Merayakan Budaya "Panginyongan"

Lama sudah masyarakat Banyumas, Jawa Tengah, terpinggirkan sebagai ”wong 
ngapak-ngapak” yang kampungan. Kini, mereka bangkit dengan percaya diri pada 
budaya ”panginyongan.” Coba kita lacak dulu asal-usul Banyumas. Tri Atmo (70), 
wartawan sepuh dan penyiar Radio Tunggul Purbalingga, punya catatan menarik 
dalam buku Mengenal Purbalingga, Banyumas (1993) dan Kilas Sejarah 
Purbalingga-Banyumas (2008). Menurut dia, Banyumas sekarang bermula dari 
Kadipaten Wirasaba.
Daerah itu menjadi taklukan zaman Majapahit, kemudian Kerajaan Pajang. Di sini, 
kemudian berdiri Kadipaten Banyumas tahun 1582 dan masuk dalam kekuasaan 
Kerajaan Mataram dan kemudian Kasunanan Surakarta. Seusai pemberontakan 
Pangaren Diponegoro tahun 1830, kabupaten ini masuk dalam kekuasaan Belanda dan 
ditetapkan sebagai karesidenan. ”Lama sekali Banyumas jadi daerah taklukan,” 
kata Tri Atmo.
Menurut budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, posisi sebagai daerah taklukan 
membuat Banyumas terpinggirkan. Istilahnya, adoh ratu, cedhek watu: jauh dari 
keraton, lebih dekat dengan batu atau alam pedesaan. ”Wilayah ini berkembang 
sepenuhnya dalam budaya wong cilik,” katanya. Menggeliat dalam kultur 
pertanian, masyarakat di sini menjadi lebih terbuka dan tanpa kelas alias 
egaliter. Tak mementingkan sopan santun berlebihan, perilaku dan bahasanya 
cenderung cablak, apa adanya. Karakter semacam itu mirip Bawor, tokoh bayangan 
Semar, dalam gagrag Banyumasan. Sosok ini selalu diceritakan sebagai orang yang 
jujur, lugas, dan tak bersembunyi di balik kata-kata yang dilembut-lembutkan, 
eufimisme.
Karesidenan Banyumas itu terus berkembang dengan wilayah mencakup Kabupaten 
Banyumas (dengan ibu kota Purwokerto), Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap. 
Saat Indonesia merdeka, kawasan ini masuk Provinsi Jawa Tengah. Hanya saja, 
pada masa Orde Lama dan kemudian Orde Baru, budaya wong cilik itu juga masih 
tertekan. Di bawah kekuasaan Orde Baru yang berorientasi feodal Jawa keraton, 
rakyat Banyumas diremehkan dengan sebutan ”wong ngapak-ngapak”. Bahasanya yang 
ngoko, banyak berakhiran ”a”, serta terdengar kasar dan medhok itu dipandang 
lebih rendah ketimbang bahasa Jawa halus keraton seperti di Solo dan Yogyakarta.
Terlebih, bahasa ”ngapak-ngapak” itu juga dipakai pelawak di televisi sebagai 
bahan tertawaan. Semua itu semakin mendorong budaya rakyat itu terpuruk. 
”Saking mindernya, sebagian orang Banyumas sendiri menyembunyikan budaya 
aslinya. Dengan segala cara, mereka mendekatkan diri pada budaya Jawa keraton,” 
kata Tohari, yang juga pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Berubah
Reformasi tahun 1998 mengubah peta politik Indonesia menjadi lebih terbuka. 
Kebebasan yang menyeruak bersamaan dengan laju otonomi daerah dan pemilihan 
kepala daerah secara langsung pelan-pelan menerbitkan kepercayaan diri 
masyarakat di daerah, termasuk Banyumas. Sejak awal tahun 2000-an, meletup 
gairah untuk membangkitkan kembali budaya lokal.
Muncul beberapa paguyuban yang terang-terangan menghidupkan kembali budaya 
Banyumasan. Sebut saja, antara lain, kelompok Serulingmas (Seruan Eling 
Banyumas), Paguyuban Kerukunan Keluarga Banyumas (KKB), Pakudimas (Paguyuban 
Keluarga Dialek Banyumas), Yayasan Sendang Mas, atau Keluarga Mahasiswa 
Banyumas.
”Semua kelompok itu, baik yang bermarkas di sini atau di kota lain, berusaha 
membangun kembali budaya enyong wong Banyumas,” kata Tohari. Dia sendiri 
menerjemahkan beberapa novelnya dalam bahasa Banyumas dan menjadi pemimpin 
redaksi majalah berbahasa Banyumas: Ancas, Kalawerta 
Panginyongan.
Kemajuan teknologi dan informasi dimanfaatkan kaum muda untuk mengukuhkan rasa 
percaya diri pada budaya lokal. Beberapa radio menghidupkan siaran berbahasa 
lokal, sejumlah penggiat dunia maya membuat blog Banyumasan di internet. 
Kelompok yang melek video memproduksi film independen yang merekam kehidupan 
rakyat. ”Kehadiran kelompok-kelompok pembuat film tahun 2000-an, dan kemudian 
Festival Film Purbalingga sejak tahun 2007 turut memperkokoh barisan penggiat 
budaya Banyumas,” kata Dimas Jayasrana, programmer Festival Film Purbalingga, 
yang merintis pembuatan film lokal Banyumas.
Film-film lokal di situ memang akhirnya berwajah sangat Banyumas. Tak hanya 
mengangkat kehidupan, problem, dan lingkungan lokal, mereka tak sungkan-sungkan 
merayakan bahasa ”ngapak-ngapak”. Ini tentu menyempal dari wajah seragam film 
nasional yang kekota-kotaan atau tayangan sinetron di televisi yang mengumbar 
kemewahan. ”Lewat film, kami menjadi merasa percaya diri sebagai wong 
Banyumas,” kata Amrizal (15), penggiat film dari SMA I Bogasari, Purbalingga.
Kerakyatan
Kini, masyarakat setempat terus mengentalkan jati dirinya sebagai wong 
Banyumas. Dalam proses itu, mereka memperoleh hal-hal positif yang dulu 
tenggelam. Bahasa ”ngapak-ngapak” yang sempat dicap rendah itu, misalnya, 
ternyata sebenarnya justru merupakan bahasa Jawa yang lebih asli. Menurut 
Budiono, dalam buku Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak (LKIS, 2008), 
bahasa itu termasuk Jawidwipa atau bahasa Jawa masa awal.
Bahasa itu masih mempertahankan akhiran vokal ”a”, mirip lafal aksara 
hanacaraka. Konsonan diucapkan dengan tajam dan tegas. Kosakatanya tak banyak 
mengenal kelas, lebih berkisar pada ngoko lugu. Ini berbeda dengan bahasa Jawa 
Solo dan Yogyakarta yang berakhiran ”o”. Bahasa yang dicap adiluhung ini adalah 
bahasa bandhekan, hasil perkembangan lanjutan dari bahasa Jawa asli. ”Bahasa 
ini tumbuh pada zaman Kerajaan Pajang (abad ke-16),” catat Budiono.
Gairah kebangkitan budaya Banyumasan akhirnya membebaskan mereka dari 
kungkungan budaya keraton. Dengan perilaku dan bahasa yang egaliter, terbuka, 
dan apa adanya, mereka menemukan diri sebagai rakyat yang bersahaja. Ini 
berbeda dengan budaya keraton yang kompleks, penuh eufimisme, dan berkelas 
sosial yang rumit. ”Spirit budaya Banyumas itu sangat berorientasi pada 
kerakyatan. Ini modal baik yang bisa dimatangkan untuk membangun demokrasi di 
negeri ini,” kata Ro’fah Mudzakir, pengamat sosial asal Banyumas yang menjadi 
kandidat doktor di School of Social Work, Montreal, Kanada. (Ilham 
Khoiri/Kompas)


      

Kirim email ke