ada ayat seperti ini:
Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada dalam surga dan
kenikmatan, (QS. 52:17)

ah...
engga nyambung, jadi lupakan saja.

salamun alal mursalin

si awam.


On 12/15/05, cinta saja <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Pak Dosen yang baik,
>
> Berikut ada sebuah jawaban ...
> Silakan dicerna, yah ...  Jangan asal menuduh, nggak baik seperti itu ...
>
> Salam,
> Hidayat
>
> =====
>
> Dalam Al-Qur'an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali
> dalam berbagai ayat dan surat . Tentu saja, sebagai janji dan
> peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits
> Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar
> formalisme ayat atau teks hadits saja.
> Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur'an disebut beberapa kali bentuk
> takut itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata
> Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan
> Allah Ta'ala yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu
> sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta'ala. Makna
> takut dengan penyebutan yang berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi
> yang berbeda pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang
> berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan
> frekwensi dan derajat keimanan seseorang.
>
> Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka.
> Penekanan-penekanan kata Naar dalam Al-Qur'an juga memiliki struktur
> hubungan yang berbeda. Naar disebutkan untuk orang kafir, memiliki
> tekanan berbeda dengan orang munafik, orang fasik, dan orang beriman
> yang ahli maksiat. Itu berarti berhubungan dengan kata Naar, yang
> disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka Jahim, Neraka
> Jahanam, Neraka Sa'ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan penyebutan kata
> Naar yang tidak disandarkan pada sifat dan karakter neraka tertentu.
>
> Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi zalim, karena
> faktanya tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar
> dari segi hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika
> seseorang memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.
>
> Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka
> yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah,
> "Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah" dengan ayat yang
> sering kita baca, "Waqinaa 'adzaban-Naar," memiliki dimensi berbeda.
> Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, karena
> didahului dengan panggilan Ilahi "Wahai manusia". Maka Allah langsung
> membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa
> seorang beriman, "Lindungi kami dari siksa neraka," maknanya sangat
> berbeda. Karena yang terakhir ini berhubungan dengan kualifikasi
> keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah Azabnya
> neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti
> api yang membakar Ibrahim as.
>
> Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya
> hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa
> seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin
> dijauhkan neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kualifikasi
> keikhlasannya di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai
> Ikhlas, sebagai Ruh amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi
> Ta'ala. Tetapi kalau punya harapan lain selain Allah termasuk di sana
> harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk kenikmatan fisik dan siksa
> fisik, itu juga diterima oleh Allah. Namun, kualifikasinya adalah
> bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling rendah.
>
> Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik
> untuk menjelaskan dirinya, syurga maupun neraka. Kaum Sufi memilih
> perumpamaan paling hakiki, karena perumpamaan neraka yang paling
> rendah sudah dilampauinya. Sebagaimana kualitas moral seorang pekerja
> di perusahaan juga berbeda-beda, walau pun teknis dan cara kerjanya
> sama.
>
> Orang yang bekerja hanya mencari uang dan untung, tidak boleh mencaci
> dan mengecam orang yang bekerja dengan motivasi mencintai pekerjaan
> dan mencintai direktur perusahaan tersebut. Walau pun cara bekerjanya
> sama, namun kualitas moral dan etos kerjanya yang berbeda. Bagi
> seorang direktur yang bijaksana, pasti ia lebih mencintai pekerja yang
> didasari oleh motivasi cinta yang luhur pada pekerjaan, perusahaan dan
> mencintai dirinya, disbanding para pekerja yang hanya mencari untung
> be laka, sehingga mereka bekerja tanpa ruh dan spirit yang luhur.
>
> Karena itu syurga pun demikian. Persepsi syurga bagi kaum Sufi
> memiliki kualifikasi ruhani dan spiritual yang berbeda dengan persepsi
> syurga kaum awam biasa. Hal yang sama persepsi mengenai bidadari. Bagi
> kaum Sufi bidadari yang digambarkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah, adalah
> Tajalli (penampakan) sifat-sfat dan Asma Kemahaindahan Ilahi, yang
> tentu saja berbeda dengan kaum awam yang dipersepsi sebagai kenikmatan
> bilogis seksual-hewani.
>
> Syurga bagi kaum Sufi adalah Ma'rifatullah dengan derajat kema'rifatan
> yang berbeda-beda. Karena nikmat tertinggi di syurga adalah Ma'rifat
> Dzatullah. Jadi kalimat Rabi'ah Adawiyah tentang ibadah tanpa
> keinginan syurga adalah syurga fisik dengan kenikmatan fisik yang
> selama ini kita persepsikan. Dan hal demikian memang bisa menjadi
> penghalang (hijab) antara hamba dengan Allah dalam prosesi
> kema'rifatan.
>
> Bahkan Allah pun membagi-bagi syurga dengan symbol berbeda-beda, ada
> Jannatul Ma'wa, Jannatul Khuldi, Jannatun Na'im, Jannatul Firdaus,
> yang tentu saja menunjukkan kualifikasi yang bersifat lahiriyah maupun
> bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih bergelimang dengan nafsunya,
> maka perspesi tentang nikmat syurga, adalah pantulan nafsu hewaninya
> dan syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan
> dengan rasa nikmat syurgawi yang identik dengan syahwatiyah.
>
> Rabi'ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan
> hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa
> menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang
> indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan
> makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk
> menentukan kualifikasi kesyurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk
> syurganya. Karena hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan
> kita masuk syurga. "karena Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian
> bergembira…" Demikian dalam Al-Qur'an. Bukan gembira karena syurgaNya.
>
> Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang bisa wushul
> (sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju
> makhluk? Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan
> roda gilingan, yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan?
> Nah anda bisa merenungkan sendiri, betapa tudingan-tudingan mereka
> yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, bisa
> terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang.
>
> Hanya mereka yang tolol dan bodoh saja, jika ada ucapan seperti ini
> dikecam habis, "Tuhanku, hanya engkau tujuanku, dan hanya ridloMulah
> yang kucari. Limpahkan Cinta dan Ma'rifatMu kepadaku…" Ucapan yang
> menjadi munajat para Sufi. Lalu mereka mengecam ucapan ini, sebagai
> bentuk anti syurga dan tak takut neraka?
>
> ---
>
>
> On 12/15/05, Ku HanyaOrangBiasa <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> >
> > Para Ahlus Sunnah wal Jama'ah Menginginkan Surga
> > Oleh : Dr. A'idh Abdullah Al Qarni*
> >
> > *Penulis buku best seller "La Tahzan"
> >
> > Mencari surga merupakan tujuan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, (dan ini) berbeda 
> > dengan para sufi yang mengatakan, "Kami, demi Allah, tidak menginginkan 
> > surga dan tidak pula takut neraka".


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Drugs Don't Discriminate. Get help for yourself or someone you know.
http://us.click.yahoo.com/LhcW9C/ZbOLAA/a8ILAA/wDNolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh 
manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya 
adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan. 
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu 
wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang 
tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas 
yang engkau mampu. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/keluarga-islam/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke