Tarian Anak Kepala Suku Satu per satu, Datuk melepas simbol-simbol kebesarannya sebagai pemimpin adat dan masyarakat ke dalam kolam. Dimulai dari ikat kain di kepala, tongkat kayu berujung lengkung, lalu baju, dan terakhir tubuhnya sendiri. Tanpa sepatah kata pun, istrinya menyusul untuk menolong lelaki tua itu agar tak mati tenggelam. Tak berhenti sampai di situ, Datuk yang lunglai pun dibopongnya. Awalnya Datuk dibopong dalam posisi terbalik, dengan punggung melekat dan kaki berada dipundak istrinya. Setelah keluar dari kolam, dalam satu gerakan lambat tubuh Datuk berputar 180 derajat sambil bertumpu di punggung istrinya. Ia lalu meringkuk dalam dekapan perempuan tua itu yang terus berjalan belasan langkah dari kolam menuju rumah adat. Di atas dipan kayu, tubuh Datuk terbujur basah. Adegan itu merangkum inti cerita dalam drama tari kolosal berjudul Deta Datuak karya koreografer Alfiyanto. Deta adalah simbol kepemimpinan di Minangkabau, sedangkan Datuak berarti pemimpin suku. Deta Datuak berkisah tentang beban dan derita yang dipikul seorang Datuk (Alfiyanto) ketika tubuhnya ringkih digerogoti kanker ganas. Jabatannya pun berangsur-angsur merosot ketika masyarakat yang selama ini diurusi kepentingannya, berpaling tak peduli. Alih-alih menjenguk apalagi menolong, para pemimpin suku lainnya malah berkumpul membahas calon pengganti Datuk sampai bersitegang mengadu tongkat. Penolong Datuk hanyalah istri dan anak-anaknya. Istrinya yang dimainkan oleh Yeni Yuanita, adalah perempuan lemah lembut, sabar, setia, sekaligus perkasa demi membela simbol kebesaran Datuk yang terinjak-injak. Datuk sendiri hidup merana, kesepian, dan putus asa hingga ajal menjemput. Cerita getir itu diangkat dari kisah nyata almarhum Datuk Kodoh Marajo, ayah Alfiyanto. Mengangkat persoalan tentang hilangnya empati dan nurani manusia kepada sesama, putra Minang berusia 42 tahun itu secara khusus ingin menggugat adat tanah kelahirannya yang dianggap tak sesuai zaman. Contohnya kedudukan pemimpin suku itu. Menurutnya, seorang Datuk yang terpilih turun temurun, bertanggung jawab memimpin dan mengurusi warganya. Pekerjaan, wilayah, dan jabatannya seperti seorang camat. Ikut mengurus dan menjaga tanah adat, namun seorang Datuk tak gampang memiliki sebagian lahannya untuk tempat menetap dan hanya boleh dipakai sementara. "Banyak Datuk yang hidupnya miskin dan berpindah-pindah rumah, padahal beban pekerjaannya berat," katanya. Kalau pun warga berbaik hati memberinya rumah, hunian itu kelak bakal jatuh ke pihak perempuan. Adat matrilineal yang menguatkan garis ibu itu sangat berkuasa. Pementasan selama satu jam lebih pada Minggu (4/4) malam lalu itu tampil memukau. Tanpa dialog antar pemain, karya tugas akhir magister penciptaan tari Alfiyanto di Institut Seni Indonesia Surakarta itu mengandalkan bahasa tubuh 52 pemain dan penari berkostum adat. Tarian kontemporer yang dibuatnya dari tarian daerah tersebut merupakan simpanan kreasinya selama bertahun-tahun. Adapun narasi berbahasa Padang yang sempat muncul sesekali hanya untuk mengentalkan nuansa Minangkabau saja. Dengan berbagai variasi, gerakan dan adegan yang juga kaya makna kiasan itu kerap diulang-ulang. Arak-arakan belasan orang berpakaian adat lengkap dengan alat musik seperti terompet dan gamelan yang tiga kali melewati Datuk misalnya, ingin menunjukkan pengabaian masyarakat kepada pemimpinnya. Demikian juga adegan pada saat lima lelaki berpakaian kepala suku berkumpul di rumah adat dan memancing di kolam, menggambarkan usaha pencarian pimpinan adat baru pengganti Datuk. "Karena tak mudah menyampaikan cerita dengan gerakan tubuh," kata dosen Jurusan Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)Bandung itu. Bermain di ruang terbuka Teater Kebun, Alfiyanto menyulap kebun belakang STSI Bandung seluas lapangan bulutangkis itu sebagai kampung adat. Memakai saung sebagai surau dan kolam yang sudah ada, rumah adat dibangun di atas panggung bagian belakang Gedung Kesenian Sunan Ambu. Seluruh dindingnya terbuat dari bambu dan gedek yang sengaja dibolongi besar dan tersebar di mana-mana. Penonton pun cukup leluasa melihat setiap adegan di dalam rumah tersebut. Kondisi aslinya, kata dia, rumah adat selalu didampingi surau dan kolam. Sebelumnya, ia sempat mencari lokasi ke sejumlah tempat seperti Selasar Sunaryo, namun tidak ada yang cocok. "Sengaja pilih di luar gedung supaya ada suasana berbeda," katanya. Drama tari yang dirancangnya sejak November tahun lalu itu juga menyesuaikan kontradiksi dalam cerita dengan properti. Misalnya air kolam dengan puluhan lampu sentir yang dipasang di sekeliling kebun. Alfiyanto juga memakai hujan buatan walau hujan asli yang turun sebelum pertunjukan sempat membuat para pemain ketar-ketir. Awalnya ia berencana mementaskan Deta Datuak di Padang. Rencana itu urung karena biayanya terlalu mahal. Untuk ujiannya malam itu, Alfiyanto harus mencari uang Rp 50 juta lebih. Paling besar untuk biaya makan dan minum pemain tiap kali latihan. Untungnya, seluruh pemainnya adalah karyawan dan mahasiswa STSI Bandung yang rela dibayar dengan ucapan terima kasih. "Tapi untuk dokumentasi film dan foto belum dibayar," ujarnya. Seusai pentas, Alfiyanto langsung berganti pakaian. Malam itu juga ia menjalani sidang dihadapan 4 dosen penguji. Di dalam ruangan selama sekitar 1,5 jam, ia mengaku karyanya tidak dibantai. Malah ketua tim penguji sampai tak bisa berkata apa-apa. Kesalahan justru pada tesisnya. "Kalimatnya banyak kurang koma atau titik," katanya. Senyumnya mengembang setelah pimpinan kelompok tari kontemporer Wajiwa Bandung Dance Theatre itu dinyatakan lulus cum laude. (Anwar Siswadi/Tempo)