Silaturahmi Kiai kiai Pesantren

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri


Silaturahmi Kiai-kiai Pesantren bersama KH. DR. MA. Sahal Mahfudz di
pesantren Edi Mancoro desa Gedangan Tuntang Salatiga, pada hari Sabtu 10
Februari 2007 yang lalu, selain dihadiri oleh sekitar 200 kiai pesantren
dari berbagai daerah di Indonesia, juga dihadiri oleh Menteri Agama RI dan
Gubernur Jawa Tengah. Dari tokoh pesantren yang kebetulan menjadi pengurus
PBNU, selain KHM DR Ahmad Sahal Mahfudz, hadir KH DR Hasyim Muzadi, KH DR
Maghfur Usman, KH Sadid. Dari Jawa Timur, tampak hadir antara lain KH
Masduqi Mahfudz dan KH Miftahul Ahyar. Beberapa kiai sepuh lain yang siap
hadir seperti KH Abdullah Faqih Langitan, KH Idris Marzuqi Lirboyo, dan KH
Nurulul Huda Ploso, berhalangan hadir karena sakit.



Dari Jawa Barat hadir antara lain KH DR Thonthowy Djauhari Musaddad dan KH.
Aqshal Amri. Dari Jawa Tengah, selain shahibul bait KH Machfudz Ridwan,
hadir antara lain pemimpin tertinggi Thariqah Mu'tabarah Indonesia KH. Habib
Luthfi bin Yahya, KH Sya'roni Ahmadi Kudus, KH. Dimyathi Rois Kaliwungu, KH.
Zaim Achmad yang kebetulan ketua RMI Jawa Tengah; dll. Juga hadir kiai-kiai
pesantren dari DIY, Lampung, Aceh, Sulawesi, dan NTB.


Silaturahmi dengan tema "Ulama sebagai Penggerak Simpul Panduan Utama Bangsa
bagi Kemaslahatan Umat" itu luput dari liputan pers. Hal ini mungkin karena
tempatnya yang di pelosok desa; mungkin juga karena dianggap kurang menarik
dibanding banjir di Ibu kota, flu burung, dan protesnya anggota-anggota DPRD
terhadap pembatalan rapelan mereka.


Pertemuan para kiai pesantren yang sengaja tidak mau mengganggu dan
mengundang mereka yang masih sedang sibuk urusan politik praktis itu,
ternyata mengeluarkan taushiah yang sarat dengan nuansa 'politis'. Taushiah
ditujukan kepada berbagai pihak.


Kepada Pemerintah, meminta perhatian terhadap hal-hal sebagai berikut:

  1. Pendidikan Nasional selama ini dirasa masih lebih menekankan kepada
  sisi intelektual dan kurang memperhatikan nilai-nilai moral dan sendi-sendi
  akhlakul karimah. Hilangnya rasa malu, merebaknya rasa tega, maraknya tindak
  kekerasan, serta kenakalan orangtua dan remaja; merupakan sebagian indikasi
  dari hal tersebut. Karena itu hendaknya menjadi perhatian yang serius dari
  pemerintah.
  2. Banyaknya bencana alam dan sosial hendaknya dimaknai sebagai
  peringatan keras dari Allah SWT dan ini mestinya mendorong semua pihak untuk
  kembali kepadaNya, bertobat, mawas diri, dan lebih mendekatkan diri
  kepadaNya. Pemerintah, di samping upaya meningkatkan managemen
  penanggulangan bencana dan pendidikan sadar bencana, juga perlu melakukan
  tobat nasuha secara nasional.
  3. Kerusakan alam karena ulah manusia telah mencapai tingkatan serius
  dan membahayakan. Pemerintah diminta untuk lebih tegas menegakkan peraturan
  dan perundang-undangan yang ada untuk memberikan kesempatan bagi bumi
  menyembuhkan luka-lukanya, menjamin kelestarian alam, dan keselamatan
  manusia.
  4. Penegakan hukum seharusnya dipelopori dan diteladankan oleh penegak
  hukum dan orang-orang yang mengerti hukum, sehingga supremasi dan kepastian
  hukum menjadi nyata bagi senua pihak.


Kepada Nahdlatul Ulama, badan otonom, lembaga, dan lajnahnya, diingatkan
bahwa situasi masyarakat dan bangsa seperti sekarang ini, membutuhkan
khidmah dan kiprah semua jajaran Nahdlatul Ulama secara jelas dan terarah
dengan antara lain:

  1. Menegaskan posisinya sebagai pembawa missi Islam yang rahmatan lil
  'aalamiin dan menegaskan kembali pemihakannya kepada umat.
  2. Mengkaji dan meneliti produk kebijakan publik dan implikasinya bagi
  masyarakat untuk menjamin terpenuhinya hak rakyat dan tidak adanya kebijakan
  publik yang merugikan umat.
  3. Mengambil posisi dan peran dalam memperbaiki keadaan (istishlaahu
  an-naas) dengan lebih mementingkan tindakan konkret katimbang sekedar
  wacana.

Mengenai NU yang didirikan oleh para kiai pesantren, Silaturahmi Kiai-kiai
Pesantren mengharapkan sinergi yang lebih baik antara NU dan pesantren dalam
rangka mendayagunakan khidmah terhadap umat, bangsa, dan Negara. NU dan
pesantren juga diharapkan membuka diri tanpa harus kehilangan prinsip yang
diyakini.


Kepada kiai, da'i/mubalig, Silaturahmi Kiai-kiai Pesantren memberi taushiah
antara lain:

  1. Selain menelaah kitab Allah SWT, Sunnah Rasulullah dan kitab-kitab
  mu'tabarah, hendakna mengembangkan pemahaman yang kontekstual.
  2. Menghadapi budaya local, kiai dan da'i/mubalig hendaknya mengikuti
  pola-pola dan gerakan yang telah dipraktekkan oleh Walisongo dalam melakukan
  dakwahnya. Hal ini penting antara lain untuk menghindari benturan antara
  Islam di satu sisi dan budaya local di sisi lain.
  3. Para kiai dan da'i/mubalig hendaknya terus menerus melakukan
  muhasabah, mawas diri, terutama mengenai kedudukan dan peran utama mereka
  dalam masyarakat pada khususnya. Perlu diingatkan bahwa kondisi sekarang ini
  sangat membutuhkan uswah hasanah, keteladanan terutama dari mereka.
  4. Para kiai dan da'i/mubalig hendaknya terus menjalin silaturahmi
  dengan senantiasa mengupayakan adanya tafahum, saling memahami, dan kesatuan
  langkah antar mereka; menghindarkan diri dari pilihan sikap yang dapat
  membingungkan dan meresahkan umat.


Kepada masyarakat dan para pemimpin, Silaturahmi Kiai-kiai Pesantren
mengingatkan bahwa:

1.        Hubbuddunya ra'su kulli khathii'atin, kecintaan yang berlebihan
kepada dunia (materi/kedudukan) terbukti menjadi sumber kesalahan dan
kerusakan (KKN, keserakahan, pertikaian, dsb). Karena itu, semua pihak
–khususnya para pemimpin—diminta segera mengoreksi dan mengubah pandangan
mereka terhadap dunia (materi/kedudukan) tersebut menjadi lebih proporsional
dengan menempatkannya sebagai sekedar fasilitas bagi membangun kemaslahatan.


2.        Keteguhan pada Ke-Indonesia-an hendaknya lebih dikuatkan dengan
mengembangkan prinsip ukhuwwah Islamiyah baik dalam ranah keagamaan,
kebangsaan, dan kemanusiaan, dengan mengembangkan sikap kemasyarakatan:
tawasshuth (sikap tengah), i'tidal (jejeg; menegakkan ukuran obyektif),
tasamuh (tenggang rasa; toleransi), ta'awun (gotong-royong), tawazun
(keseimbangan), serta amar makruf-nahi munkar secara makruf.

3.        Menyikapi tekanan hidup yang berat dewasa ini, para kiai Pesantren
mengajak masyarakat dan para pemimpin untuk meningkatkan kesabaran dengan
bekerja bersungguh-sungguh di jalan yang halal, tidak gampang marah, dan
menghindarkan tindak-tindak kekerasan apa pun alasannya. Selalu menjaga
kerukunan dengan memahami bahwa perbedaan pendapat dan sikap adalah fitri
dan manusiawi; jangan sampai dijadikan alasan untuk bermusuhan.


Para kiai pesantren yang umumnya orang desa dan jauh dari pusat komunikasi,
minimal mereka yang berkumpul di desa Gedangan Tuntang Salatiga, telah
menyampaikan urun rembug. Suara mereka mungkin dianggap kurang penting untuk
didengarkan, namun melihat keikhlasan mereka terhadap negeri ini dan umatnya
serta keprihatinan mereka terhadap kondisi carut marut dewasa ini, saya
terdorong untuk menjadi 'pengeras suara' mereka. Siapa tahu ada manfaatnya.
[]

Kirim email ke