Perspektif Sosial Politik dan
Perspektif Hak Asasi Manusia Ahlussunnah wal
Jamaah
Perspektif Sosial Politik Ahlussunnah wal
Jamaah
Imâmah sebagai implikasi bentuk negara Islam legal-formalistik, tidaklah masuk dalam pilar-pilar akidah (baca: arkân al-imân). Wacana ini lebih banyak disorot dalam kaca mata fikih (syariat), sehingga di kalangan Sunni lahir nuansa fikih kontemporer, fikih siyâsi, Suatu kajian jurisprudensi Islam tentang kenegaraan atau kepemerintahan yang mengatur pranata sosial kemasyarakatan. Visi fiqhiyyah dalam masalah sosial-politik Ahlussunnah wal Jamaah ini,
sudah barang tentu akan memunculkan banyak polemik (ikhtilâf) di kalangan
fuqahâ, sekaligus membuka variasi-variasi dalam berpolitik.
Meskipun demikian, menurut Ahlussunnah wal Jamaah, umat Islam wajib hukumnya untuk mendirikan suatu negara. Tipologi masa Rasulullah Saw., berikut Khulafaurrasyidin merupakan acuan utama dalam berpolitik dan bernegara. Selain itu, bentuk-bentuk monarchi-absolut (dinasti) yang berkuasa sesudahnya, mulai era Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, hingga Turki Usmani, juga sosok pemerintahan yang dilegitimasi para ulama Sunni. Begitu pula kehadiran negara-negara dunia ketiga, di kalangan kaum muslimin, meski telah direnovasi dalam bentuk republik atau demokrasi. Realitas ini, paling tidak, mendorong polemik yang berkepanjangan, yakni
haruskah umat Islam membangun suatu pemerintahan dalam bentuk khilâfah, atau
negara Islam. Persoalan semacam ini telah direspon dengan antusias, sehingga
ada sebagian yang mengiyakan, namun ada pula yang menolaknya. Adalah menjadi
tanggung jawab ulama Sunni untuk mencari solusi problema tersebut.
Alternatif untuk membawa bendera Islam dalam diskursus kenegaraan secara
formal memang suatu interpretasi luhur dalam mengaplikasikan ajaran formal
Islam. Namun, gagasan seperti ini untuk saat inijelas tidak realistis, tidak
relevan dengan kondisi kaum Sunni saat ini. Bisa dilihat, mana dari sekian
banyak negara umat Islam yang mampu menampakkan bendera Islam sebagai suatu
institusi negara. Jelas, tidak satu pun yang representatif untuk alternatif ini.
Konsekuensinya, suatu ide yang tidak realistis, hanyalah ide/ijtihad ngambang
atau imajiner saja.
Lebih dari itu, alternatif penafian terhadap konsepsi kenegaraan atau
politik dalam Islam berarti suatu upaya untuk pembentukan sistem sekuler yang
memisahkan urusan kenegaraan di luar batas-batas agama. Jika dilihat melalui
târîkh (sejarah) umat Islam, seperti mendapat justifikasi. Misalnya, selain
tidak adanya validitas dalil yang signifikan terhadap penempatan Islam sebagai
simbol formal negara, pada era Dinasti Umayyah kecuali pada masa Umar ibn Abd
al-Azizupaya pemisahan ulama-umara nampak jelas. Sampai waktu itu, tidak
sedikit di antara para penguasa yang memiliki tabiat seperti raja. Tidak salah juga jika dikatakan bahwa pemerintahan saat itu lebih
mewakili bentuk pemerintahan yang monarchi-absolut, apalagi, performa dinasti
seperti ini tetap menjadi mode (trend) para penguasa muslim hingga awal abad XX,
yang saat ini masih diwarisi di sebagian kawasan, seperti Saudi Arabia, Kuwait,
Yordania, Brunei Darussalam, dan sebagainya.
Dari dua kutub tersebut, sesuai dengan paradigma Ahlussunnah wal Jamaah
yang bersifat tawassuth, tawâzun, taâdul dan tasâmuh, tentu dipilih jalan
tengah yang moderat.
Harus diakui, bahwa pada masa Rasulullah Saw. dan sahabat, sistem khilâfah
pernah nampak di permukaan. Namun, sistem tersebut bukanlah satu-satunya dalam
Islam. Sepanjang nilai-nilai Islam ditegakkan, baik itu dalam negara monarchi,
republik/demokrasi, atau pun lainnya, itulah negara Islami. Dengan kata lain,
Islam sebagai institusi negara, sebenarnya tidak ada dalam Sunni. Manhaj seperti
inilah yang dikembangkan oleh para ulama Sunni, termasuk Walisongo, dan para
ulama pendiri Republik Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, nilai-nilai Islam yang mana yang bisa dijadikan
dasar bagi penegakan suatu negara. Konsep Islam al-adâlah,
al-hurriyyah, al-musâwah serta al-syûrâ bisa dijadikan prinsip-prinsip dasar
dalam penegakan suatu negara. Negara yang menerapkan prinsip-prinsip tersebut
bisa dianggap sebagai negara yang Islami. Sebaliknya, meski memakai term
negara Islam, tetapi jika nilai-nilai Islam tersebut diinjak-injak, maka
negara tersebut tidak Islami.
Al-adâlah merupakan prinsip penegakan keadilan,
dengan memberikan justifikasi atas kebenaran dan menyalahkan terhadap pihak yang
bersalah. Dalam al-Quran, Allah Swt. berfirman dalam term adl sebanyak 28
kali. Hal ini sekaligus menjadi indikasi yang cukup kuat akan urgensi penegakan
keadilan. Fenomena ini dikuatkan pula dengan perhatian Nabi Saw. terhadap
seorang imam (pemimpin) yang adil. Bahkan, istilah al-adl itu sendiri termasuk
rentetan 99 al-Asmâ al-Husnâ Allah.
Sedangkan prinsip al-hurriyyah (kemerdekaan,
kebebasan) dimaksudkan sebagai suatu jaminan atas kebebasan umat (rakyat)
dalam mengekspresikan kreativitas dan hak-hak mereka, sepanjang masih sesuai
dengan perundang-undangan atau syariat yang telah ditetapkan. Elaborasi prinsip
ini terefleksi dalam al-ushûl al-khamsah.
Prinsip ketiga, al-musâwah (kesetaraan), adalah
upaya penghapusan diskriminasi dengan menempatkan manusia pada posisi atau
derajat yang sama. Prinsip ini menuntut perlakuan yang sama bagi semua rakyat
(manusia) di depan undang-undang. Atribut-atribut yang menempel, seperti
jabatan, kekayaan, kekerabatan, rasial, kesukuan, agama secara formal, dan
sebagainya, haruslah disingkirkan jauh-jauh. Apa yang harus dijadikan acuan
dalam melangkah adalah komitmen terhadap al-haqq (the truth), sekalipun harus
berhadapan dengan kelompok mayoritas.
Adapun al-syûrâ (musyawarah), diproyeksikan
sebagai manifestasi kedaulatan rakyat melalui permusyawaratan bersama, berdasar
suara hati nurani mereka. Konsekuensi dari al-syûrâ adalah adanya
pertanggungjawaban atas semua tindakan para penguasa, dengan menjunjung tinggi
hasil permusyawaratan.
Perspektif Hak Asasi Manusia Ahlussunnah
wal Jamaah
Misi Islam adalah rahmah li al âlamîn, pengayom atau pembawa rahmat bagi alam semesta. Tidak ada satu makhlukpun di muka bumi ini yang tidak dijamin eksistensinya oleh Allah Swt., karena mereka semua, termasuk binatang atau tumbuhan, senantiasa mendapatkan belaian kasih sayang-Nya. Menurut salah satu hadits Nabi Muhammad Saw., seseorang bisa masuk neraka
hanya karena menyiksa seekor kucing, sebaliknya, ia bisa masuk sorga hanya
karena karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Elaborasi misi di atas, menurut para juris Islam,
berlandas pada al-ushûl al-khamsah (lima prinsip pokok), senantiasa menjadi
pijakan dalam menggali hukum. Kelima prinsip tersebut, hifzh al-dîn, hifzh
al-nafs, hifzh al-aql, hifzh al-mâl, hifzh al-irdl wa al-nasl.
Hifzh al-dîn berarti memberikan jaminan penuh atas
identitas suatu kelompok (agama) yag bersifat lintas etnik.
Hifzh al-aql, adalah suatu jaminan atas kebebasan
berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini, kebebasan untuk
riset serta berbagai macam aktivitas ilmiah.
Hifzh al-nafs, memberikan perlindungan setiap jiwa (nyawa)
manusia untuk tetap tumbuh dan berkembang secara layak, terbebas dari
penganiayaan dan tindakan lalim.
Hifzh al-mâl, dimaksudkan sebagai suatu jaminan atas
pemilikan harta benda, property.
Adapun hifzh al-irdl wa al-nasl, merupakan pemenuhan atas
kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan),
jaminan terhadap masa depan anak cucu, serta generasi penerus yang lebih baik
dan berkualitas. [ ]
=============
by arland
from
PBNU Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan. Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu. YAHOO! GROUPS LINKS
|