Wa'alaykum salam, Pak Bambang yg bijaksana... tidak harus membid'ahkan, mengkafirkan, dan memusyrikan orang lain adalah benar. Tetapi bukan berarti kita lantas mendiamkan kekeliruan ataupun kemungkaran yang terjadi di depan mata kita. Banyak cara yang lebih elegant untuk menyampaikan kebenaran.
Berikut ada sebuah hadits yang terkait dengan masalah meluruskan kekeliruan (mencegah kemungkaran). Diambil dari Kitab Syarah Hadits Arba'in Imam Nawawi Bab "Kewajiban Memberantas Kemungkaran". Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Thariq bin Syihab, ia berkata: Orang yang pertama kali mendahulukan khutbah pada hari raya sebelum sholat adalah Marwan. Lalu seorang laki-laki datang kepadanya, kemudian berkata: "Shalat sebelum khutbah?" Lalu (laki2 tsb) berkata: "Orang itu (marwan) telah meninggalkan yang ada disana (Sunnah Nabi)" Abu Sa'id berkata:"Adapun dalam hal semacam ini telah ada ketentuannya. Saya mendengar Rasulullah bersabda: "Barangsiapa diantaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia tak sanggup maka dengan lidahnya (menasehatinya); dan jika ia tak sanggup juga maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." Pada hadits lain disebutkan bahwa Abu Sa'id menarik tangan Marwan ketika hendak naik keatas mimbar. Jadi amar ma'ruf nahi mungkar tidak boleh ditinggalkan dengan alasan ikatan persahabatan ataupun persaudaraan, karena orang yang berakhlak baik adalah orang yang membantu saudaranya untuk memajukan kepentingan akhiratnya. Orang yang berusaha meluruskan kekeliruan saudaranya bukan berarti pula merasa dirinya lebih baik atau paling benar, tapi semua itu dilakukan semata-mata karena hendak mengamalkan atau menyampaikan ilmu yang sudah didapatnya. Yang mesti kita ingat bahwa Amar ma'ruf nahi mungkar ini seharusnya dilakukan dengan cara2 yang santun, tentunya dengan harapan agar lebih mendekatkan kepada tujuan, dan bukan malah menghasilkan perpecahan. Menurut para ulama, masalah ikhtilaf bukanlah masalah yang harus dicegah sebagaimana halnya penyimpangan (bid'ah) seperti yang diceritakan pada hadits diatas, tapi bukan berarti pula dapat menggugurkan kewajiban kita untuk memilih dan menunjukan pendapat yang menurut kita lebih kuat. Yang jelas, dalam ikhtilaf setiap orang memiliki hak untuk memilih hasil ijtihad para imam mujtahid sesuai dengan keyakinan dan dalil-dalil yang sudah diketahuinya, tanpa harus membid'ahkan atau mengkafirkan pihak yang berbeda... :) --- In keluarga-islam@yahoogroups.com, "Kartika, Bambang" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Assalamu'alaikum > > Ma'af kang Wandy,...seharusnya saya tidak berhak menjawab mungkin hadis dibawah ini bisa menjadi pertimbangan > > Kanjeng Nabi bersabda "Aku tidak diperintahkan untuk melubangi hati manusia dan tidak pula untuk merobek perut mereka". disinilah sifat Ta'anni Kanjeng Nabi, Baginda Nabi tidak pernah menghukumi sesuatu yang ada dalam hati manusia. Ini penting sekali untuk kita saling berkomunikasi sesama Muslim agar jangan sampai terjadi perpecahan karena menyakiti dan disakiti, Kang' Wandy...tidak tahlilan, tidak ziaroh kubur tidak mauludan ya monggoh saja. Kang' Wandy atau siapapun yang tidak menjalankan hal tersebut bukan berarti harus membid'ahkan, mengkafirkan, memusrikan orang yang melakukan hal tersebut. =====