Peduli pada Kaum Miskin
Oleh Muhtadin AR

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 16.6 persen, atau 36.1 juta jiwa. Sementara data Bank Dunia menyebutkan, sebanyak 7.4 persen penduduk Indonesia berpenghasilan US$1 per hari. Dan sebanyak 53.4 persen berpendapatan US$2 per hari.

Pertanyaannya, dapatkah fakta kemiskinan ini dikurangi? Lalu siapa yang harus bertanggung jawab untuk menguranginya.? Pemerintah, sudah tentu harus bekerja keras untuk mengatasinya. Tetapi juga tidak harus dibebankan kepada pemerintah semata. Karena kemiskinan pada dasarnya merupakan problem `kemanusiaan' yang sifatnya lintas batas, yang pemecahannya tidak dapat dibebankan kepada kelompok, suku, etnis atau agama tertentu, tetapi menjadi tanggung jawab kita semua. Meskipun dengan kadar dan penekanan yang berbeda, semua umat manusia dapat memainkan peran strategisnya dalam penyelesaian problem terbesar ini.

Untuk itu, tulisan berikut berkeinginan untuk menggugah kaum agamawan dalam menyikapi problem kemanusiaan ini. Ini penting dikedepankan karena mayoritas masyarakat di negeri ini adalah orang beragama, dan 90 persen dari mereka (yang mengaku beragama tersebut), mengaku beragama Islam. Lalu di mana tanggung jawab mereka.

Ada tiga pendekatan yang biasa dipakai untuk melihat persoalan kemiskinan. Pertama, pendekatan tradisionalis. Pengikut pendekatan ini masih percaya bahwa kemiskinan umat pada hakekatnya adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya Tuhan yang Maha Tahu apa arti dan hikmah di balik ketentuan tersebut. Dalam pandangan mereka, kemiskinan justru ditempatkan sebagai `ujian' atas keimanan seseorang.

Akar teologis paradigma ini bersandar pada konsep Sunni mengenai takdir (predeterminisme), yakni ketentuan dan rencana Tuhan yang jauh diciptakan sebelum diciptakannya alam. Dalam pandangan mereka, manusia tidak memiliki kebebasan (free will) untuk menciptakan sejarah mereka sendiri. Meskipun manusia didorong untuk berusaha, akhirnya Tuhan jualah yang menentukannya. Demikian juga dalam masalah kemiskinan, sekuat apapun usaha yang dilakukan manusia, jika Tuhan belum menghendaki, maka ia akan tetap miskin.

Kedua, pendekatan modernis. Para pemikir pendekatan ini menyebut bahwa kemiskinan yang dihadapi bangsa Indonesia pada dasarnya lebih disebabkan oleh cara berpikir, mental dan budaya mereka yang salah. Hilangnya kepercayaan diri untuk menghadapi masa depan, adalah kata kunci yang selalu membuat orang tidak berani berspekulasi untuk merubah diri, termasuk keluar dari kungkungan kemiskinan.

Bagi kelompok ini, manusia sepenuhnya mempunyai kesempatan untuk mengubah diri. Jika faktor yang mendorong kemiskinan adalah rasa malas, tak kreatif, tak kompetitif, tak tekun dan tak disiplin, maka itu menjadi tanggung jawab individual yang jalan pemecahannya bisa melalui pendidikan, pembinaan, training dan lainnya. Tetapi jika penyebab kemiskinan berada di luar diri orang miskin seperti adanya penindasan, penghisapan dan eksploitasi yang terstruktur, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan perubahan sosial yang radikal.

Diberlakukannya pasar bebas misalnya, harus disikapi dengan mempersiapkan masyarakat yang handal, ulet, kompetitif dan mandiri, yang tidak lagi bergantung pada struktur sosial dan teologi yang menindas. jika perlu seluruh masyarakat Indonesia harus disiapkan menjadi liberal supaya bisa bersaing dalam globalisasi.

Ketiga, pendekatan strukturalis. Pengikut kelompok ini menganggap bahwa kemiskinan yang ada di Indonesia terjadi akibat munculnya struktur sosial dalam negara yang menindas, sistem politik yang represif, sistem sosio-budaya yang dominatif, yang diciptakan demi keuntungan elite penguasa, serta sistem ekonomi yang eksploitatif.

Ada dua ciri khas dari kemiskinan struktural ini. Yaitu: a). Kesenjangan sosial yang lebar antara kelompok kaya dengan mayoritas masyarakat miskin. Dan b). lambannya mobilitas sosial akibat kungkungan struktur yang ada. Pendeknya, kemiskinan struktural merupakan kemiskinan massif yang dialami mayoritas masyarakat akibat struktur yang tidak adil, yang hanya menguntungkan elite tertentu.

Ketiga pendekatan tersebut sejatinya merupakan perangkat untuk melakukan `diagnosa' terhadap problem kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Dalam mendiagnosa penyakit sosial ini, kemampuan, kecerdasan dan kepekaan kita terhadap problem disekitarnya, akan dipertaruhkan. Ketepatan dalam melakukan diagnosa, jelas akan membawa solusi yang mujarab, tetapi kesalahan dalam mendiag-nosa, juga sangat rawan bagi munculnya penyakit baru.

Apapun kesimpulan yang akan didapatkan dari diagnosa di atas, juga strategi apa yang dipakai untuk mengobatinya, agama (dan penganutnya) harus dipaksa untuk memainkan segenap ling-kungan strategisnya, yakni sebagai pendorong bagi munculnya wacana kebijakan yang kritis.

Wacana kritis ini perlu dikedepankan karena doktrin agama secara tegas telah mempertanyakan komitmen keimanan orang yang beragama. Dalam Surat al-Ma'un disebutkan: " Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mereka adalah orang yang menelantarkan anak yatim dan tidak peduli dengan nasib orang miskin" (QS. al-Ma'un/107: 1 – 2).

Bukan hanya itu saja, lewat bahasa dagang, al-Qur'an juga telah mendidik umatnya untuk bertindak secara sportif dan jujur (QS. al-Muthaffifin/83: 1 - 3), menjauhi praktek monopoli (QS. al-Hasyr/59: 7), serta larangan untuk sogok-menyogok (QS. al-Baqarah/2: 188). Musthafa Husni as-Siba'i (1997) bahkan menyebut, ada 109 ayat yang berbicara tentang persoalan kemiskinan, dan ada 360 ayat yang maknanya berkait dengan arti pekerja.

Pendeknya, karena banyak sekali ayat yang berbicara tentang masalah kemiskinan, maka para agamawan tidak hanya dituntut untuk melakukan diagnosa secara tepat terhadap penyebab kemiskinan di sekitar lingkungannya, tetapi juga dituntut untuk menerjemahkan pesan-pesan agama secara cerdas dan genuine. Menggali akar teologi, metodologi, dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial harus selalu dikumandangkan.

Pemihakan terhadap kaum miskin yang telah diilhami oleh al-Qur'an, harus disertai dengan analisa kritis terhadap struktur sosial yang ada. Agama dalam hal ini harus ditempatkan dan dijadikan sebagai agama pembebasan yang bertujuan untuk mentransformasikan sistem eksploitasi menjadi sistem yang adil.

Hadits Nabi yang menyebutkan `kada al-faqru an yakuuna kufran' (kefakiran dapat mendatangkan kekufuran) harus dijadikan renungan, bahwa rapuhnya spiritualitas seseorang sering kali berawal dari persoalan ekonomi. Kita tentu tidak rela jika pada suatu saat nanti, agama akan dikatakan gagal menjadi inspirator munculnya pembebasan bagi kaum miskin, lemah dan tertindas. Orang akan berbondong-bondong pindah agama karena perutnya lapar. Sekarang, masihkah kita buta dengan kenyataan yang menghampar di depan mata, bahwa kita ini miskin? Wallahu a'lam.*



__._,_.___

Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.





SPONSORED LINKS
Single family home Family home finance Family home
Family home mortgage Family home business

Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___

Kirim email ke