hm... fasis relijius..!
ada yang bisa menjelaskan untuk kelompok mana istilah ini disandangkan..?!

makanya Kang,
mending hirup mah ulah dipisah-pisah mana agama, mana politik, mana bisnis.
he he he...

salam
:-)



On 12/12/06, Ananto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

   Hari-hari Ketidaksetiaan

Oleh: Alfanny


Hari-hari ini kita dipertontonkan oleh "teladan" ketidaksetiaan dari para
public figure kita. Ada anggota DPR yang merekam "adegan"
ketidaksetiaannya di ponsel. Juga ada dai kondang yang mengemas
ketidaksetiaannya dalam bahasa relijius.

Yang pasti korban ketidaksetiaan itu adalah kaum perempuan! Kaum perempuan
dalam atmosfer patriarki memang menjadi kaum lemah yang dipinggirkan oleh
para rezim, terutama rezim fasis relijius.

Masih segar dalam ingatan kita ketika rezim fasis relijius tersebut
menolak presiden perempuan dalam event Pemilu 1999. Semasa masih menjadi
mahasiswa UI, penulis pernah dipanel dalam sebuah diskusi di Masjid UI
membahas presiden perempuan. Pada momen tersebut, terlihat sekelompok
mahasiswa beraliran fasis relijius menolak mentah-mentah presiden perempuan.
Penulis pun hanya mengajukan argumen sederhana ; Bahwa kita semua lahir ke
dunia tidak pernah tahu apakah lahir sebagai laki-laki atau perempuan?


Masih terngiang cerita kyai dan alim ulama di kampung-kampung tentang kaum
jahiliyah Arab yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup! Tentang
perempuan-perempuan yang tidak berhak mendapatkan warisan bahkan menjadi
barang warisan. Islam-lah yang kemudian mengangkat harkat dan martabat kaum
perempuan. Tidak ada lagi anak perempuan dikubur hidup-hidup. Tidak dijumpai
lagi perempuan yang menjadi barang warisan.


Mungkinkah bangsa kita ingin meniru perilaku Arab jahiliyah. Selalu
menyakiti kaum perempuan yang justru adalah ibu kita sendiri, yang
melahirkan kita!


Berani sumpah! Setiap kaum perempuan akan sangat sakit hati bila
menyaksikan ketidaksetiaan dari pasangannya. Toh, kaum laki-laki juga akan
marah bila melihat istrinya selingkuh dengan pria idaman lain. Sama saja
bukan?


Mungkinkah bangsa kita memang bangsa yang tidak setia? Dulu, di masa
Revolusi Kemerdekaan, setiap pejuang republiken pasti akan menghukum mati
para pengkhianat yang membocorkan rahasia perjuangan kepada Belanda.  Bahkan
PM Sutan Syahrir sempat diculik oleh para pejuang yang meragukan kesetiaan
Syahrir hanya karena Syahrir bersedia berkompromi dalam perundingan dengan
Belanda. Para pejuang republikan saat itu memang hanya mengenal warna
hitam putih. Setia kepada Republik, merdeka 100% atau menjadi antek Belanda.



Banyak juga kaum pribumi yang tidak setia pada republik. Mereka pun
terbujuk oleh Van Mook untuk selingkuh dengan Belanda dan keluar dari
republik. Negara-negara boneka pun terbentuk. Ada Pasundan, NIT dan
lain-lain.


Ke belakang lagi, di masa pergerakan nasional, pimpinan Sarekat Islam
menguji kesetiaan anggotanya dengan menerapkan disiplin partai. Anggota SI
yang masih rangkap keanggotaan dengan partai lain, terutama ISDV (Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging) diharuskan memilih salah satu, SI atau
ISDV. Sejarah membuktikan bahwa para anggota SI "Merah" memilih keluar dari
SI dan membentuk Sarekat Rakyat, cikal bakal PKI.


Jadi, semuanya tergantung pada kita semua. Mau setia atau tidak setia?
Hanya ada dua pilihan itu. Namun, rupanya kini kelompok fasis relijius lebih
cerdik bagaikan sang kancil. Ketidaksetiaan dikemas dalam bahasa relijius.
Dan kembali, agama –versi kelompok fasis rejius- harus bertentangan dengan
hati nurani. Entah sampai kapan. Wallahu a'lam.

.



Reply via email to