Monogami dan Poligami
  Nabi Muhammad saw Setia Monogami
Faqihuddin Abdul Kodir, MA
( Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas 
Syariah Universitas Damaskus, Suriah ), 29 Mei 2003
  
Bismillah hirRohman nirRohim
   
  Rekaman sejarah jurisprudensi Islam sebenarnya telah lama mematahkan argumen 
yang sering diyakini oleh kalangan propoligami bahwa “poligami itu Sunnah Nabi 
Saw.” Usaha mencari justifikasi teologis poligami seringkali dipaksakan, meski 
Q.s an-Nisa: 3 jelas menunjukkan kemustahilan berlaku adil ketika berpoligami. 
Tapi, anehnya, kalangan propoligami tetap percaya bahwa poligami turut 
menentukan tolok ukur keislaman seseorang.
   
  Tanya : Anda cukup punya perhatian terhadap masalah perempuan pada umumnya 
dan poligami khususnya. Seserius apakah masalah poligami ini di masyarakat?
   
  FAQIHUDDIN ABDUL KODIR: Cukup serius. Kalangan propoligami seringkali 
menyandarkan argumennya pada pemahaman yang salah atas nash Alquran dan hadis. 
Slogan-slogan seperti “poligami itu Sunnah” dan “poligami itu membawa berkah” 
sering mereka pakai. Sebetulnya tidak terlalu tepat kalau dikatakan bahwa Islam 
punya dalil untuk membolehkan poligami. Sebaliknya, kita juga punya dalil 
--dalam artian teks—yang membicarakan masalah itu.
   
  Dalam tulisan saya di Kompas (13 Mei 2003) berjudul  Benarkah Poligami 
Sunah..? saya mengatakan bahwa persoalan poligami dan monogami adalah persoalan 
parsial atau persoalan konteks belaka. Sementara dalam fikih ada beragam 
padangan soal itu. 
  Saya membaca lagi kitab Al-Hidâyah karangan Al-Murhinani, seorang ulama dari 
mazhab Hanafi, bahwa ada suatu saat poligami bisa diharamkan. Pandangan 
tersebut misalnya, dapat disimak dari Imam Al-Syafii dalam Ar-Risalah-nya. Dia 
pernah mengatakan, seorang laki-laki merdeka diharamkan berpoligami dengan 
seorang amat, budak perempuan. Sebab apa? Dikhawatirkan, nanti akan terjadi 
kerusakan pada keturunannya. Anak seorang budak, nasibnya saat itu akan menjadi 
budak juga. Artinya, dalam fikih selalu ada  kemungkinan bahwa antara poligami 
atau monogami, dalam konteks tertentu, salah satunya justru malah lebih 
diunggulkan. 
   
  Tanya : Selama ini orang yang berpoligami mengambil landasan dari ayat 
Alquran. Bagaimana menjawab argumen seperti ini?
   
  FAQIHUDDIN: Sebenarnya kalau mau jujur, dalam Alquran ada tiga poin yang 
terkaitan dengan poligami. Yang pertama, anggaplah semacam memberi kesempatan 
untuk poligami. Kedua, peringatan atau warning agar belaku adil: fain khiftum 
allâ ta‘dilû fawâhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu 
sajalah! -Red). Ketiga, ada ayat yang mengatakan, walan tashtatî’û ‘an ta’dilî 
bainan nis⒠wain harashtum. Artinya, kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) 
tidak akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha 
keras. 
   
  Ini artinya, kalau kita melakukan komparasi atas berbagai ayat, kesimpulannya 
adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) 
menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami: masalah keadilan. Intinya, dua 
ayat justru mengekang poligami. Kalau kita menggunakan proporsi seperti tadi, 
akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Dan ingat, satu-satunya 
ayat yang seakan membolehkan poligami, yaitu Qs An-Nisa: 2-3, konteksnya adalah 
perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
   
  Tanya : Bagaimana dengan dalih meneladani praktik Nabi Saw?
   
  FAQIHUDDIN: Kalau kita bicara tentang praktik Nabi, ketahuilah Nabi itu 
menjalani bahtera rumah tangga lebih dari 30 tahun. Tapi selama 28 tahun Nabi 
setia dengan praktik monogami. Dan hanya delapan tahun dia melakukan poligami. 
Kalau kita menggunakan proporsi waktu juga, maka anggapan bahwa poligami adalah 
Sunnah itu lucu juga. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak 
melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Bahkan, praktik monogami Nabi 
yang sangat lama itu dilakukan di tengah situasi sosial masyarakat Arab yang 
menganggap poligami itu lumrah.
   
  Jadi jelas Nabi lebih bahagia dan sukses ketika menjalani kehidupan monogami. 
Ingat, betapa berdukanya Nabi setelah wafatnya Khadijah, isterinya beliau 
satu-satunya dalam praktik monogami. Bahkan, tahun itu (kesepuluh kenabian) 
disebut juga sebagai amulhuzn (tahun duka cita, Red). Baru dua tahun 
sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani sebentar saja. Selain 
itu, perlu diingat kasus Nabi melarang Ali bin Abi Thalib melakukan poligami 
yang berarti memadu putrinya, Fatimah. Itu dikisahkan dalam hadis sahih, dan 
diriwayatkan, di antaranya oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih mereka. 
Juga diriwayatkan oleh ulama hadis terkemuka seperti Turmudzi dan Ibn Majah.
   
  Tanya : Artinya, secara subjektif Nabi tidak suka anaknya dimadu?
   
  FAQIHUDDIN: Ya, Nabi  marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah, 
akan dipoligami Ali. Nabi pun langsung masuk ke masjid, naik mimbar dan 
berkhutbah di depan banyak orang: Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah 
meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. 
Sabda Nabi: “innî l⠑âdzan, (saya tidak akan izinkan), tsumma l⠑âdzan (sama 
sekali, saya tidak akan izinkan), tsumma lâ âdzan illâ an ahabba ‘ibn Abî 
Thâlib an yuthalliq ‘ibnatî, (sama sekali, saya tidak akan izinkan, kecuali 
bila anak Abi Thalib (Ali) menceraikan anakku dahulu). Lalu Nabi melanjutkan, 
Fâthimah bidh‘atun minnî, yurîbunî m⠑arâbahâ wa yu’dzînî m⠑adzâhâ, Fatimah 
adalah bagian dari diriku; apa yang meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan 
apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti hatiku juga  (Jâmi’ al-Ushûl, juz 
XII, 162, nomor hadis: 9026). Akhirnya Ali bin Abi Thalib tetap bermonogami 
sampai Fatimah wafat.
   
  Tanya : Hadis tersebut jarang sekali disiarkan?
   
  FAQIHUDDIN: Ya. Itulah ironisnya. Ada distorsi yang dilakukan kalangan 
propoligami. Ketika kita membuka kitab-kitab hadits semacam Majâmi‘ Al-Ushûl, 
kumpulan enam kitab hadis terbesar–misalnya—akan ditemukan tiga klasifikasi 
tentang poligami. Pertama, ada pembatasan. Alkisah, ada sahabat yang kawin 
dengan sepuluh orang, lantas Nabi menganjurkan untuk menceraikan selain empat 
orang. Itulah yang dilakukan Nabi pada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi, Wahb 
al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Kedua, ada hadis tentang moralitas poligami. 
Dalam hadits ini, disebutkan kalau orang yang melakukan praktik poligami harus 
adil, tidak berlaku aniaya atas dua isteri; kalau berbuat aniaya diancam siksa 
neraka. Ketiga, perilaku Nabi dalam berpoligami. 
   
  Coba lihat kitab Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita temukan bukti bahwa 
poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, 
ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi. Sebagian besar 
yang dinikahi Nabi adalah janda-janda yang ditinggal  mati suaminya ketika 
berjihad, kecuali Aisyah binti Abu Bakr.
   
  Jadi anjuran --baik dari Alquran atau hadis-- yang menyebut poligami sebagai 
sesautu yang baik tidak ada sama sekali. Karena itu, pandangan yang beredar di 
masyarakat, seperti kasus Puspowardoyo atau Drs. Muhammad Thalib yang menulis 
buku Tuntunan Poligami dan Keutamaannya kurang tepat. Mereka jelas-jelas 
menganjurkan, bahkan menganggapnya perintah. Dalam pandangan mereka, orang yang 
berpoligami lebih baik daripada yang monogami (Rhoma Irama yang berpoligami 
juga berpendapat demikian, Red). Bahkan disebutkan bahwa poligami akan menambah 
rezeki, memberi peluang masuk surga lebih banyak. Ini lucu sekali! 
   
  Tanya : Apa isi buku Tuntunan Poligami dan Keutamaannya itu?
   
  FAQIHUDDIN: Poin paling utama dari buku itu mengatakan bahwa poligami adalah 
anjuran Islam, dan orang yang melakukan poligami lebih baik dari orang yang 
melakukan monogami. Sebetulnya, perkataan ini bukan berdasarkan Alquran dan 
hadis, tapi garis besarnya dari perkataan Ibn Abbas yang berbunyi, tazawwaj 
fainna khaira hâdzi al-ummah aktsaruhâ nisâ’an. Dia mengatakan itu kepada 
temannya, Said bin Zubeir: “Kawinlah! karena sungguh sebaik-baiknya umat Islam 
adalah yang banyak isterinya”. Ini sesuai dengan terjemahan buku itu.  Padahal, 
kalau kita membahas artinya, akan banyak sekali terjemahan yang tidak pas. 
Tapi, taruhlah terjemahan dia benar, maka masalah (yang tersisa) ini adalah 
perkataan Ibnu Abbas, seorang sahabat.
   
  Tidak semua ulama mengatakan perkataan sahabat sebagai hujjah atau sesuatu 
yang bisa dijadikan argumen agama yang valid. Imam Syafi’i misalnya, mengatakan 
bahwa mazhabus shahâbah, laisat bihujjatin muthlaqah, perkataan sahabat itu 
bukan dalil sama sekali. Kalau Imam Hanafi lain lagi. Dia masih mengatakan, 
wain khâlafahul qiyâs fainnahu hujjah, wain lam yukhâlif, fahiyâl hujjah. 
Artinya, kalau bertentangan dengan analogi (qiyâs), maka bisa dianggap sebagai 
hujjah, khususnya kalau dalam bidang akidah. Sebab, bagian akidah dalam agama 
tidak bisa dilandaskan pada analogi. Selagi berbicara masalah keimanan, azab 
kubur, dan lain-lain, perkataan sahabat bisa dijadikan sebagai argumen. Tapi 
kalau bicara tentang sesuatu yang ada analoginya, maka dia tidak bisa dijadikan 
hujjah, karena masing-masing akan punya analogi; sahabat punya, tabi’in juga 
punya.
   
  Jadi menurut Hanafi, pendapat sahabat bisa dijadikan sandaran dalam masalah 
akidah. Tapi kalau berkaitan dengan muamalah dan kehidupan sehari-hari justru 
tidak bisa. Masalah poligami termasuk dalam masalah kehidupan sosial 
(muamalah), sehingga perkataan sahabat tak bisa dijadikan sandaran.
   
  Tanya : Tapi dalam literatur fikih kita selama ini, soal poligami dianggap 
sebagai praktik agama yang legal dan sah-sah saja. Kenapa formulasi fikih bisa 
seperti itu?
   
  FAQIHUDDIN: Kita harus pahami kalau fikih ditulis di masa lalu, di mana 
posisi perempuan dan daya tawarnya sangat lemah. Tak banyak orang yang 
menyuarakan kepentingan perempuan. Jadi ketika mereka berbicara tentang 
keadilan, jarang sekali yang berbicara dari perspektif kaum perempuan.
   
  Tanya : Kitab-kitab fikih juga kebanyakan ditulis oleh laki-laki?
   
  FAQIHUDDIN: Itu salah satu poin juga. Tapi ada suatu masa di mana ada sekitar 
9900 ahli hadis perempuan. Tapi begitu masanya makin ke belakang, justru yang 
terjadi sebaliknya. Mereka tinggal beberapa orang saja, bahkan kita tidak 
mengenal seorang ulama perempuan dalam bidang fikih. Kalau tasawuf kita 
mengenal Rabiah al-Adawiyah, tapi dalam hal fikih, kita tidak mengenal satu 
orang pun. Ini salah satu persoalan mengapa faktor advokasi perempuan kurang 
banyak dilakukan. 
   
  Tanya : Pengaruhnya sampai kini juga masih terasa. Juru dakwah, ulama  atau 
cendekiawan dari kalangan perempuan juga sangat sedikit jumlahnya?
   
  FAQIHUDDIN: Itulah kenyataannya. Selama ini yang mengalami ketidakadilan 
adalah perempuan. Makanya, monogami atau poligami merupakan persoalan parsial 
atau partikular saja. Analoginya, kita boleh mencatat atau tidak mencatat 
hutang-piutang. Itu persoalan pilihan saja. Sementara yang prinsip dalam Islam 
adalah nilai keadilan. Artinya, masing-masing pihak, baik perempuan atau 
laki-laki, memperoleh hak mereka secara proporsional. Nah, ketika kita bicara 
prinsip, tentu saja kita harus kembalikan kepada realitas.
  Masalah poligami itu terkait antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaannya: 
sejauh mana keadilan diwujudkan melalui poligami. Kalau tidak terwujud, 
poligami bisa dilarang. Keadilan itu tidak hanya diterjemahkan oleh persepsi 
laki-laki semata. Selama ini, sering kali makna keadilan diterjemahkan satu 
arah saja. Itu tidak tepat. Agar tahu tentang keadilan, banyak yang perlu 
dilibatkan, terutama perempuan sebagai korban poligami. Lembaga 
penelitian/advokasi yang mencermati kasus-kasus poligami juga dapat diminta 
pendapatnya.
   
  Tanya : Bagaimana bila ada perempuan yang menganggap poligami itu adil bagi 
dirinya?
   
  FAQIHUDDIN: Kalau secara kasuistik, mungkin saja ada perempuan yang merasa 
adil. Tapi kita bicara secara sosial. Artinya, bicara fikih, maka kita bicara 
tentang apa yang sifatnya umum, bukan sesuatu yang sifatnya kasuistik. Sifat 
umum itu artinya sesuatu yang bisa diaplikasikan dan dirasakan banyak orang. 
Nah, dalam kaitannya dengan orang-per-orang, tentu harus dilakukan penelitian 
terlebih dahulu. 
   
  Saya kira, kalau kita bicara statistik secara sosial, praktik poligami akan 
lebih banyak mendatangkan bahaya. Itu sebetulnya sudah ditegaskan oleh banyak 
penulis, yang menurut saya, lebih jujur dibandingkan teman-teman kita yang 
mempromosikan poligami itu.
   
  Tanya : Kalau perempuan tidak mau dimadu, bagaimana status mereka dalam 
kacamata fikih?
   
  FAQIHUDDIN: Dari sisi fikih, perempuan yang tidak ingin dimadu punya hak. 
Dalam fikih ada syarat-syarat bagi laki-laki yang ingin melakukan poligami. 
Isteri boleh mengajukan syarat pada suaminya agar jangan sampai dimadu. Memang, 
ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa syarat seperti itu tidak sah. Akan 
tetapi, ulama Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa perempuan diberi kesempatan 
untuk mengajukan keberatan agar tidak dimadu. Saya katakan dalam artikel saya, 
poligami adalah proses dehumanisasi perempuan. Perempuan yang dimadu banyak 
yang mengalami self-depreciation, penderitaan lahir batin luar biasa. Ada yang 
menganggap penderitaan itu bagian dari pengorbanan, takdir, atau menyalahkan 
dirinya sendiri sehingga membuat suaminya poligami. Kasihan sekali, bukan?
   
  Tanya : Jadi ada reduksi atas ajaran Islam dengan menganggap bahwa ayat 
poligami adalah pengesah (poligami) dengan sendirinya, sembari mengabaikan 
kenyataan sosial dan pendapat ulama yang beragam dalam menafsirkan ayat 
tersebut. Menurut Anda?
   
  FAQIHUDDIN: Ya. Inilah salah satu hal yang mendistorsi pemikiran atau 
perkembangan pemikiran fikih kita: ketika fikih dilihat dari satu pendapat saja 
dan yang lainnya tidak dianggap. Padahal, dalam fikih pandangan itu justru 
banyak dan mengikuti konteks sosial masing-masing ulama. Ketika berbicara bahwa 
poligami itu sunnah, mungkin itu hanya dilihat dari persoalan dan konteks di 
masa lalu. Jadi, sangat naif kalau fikih hanya meladeni satu pandangan saja.
   
  Tanya : Kita tahu, Nabi beristeri sembilan. Tapi dalam kaidah fikih, ada hal 
yang tidak boleh diikuti dari Nabi. Bisa dijelaskan lebih lanjut?
   
  FAQIHUDDIN: Itulah yang dinamakan dengan khushûsiyyât, atau spesifikasi yang 
dimiliki Nabi dan tidak dimiliki dan tidak boleh dituruti orang lain. Mungkin 
dalam hal ini termasuk masalah poligami juga. Tentang klaim bahwa poligami 
berguna untuk proteksi bagi mereka yang janda misalnya sebagaimana Nabi, 
mestinya mereka yang ingin poligami melirik ke janda. Tapi sayangnya, daun muda 
nampaknya lebih disukai. Hadis yang saya sebutkan di atas membuktikan poligami 
itu menyakitkan, baik bagi anak yang dimadu maupun orangtua yang anaknya 
dimadu. Atas pertimbangan semacam ini, poligami itu nantinya bisa saja ditekan, 
bahkan dilarang. Dalam konteks personal, poligami itu dilarang karena menyakiti.
   
  Tanya : Mungkin di masa Nabi terjadi proses graduasi hukum. Suatu ketika yang 
diidealkan hukum Islam adalah monogami, dan poligami malah dianggap haram. 
Tanggapan Anda?
   
  FAQIHUDDIN: Bisa saja. Itu salah satu bentuk transformasi. Kebanyakan 
isteri-isteri Nabi itu janda. Jadi masalah proteksi itu betul-betul terwujud. 
Ini berbeda dengan praktik-praktik poligami di sini yang tidak seperti yang 
dilakukan Nabi, sehingga proses proteksi dan transformasi terhadap perempuan 
tidak lagi kelihatan. Karena itu, beberapa ulama seperti Muhammad Abduh, bahkan 
berani mengatakan bahwa pada zaman kini hukum poligami haram. Poligami rupanya 
menimbulkan persoalan, seperti anak terlantar, pertengkaran, dan lain-lain. 
Jadi praktik di Mesir saat itu menginspirasi Abduh untuk mengatakan bahwa pada 
masa sekarang, poligami bisa haram. Apalagi Islam amat menekankan masalah 
keadilan. 
   
  Wallahu alam bishowab, Wa min Allah at tawfiq


 
---------------------------------
Check out the all-new Yahoo! Mail beta - Fire up a more powerful email and get 
things done faster.

Kirim email ke