tengah menatap gurat ungu
mentari pagi: semua serba penuh harapan. Di sisi lainnya, pembaca dibawa ke
nuansa tengah malam, ketika panorama di langit bertabur bintang dan
samar-samar di celah-celahnya tampak perkasa bayangan lintang Bima Sakti.
Sulamannya unik, bukannya dengan menambah benang. melainkan demi keindahan
di baliknya, kain yang rapat dibuat transparan.

”Nuraninya yang penuh peduli merupakan serat-serat baru bagi babad
kesusastraan Indonesia,” katanya.

Geguritan Koh Hwat ternyata tak hanya berhenti ditulis di punggung kaus dan
dibukukan, tetapi juga dilestarikan lewat ”Tembang Jawa Pitutur” yang
direkam ke dalam VCD.

Kamulyaning urip iku kudu dikebaki apike laku/Isih diangeti tutur kang
tinemu/Dumunung sumelehe mlebu/Sumringah ing tentreme kalbu....

Terjemahan bebasnya kira-kira: kemuliaan hidup itu harus dipenuhi jalan
baik, sekaligusdihangatkan dengan tutur bahasa yang runtut. Ini bisa membuat
ketenteraman hati. (POM)

Kirim email ke