Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan
             
"AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan makam kita tegak di 
jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, 
menggemakan ucapan-ucapan kita."  Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, 
Sultan Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar, melintasi tahun dan 
abad. Konya seakan terlelap dalam debu sejarah. "Tetapi, kota Anatolia Tengah 
ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi," tulis Talat Said 
Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.
   
  Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi bak bayangan yang abadi 
mengawal Konya, terutama untuk pada pengikutnya, the whirling dervishes, para 
darwis yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember, jutaan peziarah 
menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin mereka berarak untuk 
memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam.
   
  Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah menegakkan sebuah pilar di 
tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? "Dialah penyair 
mistik terbesar sepanjang zaman," kata orientalis Inggris Reynold A Nicholson. 
"Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci," seru Jami, penyair Persia 
Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.
   
  Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt mengabadikannya dikanvas, 
Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang, 
"Maulana mengubah tanah menjadi madu.... Aku mabuk oleh anggurnya; aku hidup 
dari napasnya." Bahkan, Paus Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus: 
"Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala penuh hormat mengenang Rumi."
   
  Besar dalam kembara
   
  Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini wilayah Afganistan. Ia 
Putra Bahauddin Walad, ulama dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota 
Balkh tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut perbedaan pendapat 
antara Sultan dan Walad.
  Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus), dan di situ kebeliaan 
Jalaluddin diisi oleh guru-guru bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus, 
keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia Tengah, atas permintaan Sultan 
Seljuk Alauddin Kaykobad. 
   
  Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada Walad, "Kendati saya tak 
pernah menundukkan kepala kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan 
pengikut setia Anda." Di kota ini ibu Jalaluddin, Mu'min Khatum, meninggal 
dunia. Tak lama kemudian, dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra  
pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun kemudian, keluarga ini pindah 
ke Konya, 100 Km dari Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di madrasah. 
1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin, lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 
tahun, Bahaudin Walad meninggal dunia. 
   
  Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan Walad, dan mengajarkan 
ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah 
kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan tamu, Burhannuddin 
Muhaqiq, yang ternyata murid terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru 
telah tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin. Burhanuddin pun 
menggembleng muridnya dengan latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 
abad terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia ke Damakus untuk 
menambah lmu. 8 tahun menggembleng, 1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. 
Jalaluddin Rumi pun menggembleng diri sendiri.
   
  Cinta adalah menari 
   
  Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah berada di atas semua 
ulama di Konya. Ilmu yang dia timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, 
Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana Rumi (Guru 
bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah senja Oktober, sehabis pulang dari 
madrasah,        seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan 
menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi langsung pingsan!
           
Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu bertanya, "Siapa yang lebih 
agung, Muhammad Rasulullah yang berdoa, 'Kami tak mengenal-Mu seperti 
seharusnya' atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang berkata, 'Subhani, 
mahasuci diriku, betapa agungnya 

  kekuasaanku'. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. 
Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia 
menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai 
menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, 
selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan 
dasar manusia, khusuk  menuju Cinta Ilahiah. 
   
  Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat 
Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia 
gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.Tapi, suatu pagi, seorang pandai 
besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat 
dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi 
ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan 
Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun 
dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi. "Tarian para 
darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk ratapan Rumi atas kehilangan 
Syams," jelas Talat.
   
  Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari, 
karena dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat 
peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang 
dicintai.(Aulia A Muhammad)
   
  Copyright © 2004 SUARA MERDEKA
   
  Undangan Workshop RUMI, Whirling Dervishes ( Tari Spiritual SAMA, Rumi)
   
  UNDANGAN KAJIAN LEPAS KERJA MASJID BAITUL IHSAN
BANK INDONESIA, JL. tHAMRIN / JL. BUDI KEMULIAAN.
   
  Tema: " Ekspresi Seni Para Pecinta "
Menampilkan Whirling Darvishes Jalaludin Rumi
Presentasi Workshop Tari "SAMA" Whirling Dervishes
   
  Mari Kemari, Datang..Datanglah
Mari kemari datanglah siapapun dirimu.
Pengelana, Peragu, dan Pecinta mari..kemari datanglah
Tak penting kau percaya atau tidak..
Mari, kemari … datanglah
   
  Kami bukanlah caravan yang patah hati ...
atau pintu-pintu dari keputus asa-an, 
Mari kemari datanglah... 
Meski kau telah jatuh ribuan kali, 
Meski kau telah patahkan ribuan janji, 
Mari kemari…datang... datanglah sekali lagi…
   
  ( Mawlana Jalaludin Rumi )
   
  Waktu:  Selasa  Tgl  26 Desember 2006, mulai pukul 16.45 sd menjelang 
Maghrib, dan (jika dirasa perlu)  dilanjutkan 18.30 sd menjelang Isya utk 
diskusi tanya jawab.
  Venue : Masjid Baitul Ihsan, Kompleks Perkantoran Bank Indonesia, Jl.Budi 
Kemuliaan Jakarta Pusat, Ruang Utama dan Ruang Kelas Lt. Basement.
  Peserta : Umum
Biaya    : TIDAK DIPUNGUT BIAYA

  Wasalam, arief

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke