Mas Ananto, 
semoga banyak lelaki yang bijak seperti anda, memahami tugas 
domestik itu sangat beraaaat. 

IS


--- In keluarga-islam@yahoogroups.com, Ananto <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
>  Menggapai Cinta Istri
> 
> Hari ini, saya dibawain bekal dari istri. Asyik ya? Pernahkah anda 
berpikir,
> bagaimana ya caranya kita bisa berterimakasih pada istri kita? 
Seharian dia
> dirumah, penuh mengawasi pertumbuhan anak-anak kita, jiwa-raga. Me-
manage
> ketat segala kebutuhan spiritual dan material anak-anak kita. 
Beberapa jam
> saja fungsi itu dicoba beralih ke kita (kaum Bapak), kita sudah 
dibuat
> kalang kabut nggak karuan.
> 
> Padahal, sebegitu beratnya tugas seorang istri terhadap anak, di 
sisi lain,
> di agama dan budaya masyarakat sekitar kita, namanya taat sama 
suami itu
> menjadi bagian yang utama juga. Bayangkan, dalam sebuah hadits, 
tidak
> menjawab hasrat suami saja pada suatu malam, digambarkan didoain 
celaka
> hingga shubuh oleh para malaikat. Nggak adil memang kelihatannya 
ya?
> Udah begitu, berkali-kali, atau paling nggak lebih banyak "cerita 
sukses" di
> syurga lagi-lagi dipersembahkan untuk para suami. Paling-paling 
istri
> kebagian, syurga terletak di bawah telapak kaki Ibu. Terus 
sama, "hembusan
> angin syurga" beberapa orang yang mungkin merasa prihatin, sengaja 
menghibur
> kaum ibu-ibu yang mengatakan, "kedudukan para wanita itu tinggi 
lho",
> nyatanya Nabi saja menyebut tiga kali baru setelah itu bapak. 
Hi..hi..hi..
> 
> Yang di benak saya sekarang, bagaimana bisa berterimakasih pada 
istri?
> Rasanya sulit juga. Mungkin meminjam istilah lain, kasih istri 
memang juga
> tak terbalaskan. Karena itu terbayang nggak? Sudah berterimakasih 
saja
> susah, masih saja tega menelan sesuatu yang mestinya kita tahu itu 
nggak
> bakalan disetujui istri. Contohnya polygami. Bagaimana mungkin
> berterimakasih sama istri itu terpikirkan, untuk menahan diri 
untuk tidak
> "mendua" cinta saja tidak bisa?
> 
> Yang menjadi keanehan, yang berkembang sekarang, justru ramai 
membicarakan
> soal boleh dan tidaknya dalam agama. Ramai orang di sana, 
menghimpun opini
> legalitas agama untuk polygami.
> 
> Padahal, justru Al Qur'an sendiri mengecam orang-orang yang 
bermain agama di
> pinggiran. Kala ingin menjalan sesuatu, dia hanya modalnya mubah 
dan wajib.
> Sedangkan untuk yang terlarang, modalnya adalah haram. Yang 
anjuran, yang
> syubhat, yang sunnah, tidak terlirik sama sekali. Jangankan 
melirik dari
> sisi fikihnya, menimbang esensinya saja ogah.
> 
> Polygami, jika mau dilihat bobot hukumnya, disebutkan hanya satu 
ayat. Di
> Qur'an kalau itu anjuran, bisa diulang-ulang.. Sebenarnya juga 
cukup mubah.
> Mubah saja dengan syarat. Syaratnya juga sesuatu yang absurd. 
Adil. Mana
> bisa?? Kalau mau lihat esensinya, ayat polygami hadir ketika 
kedudukan
> wanita itu masih jauh dari ideal zaman itu. Bayangkan, hingga 
zaman Nabi SAW
> wanita bisa jadi pampasan perang. Laki-laki bisa kawin hingga 20 
orang
> bahkan mungkin lebih. Wanita masih susah untuk mendapatkan hak 
bicara dalam
> keluarga. Jadi, jangan-jangan ayat itu untuk membatasi sebenarnya, 
bukannya
> sebuah kelonggaran sebagaimana perspektif orang sekarang.
> Bukti, ketika Fatimah sudah mencapai kedudukan ideal (mungkin 
sesuai dengan
> tujuan Islam),'Ali terlarang untuk mengambil istri yang lain.
> 
> Sesuatu yang mubah itu banyak, tetapi dengan kasus yang lain bisa 
jadi
> haram. Contoh yang serupa dengan polygami misalnya adalah 
perbudakan. Setahu
> saya tidak ada kata larangan di perbudakan. Padahal semua orang 
Islam tahu,
> esensinya Islam itu anti perbudakan. Buktinya, kafarat, pahala, 
banyak yang
> dikaitkan dengan tujuan membebaskan perbudakan. Bisa dibayangkan 
dampak
> sosial yang terjadi jika saat itu Al Qur'an langsung "to the point"
> mengatakan Islam anti perbudakan.? Sama juga jika mungkin saja 
Islam akan
> bilang "blak-blakan" istri cukup satu? Dampak sosial saat itu 
pasti sangat
> besar.
> 
> Allah sendiri berfirman, jika kita hanya melengkapi hidup kita 
dengan wajib,
> Allah hanya katakan "tidak akan marah". Tetapi jika seorang hamba 
menghiasi
> hidupnya dengan sunnah, Allah bukan hanya tidak marah, 
tetapi "mencintai".
>  Nah, untuk menggapai "ilmu cinta" tentu tidak cukup hanya dengan 
bermain di
> pinggiran. Mengatakan mencintai dan berterimakasih kepada seorang 
istri,
> masa' dengan polygami? []
>


Kirim email ke