Memang tidak semudah itu dikarenakan mayoritas umat Islam indo ini 
masih berkiblat kepada dua ormas besar ini. Padahal dalam hadits 
Rasulullah sudah memberikan kejelasan dan kemudahan yang praktis 
dalam menentukan saatnya shaum maupun idul fithri yaitu dengan 
melihat hilal, jika terhalang atau mendung maka genapkanlah bulan 
sebelumnya menjadi 30 hari. 

"Berpuasalah karena melihat hilal Romadhon, berhari raya-lah karena 
melihat hilal Syawwal. Jika hilal tertutupi mendung maka genapkanlah 
bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (Muttafaqun `alaih. Lafazh Muslim)


Kemudian hadits riwayat Kuraib yang melihat hilal di Syam malam 
Jum'at dan Ibnu Abbas melihat hilal di Madinah malam sabtu, 
merupakan pedoman hendaknya shaum dan idul fithri sesuai dengan 
wilayah masing-masing. 

"Puasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Berhari raya 
adalah hari di mana kalian semua berhari raya. Dan berkurban adalah 
hari di mana kalian semua berkurban." [Shohih. Shahih Al-Jami' Ash-
Shoghir. At Tirmidzi berkata, "Sebagian ahlul `ilmi menafsirkan 
hadits ini dengan mengatakan,'Maknanya bahwa puasa dan hari raya 
adalah bersama jama'ah (pemerintah kaum muslimin,pent) dan mayoritas 
manusia (masyarakat)]


Maka satu-satunya cara untuk menyatukan hari raya ataupun awal 
Ramadhan adalah memang dengan campur tangan pemerintah yaitu Depag 
dan MUI. Kedua lembaga ini harusnya diberdayakan selama Ramadhan 
penuh ketika melihat munculnya perbedaan (keputusan Muhammadiyah). 
Dengan dimatangkan dan dicarikan solusinya yaitu rujuk kembali 
kepada perkataan Rasulullah tadi, maka insya Allah jatuhnya hari 
raya atau pun shaum tidak akan terjadi perbedaan, kecuali dengan 
negara lain. Bayangkan konsep hisab hakiki yang digunakan 
Muhammadiyah saja tidak diketahui ilmunya oleh mayoritas umat. 
Mungkin hanya pakar astronomi saja yang paham masalah ini sedangkan 
yang lainnya hanya ikutan saja. Seandainya saja ilmu tersebut bisa 
dibeberkan secara ilmiah dan orang awam sedikit banyak tahu, dan 
ormas lain semisal NU pun terlibat maka bisa jadi masukan untuk 
memberi kesimpulan hukum tentang idul fithri maupun shaum bisa lebih 
diterima oleh mayoritas muslim di negeri ini. Namun semuanya harus 
tetap berpijak pada hadits Rasulullah tadi. Artinya siapapun yang 
melihat hilal walaupun telah dibuktikan atau belum dibuktikan secara 
astronomi maka saat itu adalah waktu untuk berhari raya atau awal 
shaum.

"Jika ada 2 orang muslim bersaksi, maka berpuasalah dan berhari raya-
lah kalian". (Shohih. Shahih Ibnu Majah)

wallahu a'lam


--- In keluarga-islam@yahoogroups.com, andi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> yang lebih penting adalah pengurus muhammadiyah sebaiknya bersama 
sama 
> dengan pemerintah atau tunduk aja dengan pemerintah mengenai 
penentuan 1 
> syawal atau juga duduk bersama kan gak sulit kok lagian sapa juga 
di rugikan
> 
> apa mereka gak nyadar seolah olah muslim ini pecah
> tahun ke tahun itu itu aja permasalahannya
> 
> kenapa muhammadiyah gak seperti organisasi lain yang menyerahkan 
sama 
> negara yang bertanggung jawab
> 
> sangat memalukan apa organisasinya karena besar gitu saya yakin 
99% aja 
> gak sampai.....saya rasa kita harus memandang kedepan 
kemashlahatan apa 
> yang dapat di berikan sehingga umat islam indonesia ini satu di 
situ aja 
> keliatan masih dengan egonya
> tidak akan pernah satu umat ini kalau caranya seperti ini.... 
sayang 
> saat ini kita gak punya khalifah makanya berterbangan kesana 
kemari 
> tanpa kontrol sedangkan kristen aja ada paus paulus
> 
> jangan membuat umat ini pusing
> 
> kalau kata gusdur gitu aja kok repot bener itu kok mesti berbeda 
beda 
> sehhh padahal kita sesama muslimmm
> tetangga masih beli daging rendang ke pasar ehhhh   yang di 
sebelah 
> rumah udah kemesjid sholat id kan lucu
> 
> terus terang saya selaku warga negara indonesia malu dan jadi 
olokan 
> orang nonmuslim
> 
> tiap tahun hanya di indonesia yang seperti ini...tidak ada yang 
ber 
> ijtihat untuk kepentingan
> 
> memang tidak di larang tetapikan bisa menimbulkan 
gesekan.......kalau 
> pribadi masing masing ya silahkan dia melihat  ke langit tapi ini 
sudah 
> permasalahan bangsa yang besar ini penentuan bukan untuk kelompok 
seharusnya
>  
> 
> kalau memang memikirkan umat jaga dong persatuan umat biar gak 
keliat 
> pecah belah termaksud organisasi lainnya
> 
> saya sebagai masyarakat puyeng dengan sikap muhammadiyah yang 
selalu di 
> expose di tv kalau boleh di katakan hanya dia dia aja yang membuat 
> masalah ketika awal penentuan lebaran dan salut saya buat mui dan 
depag 
> yang tidak memutuskan dengan tergesa gesa karena ini bukan 
persoalan 
> sendiri tetapi umta islam yang datang di indonesia ini
> 
> saya sendiri bersekolah di muhammadiyah dan saya tau betul apa itu 
> muhammadiyah
> 
> lebih baik mari kita wujudkan kebersamaan
> jangan kebijakan mendatangkan azab perpecahan
> 
> malu mikir mikir kata pelawak s-o-s
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> Ananto wrote:
> 
> > hmmmm..
> > ternyata kritis itu ada hikmahnya ya... :))
> >  
> > salam,
> > ananto
> >
> >  
> > On 10/17/06, *Ramdan* <[EMAIL PROTECTED] 
> > <mailto:[EMAIL PROTECTED]>> wrote:
> >
> >     ng...
> >     pagi ini isen2 saya cari lewat google, ternyata perbedaan
> >     penentuan 1 syawal di Arab Saudi sana juga ada yang 
mengkritisi.
> >     ini hasil copy n paste nya.
> >      
> >     *Kacaunya Sistem Penanggalan Arab Saudi*
> >     Dipublikasi pada Saturday, 01 January 2005 oleh  admin
> >     <http://www.sidogiri.com/>
> >
> >
> >     Kajian Umum
> >     <http://www.sidogiri.com/modules.php?name=News&new_topic=101>
> >
> >     *Abu Hisyam *([EMAIL PROTECTED] <mailto:[EMAIL PROTECTED]>) * * *
> >
> >
> >     Disebabkan tidak adanya keseragaman dalam sistem penentuan 
awal
> >     bulan qamariyah, maka munculnya perbedaan di dalam menentukan
> >     kapan awal dari sebuah bulan qamariyah adalah merupakan suatu
> >     keniscayaan. Hal tersebut hampir tidak menjadi masalah 
apabila
> >     yang menjadi objek penentuannya adalah bulan-bulan biasa yang
> >     tidak ada sangkut-pautnya dengan /mawaqit al `ibadah/. Namun
> >     masalah menjadi lain, ketika yang menjadi objek penentuannya
> >     adalah bulan Ramadlan, Syawal dan Dzul Hijjah. Karena di 
sanalah
> >     waktunya untuk melaksanakan ibadah shaum dan haji berikut
> >     selebrasi dua hari raya, yaitu Iedul Fitri dan Iedul Adha.
> >     Akibatnya dari tahun ke tahun, umat Islam seperti sudah 
terbiasa
> >     disuguhi fenomena â€Å"Lebaran Kembar”.
> >
> >
> >
> >     Secara umum, perbedaan tersebut memang hanya berada dalam 
kisaran
> >     waktu satu hari, namun pernah juga sampai berbeda dua hari, 
di
> >     antaranya pada saat penetapan awal bulan Dzul Hijjah 1419 H,
> >     antara Pakistan dan Arab Saudi. Pada waktu itu menurut 
penetapan
> >     Arab Saudi, tanggal 1 Dzul Hijjah 1419 H bertepatan dengan 
tanggal
> >     18 Maret 1999, sementara menurut Pakistan justeru bertepatan
> >     dengan tanggal 20 Maret 1999. Sehingga mereka berbeda waktu 
dalam
> >     dalam merayakan Iedul Adha selama dua hari. Arab Saudi 
merayakan
> >     Iedul Adha pada hari Sabtu 27 Maret 1999, dan Pakistan pada 
hari
> >     Senin 29 Maret 1999.
> >
> >
> >     Apabila kita telusuri, pangkal dari munculnya fenomena
> >     â€Å"Lebaran Kembar”, khususnya di Indonesia, tiada 
lain berawal
> >     dari perbedaan di dalam menyikapi hadits Nabi SAW yang 
berbunyi:
> >     â€Å" /Apabila kamu sekalian melihat hilal, maka 
berpuasalah, dan
> >     apabila kamu sekalian melihat hilal, maka berlebaranlah, tapi
> >     apabila kamu sekalian terhalang, maka _hitunglah_!” /
(H.R.
> >     Bukhari-Muslim)
> >
> >
> >     Dari ke-multiinterpretable-an hadits tersebut, mengakibatkan
> >     lahirnya tiga pola penafsiran tentang cara penentuan awal 
bulan
> >     qamariyah, /Pertama/; Harus berdasarkan rukyah hilal (melihat
> >     hilal) secara mutlak, /Kedua/; Ketika langit cerah harus 
dengan
> >     rukyah, dan ketika langit mendung harus dengan â
€Å"hitunglah”,
> >     /Ketiga/; Kedua cara tersebut dapat dipakai secara bersamaan
> >     dengan tanpa saling menafikan satu sama lain, bahkan harus
> >     dijadikan sebuah sinergi positif.    
> >
> >
> >     Demikian pula dari ketidakjelasan (/ghayr sharih/) term
> >     â€Å"hitunglah” (/faqdluruu /) itu telah memunculkan 
dua arus
> >     pemahaman, yaitu: /Pertama/; Hitunglah dengan cara menjadikan
> >     bilangan bulan 29 hari (pendapat I. Ahmad, dll), /Kedua/;
> >     Hitunglah dengan cara menyempurnakan bilangan bulan menjadi 
30
> >     hari (pendapat mayoritas), /Kedua/; Hitunglah berdasarkan
> >     perhitungan astronomi ( /falak/). Walaupun menurut Ibn Hajar 
al
> >     `Asqalaniy, eksistensi model pemahaman kedua lebih kuat 
(/rajih/)
> >     karena berasaskan penafsiran hadits dengan hadits, namun 
tidak
> >     sediki ulama yang memiliki kecenderungan ke arah model 
pemahaman
> >     kedua, di antaranya al Subkiy, Ibn Surayj, Ibn Maqatil dan 
Rasyid
> >     Ridla dalam /al Manar­/-nya.
> >
> >
> >     Implikasi dari hal-hal tersebut adalah munculnya tiga madzhab
> >     dalam menentukan awal bulan qamariyah, yaitu: /Pertama/; 
Madzhab
> >     Rukyah,/ Kedua/; Madzhab Hisab, dan /Ketiga/; Madzhab 
Kolaborasi.
> >     Apabila menurut *madzhab rukyah*, menentukan awal bulan 
qamariyah
> >     harus berdasarkan rukyah hilal, dan menurut *madzhab hisab 
*harus
> >     berdasarkan hisab astronomi yang minimal sudah memenuhi 
kriteria
> >     /wujud al hilal/ (konjungsi terjadi sebelum terbenam 
matahari dan
> >     hilal positif di atas ufuk pada saat matahari terbenam), maka
> >     menurut *madzhab kolaborasi *, menentukan awal seluruh bulan
> >     qamariyah harus berdasarkan rukyah hilal dengan 
mempertimbangkan
> >     aspek hisab astronomi.
> >
> >
> >     Dalam aturan madzhab kolaborasi, laporan terlihatnya hilal 
harus
> >     ditolak apabila secara visibility ( / imkan al ru`yah/), 
hilal
> >     tidak mungkin dapat dirukyah. Secara teori, kebijakan-
kebijakan
> >     dalam madzhab kolaborasi ternyata sesuai dengan resolusi yang
> >     dihasilkan dalam Konferensi Ketiga/ Majma al Buhuts al 
Islamiy /
> >     yang diselenggarakan pada tanggal 30 September 1966 â€" 
27 Oktober
> >     1966 di al Azhar, Kairo, melalui presentasi ahli hukum al 
Syaikh
> >     Muhammad Ali al Sayis. Juga sesuai dengan resolusi yang 
dihasilkan
> >     dalam Konferensi Astronomi Islam Kedua dengan tema Aplikasi
> >     Astronomi dalam Syari`at Islam yang diselenggarakan di Amman,
> >     Yordania pada tanggal 29-31 Oktober 2001, yang diikuti oleh 
44
> >     ulama dan ahli astronomi Islam dari 18 negara.
> >
> >
> >     Dalam resolusi Konferensi /Majma al Buhuts al Islamiy/, pasal
> >     ketiga, butir pertama, dinyatakan bahwa: â
ہ" /Sesungguhnya Rukyah
> >     Hilal adalah pokok untuk mengetahui dimulainya _seluruh bulan
> >     qamariyah_ sesuai dengan hadits yang mulia”./ Demikian 
pula
> >     dalam resolusi Konferensi Astronomi, butir kedelapan 
dinyatakan
> >     bahwa penentuan awal seluruh bulan qamariyah (bukan hanya
> >     Ramadlan, Syawal dan Dzul Hijjah) diputuskan berdasarkan 
rukyah
> >     hilal atas pertimbangan hisab astronomi. Dan pada butir 
kelima
> >     dinyatakan bahwa laporan terlihatnya hilal harus ditolak 
apabila
> >     tidak sesuai dengan syarat /imkan al ru`yah/.
> >
> >
> >     Adapun kriteria visibilitas hilal yang saat ini digunakan 
secara
> >     umum oleh negara Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura, 
adalah
> >     kriteria yang dibuat pada pertemuan tidak resmi para Menteri 
Agama
> >     negara bersangkutan (MABIMS) tahun 1992, yaitu:
> >
> >
> >     a.   Tinggi hilal (/irtifa` al hilal/altitude/), minimal 
2º di
> >     atas horizon.
> >
> >
> >     b.    Jarak sudut Matahari dan Bulan (/qaws al 
nur/elongasi /),
> >     minimal 3º.
> >
> >
> >     c.   Usia bulan (/`umr al qamar/moon age/) dihitung sejak 
saat
> >     konjungsi sampai terbenam matahari, minimal 8 jam.
> >
> >
> >     Pada tataran konsep, sebenarnya madzhab kolaborasi bertujuan 
untuk
> >     meminimalisir perbedaan mencolok antara madzhab rukyah dan 
madzhab
> >     hisab di dalam menentukan awal bulan qamariyah, namun pada 
tataran
> >     praktis, ternyata hal tersebut sulit untuk diharapkan.
> >
> >
> >      
> >
> >
> >     *Konsekuensi Fakta Perbedaan*
> >
> >
> >     Dikarenakan fakta perbedaan di dalam menentukan awal bulan
> >     qamariyah tersebut tidak bisa dihindari, maka yang menjadi
> >     korbannya adalah masyarakat awam. Mereka kebingungan untuk
> >     menentukan pilihan hendak mengikuti pendapat yang mana? 
Akhirnya
> >     mereka mengambil sikap dengan cara yang sangat praktis dan
> >     menurutnya relatif aman, yaitu dengan mengikuti pengumuman
> >     penentuan dari Kerajaan Saudi Arabia (KSA), terutama dalam
> >     penentuan hari raya Iedul Adha.
> >
> >
> >     Mereka merasa lebih nyaman dengan mengekor kepada KSA yang 
nota
> >     benenya sebagai kiblat umat Islam sedunia. Hal tersebut 
diperkuat
> >     dengan adanya stimulus dari para pimpinan salah satu Partai 
Islam
> >     (PKS) melalui website-nya ( syariahonline.com
> >     <http://syariahonline.com/>). Dalam website tersebut mereka
> >     menyerukan untuk mengikuti keputusan dari Makkah, apabila 
terdapat
> >     perbedaan antara penetapan Pemerintah Indonesia dengan 
penetapan
> >     KSA (padahal ulama terkemuka KSA Syaikh Mohammad Ibn Salih Al
> >     Uthaimeen dan Syaikh Muhammad Taqi Utsmani (Pakistan) 
memberikan
> >     fatwa untuk menentukan awal bulan qamariyah termasuk Dzul 
Hijjah
> >     sesuai dengan rukyah hilal di negara sendiri â€" /local
> >     sighting/ikhtilaf al mathali`/-, dengan tidak usah 
mengindahkan
> >     penetapan KSA).
> >
> >
> >     Dengan adanya stimulus tersebut, tentu saja semakin 
memantapkan
> >     keyakinan masyarakat awam untuk terus mengikuti setiap 
maklumat
> >     KSA berkenaan dengan penetapan awal bulan qamariyah, terutama
> >     penetapan hari Iedul Adha.
> >
> >
> >     Namun yang menjadi permasalahan adalah apakah para penyeru
> >     tersebut sudah memiliki keyakinan terhadap ketepatan dari
> >     penetapan KSA tersebut? Dan apakah mereka siap 
bertanggungjawab
> >     seandainya penetapan tersebut ternyata dalam tahap awal sudah
> >     salah menurut perhitungan ilmu astronomi?
> >
> >
> >      
> >
> >
> >     *Sejarah Sistem Penentuan Awal Bulan Qamariyah KSA*
> >
> >
> >     Segabaimana telah dimaklumi bahwa sistem penentuan awal bulan
> >     qamariyah KSA adalah berdasarkan pada kalender Ummul Qura, 
yang
> >     secara umum berlaku bukan sebagai kalender Ibadah, melainkan 
hanya
> >     sebagai pedoman kehidupan sehari-hari seperti untuk jadwal
> >     sekolah, penerbangan, dan lain-lain. Namun dalam kasus-kasus
> >     tertentu, seperti untuk menentukan awal bulan Ramadlan, 
Syawal dan
> >     Dzul Hijjah, mereka menggunakan metode rukyah hilal.
> >
> >
> >     Namun ketika dalam prakteknya, KSA sering membuat keputusan 
yang
> >     salah berkaitan dengan penetapan awal bulan Ramadlan, Syawal 
dan
> >     Dzul Hijjah. Klaim mereka atas keberhasilan melihat hilal 
sering
> >     tidak sesuai baik dengan hasil perhitungan astronomi maupun 
dengan
> >     fakta astronomi di lapangan. Oleh sebab itu Badan Astronomi
> >     Jordania mengirimkan teguran kepada pihak terkait, sebagai 
koreksi
> >     terhadap kesalahan-kesalahan tersebut.
> >
> >
> >     Sebagai respon dari teguran tersebut, maka KSA melalui pihak 
yang
> >     berkompeten, yaitu Majlis Fatwa Tertinggi ( /Majlis al Ifta 
al
> >     A`la/) yang berkedudukan di Riyadh, dengan telegram tanggal 
21
> >     Januari 1998 M/23 Ramadlan 1418 H, memberikan penjelasan 
bahwa
> >     dalam proses penentuan awal bulan qamariyah, kalender Ummul 
Qura
> >     memakai kaidah: â€Å" /Apabila usia hilal 12 jam atau 
lebih dari
> >     saat konjungsi sampai terbenam matahari, maka sehari 
sebelumnya
> >     sudah termasuk awal bulan/”.
> >
> >
> >     Contohnya apabila pada tanggal 29 Desember (29 Sya`ban),
> >     katakanlah konjungsi terjadi pada pukul 23.00 setelah 
matahari
> >     terbenam. Maka keesokan harinya tanggal 30 Desember, pada 
saat
> >     matahari terbenam yaitu pukul 17.00, umur hilal telah 
mencapai
> >     lebih dari 18 jam, maka awal bulan baru dihitung sejak 
tanggal *30
> >     Desember *itu.
> >
> >
> >     Selanjutnya pada tahun 1420 H, KSA melalui Majlis al Syura,
> >     mengumumkan perubahan kaidah penentuan awal bulan qomariyah,
> >     mereka menyatakan bahwa: â€Å" /Kalender Ummul Qura dalam
> >     perhitungan awal bulan qamariyah berdasarkan pada terbenamnya
> >     matahari sebelum terbenamnya bulan dalam waktu Makkah dengan
> >     mengambil koordinat Masjidil Haram”/.
> >
> >
> >      Berdasarkan kaidah tersebut, maka kaidah terdahulu yang 
memandang
> >     bahwa awal bulan baru sudah dapat ditentukan apabila usia 
hilal
> >     telah mencapai 12 jam atau lebih dari saat konjungsi, maka 
sehari
> >     sebelumnya sudah termasuk awal bulan baru, diganti dengan
> >     memberikan pertimbangan terhadap fakta bahwa pada saat itu
> >     matahari harus lebih dulu terbenam dari pada bulan.
> >
> >
> >     Sebagai contoh penerapan kaidah baru adalah pada penentuan 
awal
> >     Ramadlan, pada tanggal 7 Desember 1999 (29 Sya`ban 1420) di
> >     Makkah, matahari terbenam pada pukul 17.38.23 WAS (Waktu Arab
> >     Saudi), sementara bulan terbenam lebih dahulu pada pukul 
17.38.59
> >     WAS, oleh sebab itu awal Ramadlan 1420 tidak pada tanggal 8
> >     Desember, melainkan pada tanggal *9 Desember*. Sedangkan 
apabila
> >     menggunakan kaidah terdahulu, awal Ramadlan seharusnya 
dimulai
> >     dari tanggal *8 Desember*, karena pada hari itu umur hilal 
sudah
> >     lebih dari 17 jam dari saat konjungsi (01.32.43 WAS) sampai
> >     matahari terbenam (17.38.38 WAS).    
> >
> >
> >     Kemudian dalam perhelatan Konferensi Astronomi Islam Kedua, 
Dr.
> >     Zaki al Mostafa, perwakilan dari King Abdul Azeez City for 
Science
> >     and Technology (anggota tim penyusun Kalender Ummul Qura), 
dalam
> >     presentasinya mengenai Kalender Ummul Qura, beliau menyatakan
> >     bahwa mulai tahun 1423 H, sebagai langkah perbaikan 
ditambahkan
> >     kaidah baru selain *terbenamnya matahari harus lebih dahulu 
dari
> >     pada bulan*, yaitu moment *konjungsi harus terjadi sebelum
> >     terbenamnya matahari*.
> >
> >
> >     Di antara bukti aplikasi dari kaidah-kaidah tersebut adalah 
pada
> >     waktu penentuan awal Dzul Hijjah 1423 H. Di Makkah pada 
tanggal 1
> >     Februari 2003, matahari terbenam lebih dahulu pada pukul 
18.10.19
> >     WAS dari pada bulan yang terbenam pada pukul 18.13.54 WAS, 
dan
> >     konjungsi terjadi pada pukul 13.49.29 WAS.
> >
> >
> >     Walaupun Dr. Saleh al Saab, konsultan tim rukyah hilal 
Kerajaan
> >     (dibentuk tahun 1419 H), melaporkan bahwa dari 6 pos rukyah
> >     (Makkah, Riyadh, Qassim, Hail, Tabuk dan Asir) tidak ada 
satu pun
> >     yang berhasil melihat hilal, karena ketinggian hilal pada 
saat
> >     matahari terbenam sangat minim, yaitu hanya 0º 37’ 
53”. Tapi
> >     pihak KSA secara apriori melalui Majlis al Qadla al A`la,
> >     menetapkan bahwa awal Dzul Hijjah 1423 H adalah bertepatan 
dengan
> >     hari Minggu 2 Februari 2003.
> >
> >
> >     Dengan demikian jelaslah bahwa kaidah yang dipakai dalam 
Kalender
> >     Ummul Qura ketika menentukan awal bulan qamariyah yang ada
> >     kaitannya dengan urusan ibadah (Ramadlan, Syawal dan Dzul 
Hijjah),
> >     bukan berdasarkan rukyah hilal yang dulu diklaimnya pada 
tahun
> >     1370 H.   Melainkan hanya berdasarkan 2 kaidah yang 
dikemukakan
> >     pada waktu Konferensi Astronomi Islam kedua, tahun 2001 di 
Amman
> >     .     /  / 
> >
> >
> >     Sampai sekarang, dalam upaya penyempurnaannya, setidaknya 
kaidah
> >     yang dipakai oleh Kalender Ummul Qura telah mengalami 3 kali
> >     perubahan. Namun meskipun demikian, keseluruhan dari kaidah
> >     tersebut belum sedikit pun menyentuh terhadap permasalahan
> >     kriteria batas minimal kemungkinan terlihatnya hilal. Oleh 
sebab
> >     itu, tingkat akurasi dalam penentuan awal bulan qamariyah 
yang
> >     ditetapkan oleh Kalender Ummul Qura masih sangat rentan baik
> >     validitas maupun otentisitasnya.
> >
> >
> >      
> >
> >
> >     *Bukti Kesalahan Penetapan KSA *
> >
> >
> >     Masih segar dalam ingatan kita, perbedaan antara penetapan
> >     Pemerintah Indonesia dengan penetapan KSA kembali terulang, 
yaitu
> >     pada saat menentukan tanggal 1 Syawal 1425 H (Iedul Fithri). 
Waktu
> >     itu Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa 1 Syawal 1425 H
> >     bertepatan dengan hari Minggu 14 Nopember 2004, sementara 
menurut
> >     KSA bertepatan dengan hari Sabtu 13 Nopember 2004.
> >
> >
> >     Argumen dari penetapan Pemerintah Indonesia tersebut adalah 
karena
> >     di Jakarta pada tanggal 12 Nopember 2004, bulan terbenam 
lebih
> >     dahulu pada pukul 17.34.14 WIB, sementara matahari baru 
terbenam
> >     pada pukul 17.48.39 WIB, dan konjungsi terjadi pada malam 
hari
> >     pukul 21.28.11 WIB. Pada saat itu posisi hilal adalah -3º 
41’
> >     30” di bawah horizon dengan elongasi 3º 27’ 
3”. Dalam
> >     kondisi seperti itu, secara astronomi berdasarkan kriteria 
MABIMS,
> >     hilal mustahil untuk dirukyah dan secara fakta tidak 
didapatkan
> >     laporan rukyah hilal dari seluruh pos rukyah di seluruh 
wilayah
> >     Indonesia. Dengan demikian bilangan hari bulan Ramadlan
> >     di-/istikmal/-kan menjadi 30 hari, sehingga awal Syawal 
dimulai
> >     dari hari Minggu 14 Nopember 2004.
> >
> >
> >     Sedangkan yang menjadi argumen KSA adalah klaim mereka atas
> >     terlihatnya hilal pada tanggal 12 Nopember 2004, padahal 
dalam
> >     perhitungan astronomis, selain pada hari itu bulan lebih 
dahulu
> >     terbenam yaitu pada pukul 17.30.29 WAS, dari pada matahari 
yang
> >     terbenam pada pukul 17.39.38 WAS, juga posisi hilal adalah -
1º
> >     57’ 54” di bawah horizon. Konsekuensinya hilal 
mustahil dapat
> >     terlihat karena posisinya berada di bawah horizon. Dan 
memang pada
> >     saat itu di seluruh dunia, hanya wilayah Lautan Pasifik saja 
yang
> >     dimungkinkan untuk terlihatnya hilal.
> >
> >
> >     Sebuah berita mengatakan, pada saat itu 12 Nopember 2004 
(malam
> >     sabtu) sumber informasi rukyat hilal KSA terdiri dari dua
> >     kelompok. Kelompok pertama adalah tim rukyat hilal resmi (
> >     /collective/) yang terdiri dari para ahli sains dan ahli 
agama,
> >     mereka dilantik oleh pihak Kerajaan, sementara kelompok kedua
> >     terdiri dari perseorangan (/individuals/). Selanjutnya 
kelompok
> >     pertama yang disebar pada 6 pos rukyah, melaporkan bahwa 
timnya
> >     tidak melihat hilal, namun sebaliknya kelompok kedua justeru
> >     melaporkan telah berhasil melihat hilal. Hingga akhirnya 
pihak KSA
> >     mengambil keputusan untuk menetapkan awal Syawal 1425 H 
bertepatan
> >     dengan hari Sabtu 13 Nopember 2004.
> >
> >
> >     Yang menjadi permasalahan adalah mengapa pihak KSA membuat
> >     keputusan awal bulan dengan hanya berdasarkan laporan rukyah 
hilal
> >     dari kelompok yang tidak resmi tanpa mempertimbangkan aspek
> >     perhitungan astronomi. Padahal dalam harian The Saudi 
Gazette yang
> >     terbit pada hari Senin 8 Nopember 2004, Dr. Ali Mohammad al 
Shukr
> >     ketua Departemen Fisika di King Fahad University of 
Petroleum and
> >     Minerals, menyatakan bahwa rukyat hilal pada tanggal 12 
Nopember
> >     2004 adalah merupakan suatu hal yang mustahil. Oleh karena 
itu,
> >     menurutnya, awal Syawal 2004 sudah sepantasnya bertepatan 
dengan
> >     hari Minggu 14 Nopember 2004.
> >
> >
> >      
> >
> >
> >     *Bukti Kekacauan KSA*
> >
> >
> >     KSA, selain dari pada sering membuat kesalahan dalam 
mengambil
> >     keputusan atas penentuan awal bulan qamariyah yang ada
> >     sangkut-pautnya dengan /mawaqit `ibadah/, sehingga banyak 
menuai
> >     kritikan dari para ahli astronomi Islam, seperti Dr. Khalid
> >     Shawkat (Islamic Society of North America), Dr. Mohibbullah
> >     Durrani (Columbia University), Dr. Mohammad S. Odeh (Jordania
> >     Astronomy Society, Arab Union of Astronomy and Space 
Sciences),
> >     Mohammad M H Khan (USA), dll. Juga penjelasan dari argumen 
yang
> >     menjadi bahan pertimbangan atas semua keputusannya itu, 
selalu di
> >     luar logika astronomi modern dan sangat tidak ilmiah.
> >
> >
> >     Salah satu contohnya adalah ketika mengeluarkan maklumat yang
> >     berkaitan dengan persiapan penetapan awal Dzul Hijjah 1423 H.
> >     Seperti dilansir oleh Riyadh Daily No. 12641, Rabu 30 Januari
> >     2003, Majlis al Qadla al A`la menyerukan kepada segenap umat 
Islam
> >     di wilayah Kerajaan untuk turut serta menyaksikan hilal Dzul
> >     Hijjah 1423 H pada Jum`at sore 31 Januari 2003 (28 Dzul 
Qa'dah
> >     1423) dan Sabtu sore 1 Februari 2003 (29 Dzul Qa'dah 1423). 
Seruan
> >     untuk menyaksikan hilal pada tanggal 28 Dzul Qa`dah adalah 
sangat
> >     aneh dan lucu, karena sebagaiman dimaklumi, bahwa hilal 
hanya akan
> >     muncul setelah konjungsi berlangsung (29 Dzul Qa`dah).
> >
> >
> >     Contoh lainnya adalah maklumat Kerajaan yang dilansir oleh 
Arab
> >     News, Kamis 14 Oktober 2004. Dalam maklumat tersebut pihak
> >     kerajaan melalui Dewan Peradilan Tertinggi menyatakan bahwa: 
â€Å"
> >     /As nobody sighted the Ramadan crescent on Wednesday evening,
> >     Thursday is the last day of Shaaban and Friday is the first 
day of
> >     Ramadan/”.
> >
> >
> >     Melalui pernyataan tersebut, semakin jelaslah, bahwa 
pemahaman
> >     astronomi mereka sangat kacau. Betapa tidak? Mereka melakukan
> >     praktek rukyah hilal (Ramadlan) pada Rabu sore ( 13/10/04),
> >     padahal saat itu baru tanggal 28 Sya`ban 1425, konjungsi 
belum
> >     terjadi, dan hilal hanya akan terlihat apabila sudah terjadi
> >     konjungsi. Walaupun mereka sama memulai Ramadhan sejak hari 
Jum`at
> >     15 Oktober 2004, tapi argumennya itu yang tidak ilmiah.
> >
> >
> >     Berdasarkan fakta-fakta yang telah terjadi, sejatinya sistem 
yang
> >     dipakai oleh Kalender Ummul Qura sebagai basis pernentuan 
awal
> >     bulan qamariyah Kerajaan Arab Saudi, adalah hanya berdasarkan
> >     kaidah: â€Å" /Awal bulan qamariyah dimulai/ /selepas 
terjadinya
> >     konjungsi (ijtima`/new moon)”./ Dengan tanpa 
mengindahkan
> >     faktor-faktor lain, seperti: Apakah konjungsi tersebut 
terjadi
> >     sebelum/setelah matahari terbenam? Apakah pada hari itu 
matahari
> >     terbenam lebih dahulu/terlambat dari terbenamnya bulan?
> >
> >
> >     Apabila demikian adanya, maka tuduhan Dr. Khalid Shaukat 
(ISNA)
> >     dan Dr. Muhammad M H Khan (USA) yang menyatakan bahwa sistem 
yang
> >     dipakai oleh Kalender Ummul Qura adalah hasil adopsi dari 
Kalender
> >     Yahudi (The Jewish Calendar/Calculated Rabbinical Calendar-
CRC),
> >     jelas tidak bisa dibantah.
> >
> >
> >      
> >
> >
> >     *Perkiraan Awal Dzul Hijjah 1425 H *
> >
> >
> >     Sebentar lagi di hadapan kita bulan Dzul Hijjah menunggu 
untuk
> >     dipertikaikan. Penyebabnya adalah posisi hilal setelah 
konjungsi
> >     masih berada di bawah horizon. Berikut hasil kalkulasi 
astronomi (
> >     /hisab al falaky/) pada hari Senin 10 Januari 2005:
> >
> >
> >     a.       Lokasi Makkah (+3) WAS
> >
> >
> >                         Terbenam Matahari     : 17.56.03
> >
> >
> >                         Terbenam Bulan         : 17.53.08
> >
> >
> >                         Konjungsi                  : 15.03.49
> >     (Geosentris)
> >
> >
> >                         Tinggi Hilal                 : -0º 
2’
> >     56” (di bawah horizon)
> >
> >
> >                         Usia Hilal                   : 2.52.14
> >
> >
> >                         Elongasi                    : 5º 
16’ 24”
> >            
> >
> >
> >                         Fraksi Hilal                : 0,21%
> >
> >
> >      
> >
> >
> >     b.      Lokasi Bandung (+7) WIB
> >
> >
> >                         Terbenam Matahari     : 18.12.00
> >
> >
> >                         Terbenam Bulan         : 18.11.29
> >
> >
> >                         Konjungsi                  : 19.03.49
> >     (Geosentris)
> >
> >
> >                         Tinggi Hilal                 : -0º 
6’
> >     00” (di bawah horizon)
> >
> >
> >                         Usia Hilal                   : -
0.51.49
> >
> >
> >                         Elongasi                    : 4º 
53’ 48”
> >            
> >
> >
> >                         Fraksi Hilal                : 0,19%
> >
> >
> >      
> >
> >
> >     Berdasarkan data tersebut, di Indonesia /insya Allah/ tidak 
akan
> >     terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan Dzul Hijjah 
1425 H.
> >     Karena baik menurut madzhab hisab ( /wujud al 
hilal/)/ /maupun
> >     menurut madzhab rukyah (/imkan al rukyah/), dengan
> >     mempertimbangkan aspek hilal tidak memenuhi syarat /wujud al 
hilal
> >     /dan /imkan al rukyah/, maka kedua madzhab tersebut 
tampaknya akan
> >     menyempurnakan ( /istikmal/) bilangan hari Dzul Qa`dah 
menjadi 30.
> >     Sehingga awal Dzul Hijjah 1425 H akan bertepatan dengan hari 
Rabu
> >     12 Januari 2005, oleh karena itu Iedul Adha 1425 H akan 
dirayakan
> >     pada hari Jum`at 21 Januari 2005.
> >
> >
> >     Sementara itu KSA, seandainya mereka mau konsisten dengan 
kaidah
> >     kalender Ummul Qura sebagaimana disampaikan dalam Konferensi
> >     Astronomi Islam Kedua di Jordania, maka mereka akan 
menetapkan
> >     awal Dzul Hijjah 1425 H bersamaan dengan kita, yaitu tanggal 
12
> >     Januari 2005 dan Iedul Adha pada tanggal 21 Januari 2005. 
Karena
> >     pada saat itu walaupun konjungsi terjadi sebelum terbenam
> >     matahari, namun terbenamnya bulan lebih dahulu dari pada
> >     terbenamnya matahari.
> >
> >
> >     Namun apabila mereka menetapkan tanggal 11 Januari 2005 
sebagai
> >     awal Dzul Hijjah 1425, yang konsekuensinya Iedul Adha akan
> >     dirayakan pada hari Kamis 20 Januari 2005. Maka tesis Dr. 
Khalid
> >     Shaukat dan Dr. Muhammad M H Khan benar adanya, yaitu standar
> >     sistem Kalender Ummul Qura adalah hasil adopsi dari sistem
> >     Kalender Yahudi.
> >
> >
> >     Demikian sekilas mengenai fakta ilmiah tentang kesalahan 
sistem
> >     penanggalan yang dipakai oleh KSA, serta kekacauan 
argumentasi
> >     mereka atas langkah penetapannya. Kesalahan dan kekacauan 
tersebut
> >     diakui pula oleh al Marhum Syaikh Muhammad Ibn Salih 
Ibn 'Utsaymin
> >     dalam diskusinya dengan Dr. Salman Zafar Shaikh di Mesjid 
tanah
> >     kelahirannya Unayzah setelah selesai shalat Jumat, 15 Shafar 
1421
> >     (Wafat 15 Syawal 1421). Bahkan, Syaikh Abdullah Bin Sulaiman 
Al
> >     Manea, anggota Komisi Peradilan Tinggi KSA, justeru 
menganjurkan
> >     untuk menggunakan ketelitian sistem perhitungan astronomi 
demi
> >     mereduksi kesalahan sistem kalender Ummul Qura yang selama 
ini
> >     dijadikan acuan oleh pihak KSA. /Wallahu A`lam!/
> >
> >     ==== end of copy n paste ====
> >
> >      
> >
> >     salam
> >
> >     :-)
> >
> >
> >      
> >
> >
> >      
> >
> >
> >     *) Pengelola Madrasah Diniyah al-Aysar Tasikmalaya Bandung
> >
> >
> >
> >      
> >     On 10/17/06, *wandysulastra* <[EMAIL PROTECTED]
> >     <mailto:[EMAIL PROTECTED]>> wrote:
> >
> >         Nah, kalau terjadi perbedaan yang didasarkan pada dalil-
dalil
> >         yang
> >         shahih, perbedaan seperti inilah yang mesti kita 
hargai.... :)
> >
> >         -------
> >
> >         Perbedaan Mathla' (Tempat Terbit Bulan) dan Implikasinya 
dalam
> >         Menentukan Satu Syawal
> >         11/29/2002
> >
> >         Dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal (Idul 
Fitri) para
> >         ulama berbeda pendapat, sehingga tidak jarang kita 
saksikan
> >         bersama
> >         bahwa negara A sudah berpuasa atau sudah berhari raya, 
sementara
> >         negara yang lain belum berpuasa atau berhari raya. 
Perbedaan
> >         pendapat tersebut akhirnya bermuara kepada lahirnya dua 
kelompok
> >         ulama yang berbeda dalam menyikapi mathla' (tempat 
terbitnya
> >         bulan).
> >
> >         Kelompok pertama, mereka memandang bahwa di dunia Islam 
ini hanya
> >         ada satu mathla' saja. Maksudnya, jika ada salah satu 
negara yang
> >         berpenduduk muslim sudah melihat bulan (meru'yah hilal), 
maka
> >         wajib
> >         hukumnya negara-negara Islam yang lain yang belum 
melihat bulan
> >         mengikuti hasil ru'yah negara tersebut. Mereka yang 
masuk dalam
> >         kelompok ini adalah jumhurul ulama (sebagian ulama 
Hanafiyah,
> >         ulama-
> >         ulama mazhab Maliki, ulama-ulama mazhab Hanbali, Malik, 
al-Laits,
> >         Syafi'I, Ahmad, Ibnul Qasim, sebagian kecil ulama madzhab
> >         Syafi'I,
> >         al-Qadhi Abu Thayyib, ad-Daarimi dan Abu Ali as-Sanji).
> >
> >         Kelompok kedua, mereka memandang bahwa setiap negara yang
> >         berpenduduk muslim itu mempunyai mathla' sendiri. 
Sehingga mereka
> >         boleh bersandar/berhujjah -dalam hal memulai puasa atau 
hari
> >         rayanya-
> >         dengan hasil ru'yah sendiri dan tidak harus mengikuti 
hasil
> >         ru'yah
> >         negara muslim yang lain. Mereka yang tergabung dalam 
kelompok ini
> >         adalah sebagian besar ulama mazhab Hanafi dan sebagian 
besar
> >         ulama
> >         mazhab Syafi'i (sedangkan imam Syafi'I sendiri berada 
pada
> >         kelompok
> >         pertama).
> >
> >         Dalil-Dalil Masing-Masing Kelompok
> >
> >         Dalil Kelompok Pertama
> >
> >         Hadis Abu Hurairah dan yang lain, "Berpuasalah karena 
melihat
> >         bulan
> >         (hilal) dan berbukalah (berhari raya Idul Fitri) karena 
melihat
> >         bulan juga. Jika kamu terhalang mendung (awan) dalam 
melihat
> >         bulan,
> >         maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban itu menjadi 30
> >         hari." (HR
> >         Bukhari dan Muslim)
> >
> >         Jadi, hadis tersebut menunjukkan bahwa kewajiban puasa 
bagi umat
> >         Islam itu bergantung kepada mutlaknya ru'yah, sedangkan 
mutlak
> >         itu
> >         sendiri berlaku sesuai dengan kemutlakannya. Karena itu, 
cukuplah
> >         dalam masalah ini ru'yah yang dilakukan oleh kelompok 
atau
> >         perorangan.
> >
> >         Hadis Nabi saw, "Puasa kamu adalah hari di mana kamu 
berpuasa,
> >         ifthor (hari raya Idulfitri) kamu adalah hari di mana 
kamu
> >         berhari
> >         raya Idulfitri dan hari raya Iduladhha kamu adalah hari 
di
> >         mana kamu
> >         berhari raya Iduladhha."
> >
> >         Karena itu, apabila ada seseorang yang melihat malam 
ketiga puluh
> >         dari bulan Sya'ban di suatu tempat, baik dekat maupun 
jauh, maka
> >         wajib berpuasa.
> >
> >         Qiyas
> >
> >         Mereka mengqiyaskan negara-negara yang jauh dengan kota-
kota yang
> >         dekat dengan negara tempat ru'yah. Misalnya, mereka 
mengqiyaskan
> >         negara-negara seperti Indonesia, Thailand, Malasyia, dan
> >         lain-lain
> >         dengan kota-kota yang dekat dengan ru'yah seperti Mekah 
atau
> >         Madinah
> >         yang dekat dengan Saudi Arabia apabila melaksanakan 
ru'yah.
> >         Karena,
> >         menurut mereka, tidak ada perbedaan antara negara-negara
> >         tersebut,
> >         sedangkan pembedaan itu -apabila dimunculkan- maka hal 
itu adalah
> >         upaya mencari-cari hukum (tahakkum) yang tidak 
berdasarkan dalil.
> >
> >         Dalil Kelompok Kedua
> >
> >         Hadis Kuraib, bahwa Ummu al-Fadhl mengutus Kuraib kepada
> >         Muawiyah di
> >         Syam, lalu Kuraib berkata, aku telah datang ke Syam dan 
telah
> >         melaksanakan keperluan Ummu al-Fadhl, sedangkan awal 
Ramadhan
> >         datang
> >         kepadaku, sementara aku berada di Syam. Aku melihat 
bulan (hilal)
> >         pada malam Jumat, kemudian aku datang ke Madinah pada 
akhir
> >         bulan,
> >         lalu Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku kemudian 
menyangkut
> >         masalah hilal, lalu Ibnu Abbas bertanya, "Kapan Anda 
melihat
> >         Hilal?"
> >         Aku menjawab, "Kami melihatnya pada malam Jumat, Ibnu 
Abbas
> >         bertanya, "Anda melihatnya sendiri?" Aku menjawab, "Ya," 
saya
> >         melihatnya sendiri dan orang-orang lain juga, mereka 
semua
> >         berpuasa,
> >         begitu juga Muawiyah. Ibnu Abbas berkata, "Akan tetapi, 
kami
> >         melihatnya pada malam Sabtu, sehingga kami berpuasa 
setelah
> >         menyempurnakan bilangan 30 hari (dari Sya'ban) atau kami
> >         melihatnya
> >         sendiri. Kuraib bertanya, bukankah Anda cukup dengan 
ru'yah dan
> >         puasa yang dilakukan Mu'awiyah? Ibnu Abbas 
menjawab, "Tidak,
> >         seperti
> >         inilah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami."
> >
> >         Hadis Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Bulan 
(hijriyah)
> >         itu tidak lain adalah 29 hari, maka janganlah kamu 
berpuasa
> >         sehingga
> >         kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga 
kamu
> >         melihat
> >         bulan. Apabila kalian terhalang melihat bulan (karena
> >         mendung/awan),
> >         maka perkirakanlah bulan itu."
> >
> >         Hadis tersebut menunjukkan bahwa kewajiban berpuasa itu
> >         bergantung
> >         kepada ru'yah, akan tetapi yang dimaksud bukan ru'yah 
yang
> >         dilakukan
> >         oleh setiap orang, melainkan ru'yah yang dilakukan oleh 
sebagian
> >         orang.
> >
> >         Qiyas
> >
> >         Mereka mengqiyaskan perbedaan tempat terbitnya bulan 
dengan
> >         perbedaan tempat terbitnya matahari yang merupakan tempat
> >         bergantungnya waktu-waktu melakukan salat.
> >
> >         Rasional
> >
> >         Syara' menggantungkan kewajiban melakukan puasa dengan 
munculnya
> >         bulan Ramadhan. Sedangkan permulaan munculnya bulan itu
> >         berbeda-beda
> >         sebab perbedaan letak negara dan kejauhannya. Perbedaan 
ini akan
> >         berimplikasi kepada perbedaan permulaan puasa karena 
perbedaan
> >         letak
> >         negara tersebut
> >
> >         Kesimpulan
> >
> >         Berdasarkan dalil-dalil yang dipaparkan oleh kedua 
kelompok
> >         tersebut, maka terasa luas dan lapang bagi umat Islam 
untuk
> >         menyikapi perbedaan awal puasa Ramadhan dan awal Syawal
> >         (Idulfitri).
> >         Karena, masing-masing kelompok tersebut memiliki hujjah 
dan dalil
> >         yang kuat dan rajih. Sehingga tidaklah terlalu menjadi 
persoalan
> >         besar jika umat Islam Indonesia berbeda awal Ramadhannya 
atau
> >         awal
> >         Syawalnya dengan umat Islam di Timur Tengah. Begitu 
juga, apabila
> >         umat Islam Indonesia bersama-sama melaksanakan Idulfitri
> >         dengan umat
> >         Islam Timur Tengah. Akan tetapi, alangkah indahnya jika 
sesama
> >         umat
> >         Islam itu bersatu dalam memulai puasa Ramadhan atau awal
> >         Syawalnya,
> >         baik umat Islam dari Indonesia maupun umat Islam dari 
luar
> >         Indonesia. Karena, dengan bersatunya umat Islam dalam 
berpuasa
> >         atau
> >         berhari raya itu akan berimplikasi pada hal-hal yang 
positif
> >         seperti
> >         berikut ini:
> >
> >         - Akan tampak kekuatan umat Islam di mata musuh-musuhnya 
dan
> >         hal ini
> >         akan membuat perasaan takut di mata mereka. Sebab, 
secara logika,
> >         jika dalam masalah-masalah yang kecil saja umat Islam 
bisa
> >         bersatu,
> >         bagaimana dengan masalah besar yang sedang dihadapi 
mereka?
> >
> >         - Kebersatuan umat Islam tersebut--tanpa pandang bulu 
dari mana
> >         mereka berasal dan mereka tinggal-- akan menjadi modal 
utama
> >         untuk
> >         pembentukan khilafah Islamiyah. Karena, khilafah 
Islamiyah
> >         merupakan
> >         prasyarat utama untuk memberlukan ajaran dan syari'ah 
Islam
> >         secara
> >         menyeluruh (kaffah).
> >
> >         Kemudian, sebaliknya jika memang sulit umat Islam itu
> >         dibersatukan
> >         dalam memulai Ramadhan dan mengawali Syawalnya, maka
> >         seharusnya pula
> >         umat Islam itu saling bisa menghargai antara yang satu 
dengan
> >         yang
> >         lainnya. Mengingat, mereka semua juga melaksanakan awal
> >         Ramadhan dan
> >         awal Syawal berdasarkan dalil-dalil yang telah dijadikan 
pegangan
> >         juga para Salaf Saleh. Jadi, jangan sampai antara yang 
satu
> >         dengan
> >         yang lainnya merasa paling benar dan menyalahkan yang 
lainnya.
> >         Memang, mengklaim diri sendiri paling benar itu boleh, 
tetapi
> >         menyalahkan orang lain yang melakukan ibadah berdasarkan 
dalil
> >         yang
> >         sahih pula itu tidak boleh.
> >
> >         Referensi:
> >         - Bahts Aaraaul Ulama Fikh Tilaafil Mathaali' (Resume: 
Pandangan
> >         Ulama Mengenai Perbedaan Mathla'), Mahasiswa semester 
III, Fak.
> >         Syari'ah Univ. Imam Ibnu Sa'ud Jakarta
> >
> >         - Fillial Univ. Imam Ibnu Sa'ud Riyadh, Saudi Arabia
> >
> >         Sumber:
> >         Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
> >
> >
> >
> >
>






Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh 
manusia yang akan bertambah bila terus diamalkan, salah satu pengamalannya 
adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan. 
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu 
wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang 
tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas 
yang engkau mampu. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/keluarga-islam/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/keluarga-islam/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Reply via email to