Selamat Tahun Baru

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Sampai sekarang saya belum paham persis mengapa setiap tahun baru datang,
orang-orang menyambutnya dengan suka cita. Terkadang –terutama di kota-kota
besar—sambutan malah berlebihan. Sering kali dengan pesta pora gegap
gempita.

Suka cita orang yang menyambut tahun baru itu apakah karena besarnya
optimisme akan datangnya masa yang lebih cerah, atau merupakan luapan rasa
lega dengan ditinggalkannya masa lalu yang parah? Ataukah itu hanya seperti
kesukaan lumrah orang kepada setiap yang baru.

Padahal, bukankah tahun baru merupakan rambu-rambu penanda jarak mendekati
batas akhir perjalanan hidup yang berarti pengurangan umur? Bagi orang yang
menyadari batas akhir sejak melangkah dalam perjalanan hidup, seperti
Sutardji Calzoum Bachri yang bersajak "maut menabungku/ segobang segobang",
tahun baru tentu tidak serta merta disambut dengan gembira. Tapi terlebih
dulu dengan perenungan.


Apabila tahun yang lewat mencatat masukan-masukan positif bagi bekal
perjalanan selanjutnya, maka sudah selayaknya tahun yang baru datang
disyukuri. Namun apabila sebaliknya, tahun yang lalu memperlihatkan rapor
buruk; maka kegembiraan menyambut tahun yang baru sungguh sulit dimengerti.


Sebagai hamba Allah yang diangkat sebagai khalifahNya di muka bumi, sudah
sepatutnya, dalam menyambut tahun baru, kita merenungkan perjalanan hidup
yang sudah kita lalui bagi melanjutkan perjalanan menjelang tempuhan yang
akan. Jangan-jangan selama ini, kita terlampau sadar dengan kekhalifan kita
hingga melupakan kehambaan. Atau sebaliknya terlalu sadar akan kehambaan
kita lalu tidak berbuat apa-apa, hanya menunggu nasib dan lupa untuk apa
kita diangkat sebagai khalifahNya.


Kadang-kadang kita menyadari kehambaan dan kekhalifahan kita, tapi kita
kurang memahami apa yang harus kita lakukan sebagai hamba dan apa yang harus
kita lakukan sebagai khalifahNya. Maka bisa saja terjadi hanya kita yang
merasa hamba, sedangkan Tuhan sendiri tidak menganggap. Na'udzu billah. Atau
kita merasa sebagai khalifah bumi, padahal saat demi saat kita merusaknya


Jangan-jangan selama ini kita malah melupakan kedua-duanya. Melupakan
kehambaan dan kekhalifahan kita, karena kita melupakan Tuhan yang mengangkat
kita sebagai khalifahNya. Dalam kitab suciNya, Allah berfirman kepada kaum
beriman: "Walaa takuunu kalladziina nasuuLlaha fa ansaahum anfusahum;
ulaa-ika humul-faasiquun" (Q. 59: 19), "Dan janganlah kalian seperti
orang-orang yang lupa akan Allah lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri
mereka sendiri; mereka itulah orang-orang yang fasik."


Orang yang lupa diri akibat lupa Allah, bagaimana bisa diharapkan ingat akan
yang lain; ingat tempatnya, lingkungannya, keluarganya, saudaranya, dlsb.
Orang Indonesia yang lupa diri, akan lupa negerinya, lupa bangsanya, lupa
kewajibannya. Bila orang yang lupa diri ini termasuk rakyat jelata, mungkin
tidak seberapa pengaruhnya terhadap kehidupan. Tapi bila dia termasuk elite,
termasuk pemimpin, Anda bisa bayangkan –atau malah bisa membuktikan— sendiri
betapa buruk dampak yang diakibatkannya. Bayangkan pemimpin yang lupa diri
dan lupa amanah serta tanggungjawab yang dipikulnya. Bayangkan pejabat yang
lupa diri dan lupa bahwa tidak semua yang ada ditangannya adalah miliknya
dan bahwa dia tidak selamanya menjabat. Bayangkan orang berilmu yang lupa
diri dan lupa memanfaatkan serta mengamalkan ilmunya. Bayangkan kiai yang
lupa diri dan lupa maqamnya. Bayangkan …apa jadinya.


Dengan merenung, kita jadi sadar bahwa hidup di dunia ini ternyata memang
sangat singkat. Kemarin baru tahun 2006, tak terasa sekarang sudah tahun
2007. Yang kemarin belum lahir, kini sudah lahir, Yang kemarin masih bersama
kita, kini telah tiada. Yang kemarin belum balig sekarang sudah dewasa. Yang
kemarin belum menikah, sekarang sudah punya anak. Yang kemarin …, sekarang …



Hidup di dunia ini bagaikan waktu Asar, sangat singkat. Dan perjalanan
setelah itu sangat jauh. Sebelum lupa, mari kita ingat-ingat: tahun-tahun
kemarin seberapa banyak kita mengumpulkan bekal dan seberapa banyak kita
mensia-siakan bahkan membuang-buang bekal? Tahun ini, apakah kita akan
melanjutkan pemupukan dan mengembangan perolehan positif kita bagi
kepentingan kebahagiaan hakiki dan abadi kita? Ataukah kita akan terus
mengulang-ulang rutinitas kesia-siaan kita; meski Tuhan bersama alamNya
terus mengingatkan kita?


"Demi waktu Asar, sungguh manusia itu benar-benar dalam kerugian; kecuali
mereka yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasehati bagi
menegakkan kebenaran dan saling menasehati untuk sabar." (Q. 103)


Selamat Tahun Baru! Selamatlah Tahun ini!

Kirim email ke