Ulama, Kiai, Mubalig, Artis...

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Konon istilah mula-mula muncul sebagai kesepakatan sesuatu kelompok atau
kalangan tertentu. Istilah-istilah hadis, misalnya, muncul dari kesepakatan
kalangan muhadditsin; istilah-istilah kesenian dari kalangan seniman; dan.
seterusnya. Namun kemudian istilah-istilah yang beredar di masyarakat itu
sering mengalami kerancuan pengertian.

Antara lain, karena orang seenaknya saja menggunakan istilah itu, dan tidak
mau —atau tak sempat— merujuk ke sumber asalnya. Kerancuan itu ternyata
membawa dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang terjadi dengan
istilah "ulama", "kiai" dan "mubalig". Celakanya, yang bersangkutan -yang
dengan tidak tepat disebut ulama, kiai, atau mubalig— biasanya malah mcrasa
bangga dan tidak membantah. Kalaupun membantah, biasanya dengan
gayabasa-basi, sehingga semakin mendukung penyebutan itu, atau
setidaknya makin
mengaburkan maknanya. Sebab, meskipun sebutan ulama, kiai, atau mubalig itu
mengundang kehormatan dan tanggung jawab, yang segera tampak menggiurkan
justru kehormatannya. Baru setelah yang bersangkutan terbukti melakukan hal
yang tak sesuai dengan *maqam,* atau kedudukan terhormat itu, orang menjadi
bingung sendiri.


Yang lebih merepotkan, istilah "ulama" yang beredar dalam masyarakat kita
-seperti berbagai istilah lain- mempunyai "kelamin ganda" dan berasal tidak
hanya dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti "orang yang
ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam" (lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, hlm. 985). Sedangkan di Arab sendiri, *'ulama* (bentuk jamak dari
'alim) hanya mempunyai arti "orang yang berilmu".


'Ulama dalam peristilahan itulah yang sering disebut-sebut ulama
sebagai *waratsatul
anbiyaa* (pewaris para Nabi). Merekalah yang disebut sebagai hamba Allah
yang paling takwa, pelita ummat dan sebagainya. Banyak definisi mengenainya,
tetapi semuanya mengacu kepada satu pokok pengertian: ilmu dan amal.


Karena itu, disamping menguasai kandungan Al-Qur'an dan Sunnah, mereka juga
-sebagaimana Nabi- mesti yang pertama mengamalkannya. Sebagai pewaris Nabi,
setidaknya ulama mewarisi -di atas rata-rata ummat mereka- ilmu, ketakwaan,
kekuatan iman, akhlak mulia, rasa tidak tahan melihat penderitaan ummat,
pengayoman, keberanian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dan
keikhlasan serta keuletan dalam mengajak kepada kebaikan. Dengan
kelebihan-kelebihan itu, ulama tentulah merupakan hamba-hamba yang paling
takwa kepada Allah.


Dari sini saja, kita -atau setidaknya saya- merasa pesimistis: apakah kini
masih ada ulama? Ada saatnya ulama dengan pengertian itu menjadi sinonim
dari istilah kiai yang lebih bersifat budaya dalam masyarakat kita. Bila
orang menyebut kiai, segera teringat pengertian ulama pewaris Nabi itu.
Kenapa? Karena, meski dari segi ilmu dan lain sebagainya, kiai -betapapun
hebatnya- tidak bisa mendekati ulama seperti yang dicontohkan dalam
kitab-kitab kuning. Setidaknya masyarakat masih melihat mereka mewarisi
sifat-sifat keteladanan mulia dan pengayoman yang teduh. Mereka membangun
surau dan pesantren untuk kepentingan masyarakat. Mendarmakan hidupnya untuk
Allah melalui khidmah (pelayanan)-nya kepada ummat. Karena itu, bahkan tidak
hanya kiainya secara pribadi, tapi juga keluarga dan putra-putranya
dihormati. Putranya yang laki-laki diberi julukan terhormat: (ba)gus, dengan
harapan kelak akan menjadi kiai sebagaimana ayahnya.

Penghormatan yang terlalu dini kepada gus inilah yang mungkin sering justru
mencelakakan yang bersangkutan. Apalagi bila ternyata kemudian -setelah
sampai saatnya menggantikan orang tuanya- kapasitas ilmu maupun keteladanan;
budi pekertinya tidak mampu mengatrolnya, minimal mendekati kapasitas orang
tuanya.


Di pesantren, disamping pengajaran, sebenarnya yang lebih penting lagi
adalah pendidikan kiainya. Sulitnya, menyerap pendidikan tidak semudah
menyerap pelajaran. Maka janganlah heran apabila kemudian lebih banyak
santri yang menjadi pintar ketimbang yang berakhlak.


Dari segi penampilan, boleh jadi orang yang pintar lebih tampak wah dan
cepat *ngepop*. Dengan menggelar ilmunya, orang akan segera terpesona dan
teringat kepada kiai sepuh yang juga berilmu. Apalagi jika pandai bicara,
dijamin cepat kondang. Orang pun lalu menyebutnya sebagai kiai mubalig.


Istilah kiai mubalig ini pun agak rancu. Apalagi akhir-akhir ini di
mana-mana muncul mubalig yang tak jarang dengan sendirinya disebut kiai.
Mungkin karena keterbatasan memahami hadis "Sampaikanlah dariku meski hanya
satu ayat," maka meskipun hanya punya satu ayat-dua ayat, ditambah ghirah
ber-amar ma'ruf nahi munkar, plus modal pintar ngomong jadilah seseorang
sebagai mubalig. Karena sebelumnya ada kiai yang bertablig, maka siapa pun
yang bertablig disebut juga kiai.


Lalu, seiring dengan maraknya kebidupan keagamaan, artis yang memang luwes
dan pelawak yang memang pintar bicara, yang beragama Islam, pun tak mau
hanya mendapatkan 'fid-dunya hasanah'. Mengapa tidakjuga mencari
'fid-akhirati khasanah' Bukankah gerak-kegiatannya tidak begitu berbeda dan
bahan tersedia di mana-mana? Dan kiprah mereka di mimbar taklim tak kalah
dengan di pentas show, bahkan tak jarang mengalahkan mubalig betulan.


Begitulah, lalu menjadi campur-aduk -barangkali sesuai zaman globalisasi!
Yang ulama, yang kiai, yang mubalig kiai (kiai yang bertablig), yang kiai
mubalig (disebut kiai karena tablig), yang artis mubalig, dan yang mubalig
artis, semuanya menjadi sulit dibedakan. Apalagi bila gaya ulama dan kiai
-termasuk berfatwa- juga dengan baik telah ditiru mubalig dan artis; gaya
mubalig dan artis -termasuk "keluwesan" pergaulan dan glamour- juga sudah
menulari ulama dan kiai. Masya Allah!


Tuhan, apalagi yang hendak Engkau pertunjukkan kepada kami? Ampunilah kami
semua!

Kirim email ke