wal fitnatu asyaddu minal kotli...
sampeyan tidak menjalankan prinsip tabbayyun... check and cross check...

semoga gusti allah mengampuni kita semua... amiin ya robbal 'alamin...

salam,
ananto


On 2/15/07, Ahmadi Agung <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

   *GAYA HIDUP ZINA MENGUNDANG BENCANA (bagian 2)*
*Oleh : 09 Feb 2007 - 12:10 am 
<http://swaramuslim.net/><http://swaramuslim.net/weblog.php?id=C0_21_1>
*

*Selingkuh Paling Heboh*
Setelah Soekarno (BK), Presiden yang paling menghebohkan skandal seksnya
adalah *Abdurrahman Wahid* (Gus Dur). Namun demikian GD belum bisa
menandingi BK setidaknya dari segi jumlah. Ketika kasus perzinahan Presiden
RI ke-4 ini terkuak, *publik mengira hanya Aryanti satu-satunya partner
zinahnya*. Ternyata tidak. Aryanti sendiri pernah memergoki GD sedang
memeluk seorang wanita di kantor PBNU, yang diakui sebagai 'adiknya' bernama
*Puteri*, isteri seorang pilot.

Nama lain, *Siti Farikha* janda dari Desa Angin-angin, Kecamatan Wedung,
Kabupaten Demak, Jawa Tengah, yang kebagian kucuran dana Rp 5 miliar dalam
kasus korupsi dana Yayasan Karyawan Bulog. Masih ada sejumlah nama lain yang
bisa diungkap. Namun yang paling heboh adalah Aryanti.

Pada Mei 1995, Aryanti berkenalan dengan Haji Sulaiman di Arab Saudi.
Beberapa bulan kemudian, Aryanti dikenalkan kepada GD. Mereka lantas makan
sate.

Sejak itu mereka sering berkomunikasi via telepon. Lima bulan kemudian,
Oktober 1995, Aryanti dan anak perempuannya, bersama Haji Sulaiman dan Gus
Dur pergi ke Bali menginap di rumah Ibu Gedong Bagus Oka. Di sini terjadi
hubungan intim yang pertama. Awalnya Aryanti menolak, karena belum dinikahi
GD, apalagi ia masih terikat pernikahan dengan M. Yanur. Ketika itu Gus Dur
bilang, "*Nggak apa-apa, nanti kita tobat.*"

Pertemuan intim selanjutnya berlangsung di Putri Duyung Cottages (Ancol,
Jakarta Utara), Hotel Equatorial (Tanah Abang, Jakarta Pusat), Hotel Horison
Bekasi, dan paling sering di Hotel Harco (jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat).
Menurut pengakuan Aryanti, Hotel Harco sudah seperti rumah sendiri. Selain
itu, Hotel Harco juga dekat dengan kantor GD. "*Kadang-kadang saya disuruh
booking dari rumah*. Begitu saya sampai di sana, dia jalan saja dari
kantornya. Tapi, kadang-kadang pak Sulaiman suka ngantar ke situ." Begitulah
pengakuan Aryanti yang diungkap di depan para wakil rakyat di Gedung DPR RI
sebagaimana dilaporkan media massa.

Pada 22 Oktober 1996, Aryanti bercerai dengan suami keduanya, M. Yanur.
Setelah itu, Aryanti makin sering bertemu dengan GD. Pada 1997, Aryanti
memergoki Gus Dur sedang memeluk seorang perempuan muda di kantor PBNU.
Sejak itu hubungan Aryanti dengan GD mulai renggang. GD mulai banyak menolak
bertemu Aryanti. Lama-lama hubungan terputus. Apalagi setelah GD terserang
stroke yang pertama kali, Oktober 1997, GD-Aryanti tak lagi berhubungan.
Bahkan hubungan per telepon pun tidak lagi terjalin. Dua tahun kemudian,
Oktober 1999, Gus Dur dilantik menjadi presiden keempat. Ketika Gus Dur
dilantik jadi presiden, dan ditayangkan di televisi, salah seorang tetangga
Aryanti ada yang menelepon dan mengucapkan selamat. "*Selamet nih mantan
istri presiden.*"

[image: image] Bagi yang tidak pernah mengenal lika-liku selingkuh alias
zinah, pendirian dan perilaku GD tentu sangat aneh dan musykil. Pada saat ia
sedang menjadi pemimpin sebuah ormas keagamaan, di tempat yang sama dan pada
saat bersamaan ia melakukan perbuatan yang dilarang agama. Mungkin GD adalah
*uswah sayyiah* (contoh buruk) paling sempurna dari konsep *sekular versi Ulil
Abshar Abdalla* (keponakan GD), tentang demokrasi sebagai *wadah
bersatunya energi keshalihan dengan energi kemaksiatan sekaligus*. GD
merupakan contoh sempurna dari manusia penganut *sepilis* (sekularis,
pluralis dan liberalis).

Tentu tidak hanya pendirian dan perilaku GD yang terlihat aneh. Yang juga
terasa musykil justru sikap dan pendirian para kyai di sekitarnya. Dulu,
Subchan ZE yang ketika itu menjabat sebagai Ketua I PBNU dan mantan wakil
Ketua MPRS, pernah diskors dari jabatannya sampai dua kali, karena ditemukan
sebuah foto yang mengambarkan ia sedang berdansa di suatu tempat. Juga,
komunitas NU pernah menggembosi PPP di tahun 1987, dengan mempublikasikan
dan mengeksploitasi *foto Husen Naro* anak Jailani (John) Naro Ketua PPP
yang *sedang ajojing (berjoget)* di sebuah diskotik. Penggembosan itu
mujarab: perolehan suara PPP merosot tajam.

Anehnya, istri GD, Shinta Nuriyah termasuk pennetang keras poligami.
Ketika foto Gus Dur sedang memangku Aryanti dipublikasikan media massa,
bukannya GD yang dicaci-maki, malah dibela mati-matian. Salah satu pembela
GD adalah *KH Cholil Bisri* (sekarang sudah meninggal). Ketika
diwawancarai majalah Panji Masyarakat edisi 13 September 2000, Cholil Bisri
tidak saja menganggap perzinahan GD-Aryanti merupakan isapan jempol belaka,
ia juga mengatakan, "*Kalau foto pangku-pangkuan tidak mesti zina…*"

Parahnya lagi, Cholil Bisri yang gemar merokok ini justru menghakimi pihak
yang menyebarkan foto GD sebagai pihak yang berdosa. Sedangkan GD, bila
sudah bertobat, maka menurut Cholil, "*… ya seperti orang tidak punya
dosa…" Cholil kala itu menduga, pelaku penyebaran foto GD-Aryanti adalah
orang-orang PAN dan PPP. Bahkan ia berkata, "… Kalau aku sih, tak santet
kabeh orang-orang itu…*"

Astaghfirullah … Demi membela perzinahan GD, Cholil Bisri tidak
sungkan-sungkan mengumpat dengan ucapan yang disenangi syaithan dan sangat
dibenci Allah. Benar-benar kesetanan.

*Nikah Semalam Gaya Kyai*
Barangkali itulah salah satu penyebab lunturnya kepercayaan dan
penghargaan masyarakat terhadap sosok Kyai di zaman ini. Sehingga, ketika
Juli 2006 lalu ulama NU menerbitkan fatwa haram untuk infotainmen di TV,
tidak digubris, malah dilecehkan dengan sebutan "*kurang kerjaan*". Salah
satu motor bagi diterbitkannya fatwa haram itu adalah *Said Agil Siradj*,
yang juga salah seorang pendukung fanatik GD, dan salah satu sosok yang
pernah difatwakan sesat oleh sejumlah ulama.

Di lingkungan NU masih banyak kyai yang menjadi pendukung fanatik GD,
salah satunya adalah sosok kyai yang pernah menghebohkan dengan kasus
perkawinan seharinya. Majalah berita mingguan GATRA edisi 13 April 1996,
pernah memuat cover story dengan judul "*Heboh Perkawinan Seorang Kiai*".
Sosok kyai yang dimaksud adalah Noer Muhammad Iskandar SQ pimpinan pondok
pesantren Assiddiqiyah, Kebon Jeruk (Jakarta Barat).

Lelaki beristri dua kelahiran Banyuwangi 5 Juli 1955 ini, pernah melakukan
nikah semalam dengan *Dewi Wardah* (ketika itu berusia 42 tahun), janda .
Peristiwa itu terjadi 19 April 1995, di hotel Equatorial, Tanah Abang,
Jakarta Pusat. Perzinahan berkedok nikah semalam ini, bermula ketika sang
kyai menelepon Dewi Wardah untuk menyaksikan acara manasik haji di hotel
itu. Dewi pun datang memenuhi undangan sang kyai. Sewaktu acara manasik
masih berlangsung, Dewi Wardah diajak masuk ke kamar hotel, dan dirayu sang
kiai untuk menjadi istri ketiganya, dengan janji manis akan membiayai
anaknya yang menempuh pendidikan di pesantren pimpinan sang kyai. Meski
terkejut, Dewi Wardah akhirnya oke saja. Waktu itu Dewi meminta agar
bapaknya diberitahu tentang rencana pernikahan ini, namun sang kyai
mengatakan tak perlu wali, tak perlu saksi.

[image: image]Setelah Dewi mengatakan bersedia dinikahi, sang kyai turun
ke lantai bawah hotel untuk memberi ceramah. Dewi ketika itu tetap berada di
dalam kamar sendirian. Beberapa lama kemudian, sang kyai datang bersama
seorang lelaki sebagai wali nikah. Sang lelaki kemudian menjabat tangan sang
kyai seraya mengucapkan serentetan kalimat dalam bahasa Arab, antara lain
ada penggalan kata qobiltu nikahaha… yang diingat Dewi. Itulah prosesi
pernikahan semalam yang dilakukan Noer Muhammad Iskandar dengan Dewi Wardah
yang disaksikan seorang lelaki yang tidak dikenal Dewi, sekaligus menjadi
wali bagi Dewi. Tidak ada mahar. Tidak orang lain selain mereka bertiga.

Usai 'menikahkan' Dewi-Noer Iskandar, sang lelaki pun ngeloyor pergi.
Sedangkan Dewi dan Noer Iskandar berdua bagaikan suami-isteri di dalam kamar
hotel itu. Pasca 'malam madu' sekejap itu, Dewi tak lagi berjumpa dengan
sang kyai, barulah pada September 1995 mereka bertemu, disaksikan orangtua
Dewi. Ketika itu Dewi minta cerai, dan mendesak sang kyai untuk membuat
surat cerai di atas kertas segel, sebagai bukti mereka pernah terikat
suami-istri. Akhirnya, pada 11 Oktober 1995 Dewi diberi surat cerai dan uang
tunai sebesar Rp 5 juta.

Hotel tempat Dewi Wardah dan Noer Iskandar 'kawin semalam' itu adalah
tempat yang sama ketika GD-Aryanti berhubungan mesum. Kisaran tahunnya juga
sama. Nampaknya GD-Noer Iskandar ibarat dua sosok dengan satu jiwa.
Buktinya, ketika GD didemo rakyat untuk mundur dari jabatannya sebagai
Presiden RI kala itu, Noer Muhammad Iskandar tampil sebagai salah satu
pembela yang paling gigih, sampai-sampai ia mengeluarkan
pernyataan-pernyataan yang memalukan dan memuakkan. Hal itu dilakukan Noer
Iskandar ketika ia berpidato di Desa Karang Tanjung, Kebumen, 12 Januari
2001, di hadapan warga NU setempat.

*Selingkuh Berselimut Fitnah*
Alasan pembelaan Noer Iskandar, karena GD merupakan wakil ulama, maka
siapa saja yang membela GD dan mati karenanya, maka orang itu akan
memperoleh nilai tambah untuk masuk surga. Sebaliknya, Amien Rais dan Akbar
Tanjung beserta konco-konconya itu mesti dilawan, karena hakekatnya sama
dengan melawan orang kafir. "*… kalau Anda mati lawan
Samandiyah-Samandiyah itu, Anda mati lawan Amien Rais dan konco-konconya,
Anda mati lawan Akbar Tanjung dan konco-konconya, Anda masih mendapat kredit
point, masuk surga karena Anda membela ulama…*" Begitulah provokasi Noer
kepada jamaah NU. Yang dimaksud dengan Samandiyah adalah pelesetan atau
pelecehan terhadap ormas Muhammadiyah. Provokasi biasanya mengandung muatan
fitnah, dan merupakan perbuatan yang sangat disenangi kalangan syetan dan
iblis.

Dari kalangan intern keluarga GD sendiri, ada pembelaan yang meniru gaya
orang kafir. Yaitu datangnya dari dokter *Umar Wahid* (dokter spesialis
paru-paru), adik nomor empat Gus Dur, yang ketika itu menjabat sebagai
Direktur Rumah Sakit Pasar Rebo dan Ketua Tim Dokter Kepresidenan.

Menurut pengakuan *Zarima Mirafsur* kepada majalah GAMMA edisi 21-27
Februari 2001, dua pekan sebelum kasus Aryanti Boru Sitepu yang dihebohkan
berfoto dengan Gus Dur meledak, ia pernah dibesuk adik GD itu. Ternyata,
dokter Umar Wahid ketika itu sedang merancang sebuah rekayasa fitnah. Yang
dijadikan sasaran fitnahnya adalah Amien Rais, yang ketika itu menjabat
sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), sekaligus sebagai Ketua MPR
RI. Nampaknya, keluarga, kerabat dan orang-orang di sekitar GD sudah
memperkirakan akan muncul kehebohan yang bersumber dari perzinahan GD di
masa lalu. Maka, mereka pun berupaya membelokkan perhatian dengan berupaya
memunculkan gosip tandingan, dengan cara meminta Zarima mengakui anak yang
baru dilahirkannya adalah hasil hubungan gelap dengan Amien Rais.

Mereka sama sekali tidak berterimakasih. Padahal, Amien Rais merupakan
tokoh yang paling berjasa menaikkan GD ke kursi Presiden, meski GD sama
sekali tidak punya andil di dalam menumbangkan rezim Soeharto. Jangankan
berterimakasih, mereka justru hendak menjadikan Amien Rais sebagai sasaran
fitnah untuk membela perzinahan GD yang kala itu akan terbongkar. Namun
rekayasa Allah jualah yang menang. Akhlaq mereka sudah persis akhlaq Yahudi
yang tidak tahu terimakasih. Ketika Yahudi diusir Nasrani dari Eropa, mereka
berlindung di negara-negara Islam. Namun, kini Yahudi-yahudi itu
bersama-sama Nasrani justru memerangi Islam. Betul-betul kurang ajar.

Zarima yang dijuluki Ratu Ekstasi ini, ternyata tidak hanya terkait dengan
kasus narkoba, namun juga membuat heboh dengan kehamilan di luar nikahnya,
kemudian ia melahirkan bayi perempuan tanpa diketahui siapa bapak
biologisnya. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama Nikita. Kepada majalah
berita mingguan GAMMA edisi 21-27 Februari 2001, Zarima menuturkan: "*Saya
sendiri tidak menyangka bahwa yang datang tersebut adalah adik Gus Dur. Dia
menawarkan uang kepada saya sebesar Rp 5 milyar agar saya mau mengatakan
bahwa anak yang dilahirkan itu merupakan anak dari Amien Rais. Selain itu,
saya dijanjikan bebas dan disuruh kabur ke luar negeri.*"

Kemudian, Zarima membicarakan tawaran Umar Wahid itu kepada guru
mengajinya, Ibu Meita Farida. "*… Bu Meita bilang bahwa perbuatan itu
fitnah. Kalau kamu tidak melakukan, mengapa harus menuduh Amien Rais.
Kasihan keluarga Amien jika dituduh begitu. Kok, tanggung-tanggung menuduh
orang. Sekalian saja sebut George Bush. Setelah dinasihati, saya sadar dan
tidak mungkin saya lakukan…*"

Menurut Zarima pula, setelah Umar Wahid tidak berhasil memperoleh
kesepakatan apapun dengan dirinya, muncul sosok laki-laki lain yang mengaku
sebagai keponakan Gus Dur. Laki-laki itu datang dengan maksud yang sama.

Begitulah bila para pengikut syaithan saling tolong-menolong di dalam
kemungkaran. Mereka tidak hanya mengkultuskan Gus Dur tetapi juga memperalat
Islam dan merusak ayat suci untuk disesuaikan dengan hawa nafsunya, membuat
rekayasa, membuat fitnah untuk mereguk kenikmatan duniawi di atas
penderitaan orang lain. Bagi yang paham, rencana rekayasa bermuatan fitnah
yang dirancang Umar Wahid dua pekan sebelum foto mesra GD-Aryanti meledak,
terlihat begitu tidak cerdas. Karena, meski saat itu bahkan hingga kini
Zarima tidak pernah mengatakan siapa bapak biologis dari anak perempuan yang
dilahirkannya, publik sudah punya jawaban. Dan tentu saja sosok yang
ditutup-tutupi itu sama sekali jauh dari sosok Amien Rais.

Sebagai gambaran, selama di penjara salah satu kesibukan Zarima adalah
membuat rekaman lagu. Setiap ke studio rekaman, Zarima dibesuk anak
balitanya Nikita yang selalu berada dalam gendongan *Nina istri Gories
Mere* yang saat itu (tahun 2001) berpangkat Komisaris Besar (Kombes)
Polisi dan menjabat Wakapolda NTB. Nikita memanggil Nina dengan sebutan
Mami. Selama Zarima di tahanan, Nina yang merawat Nikita seperti anak
sendiri.

Gories Mere adalah perwira menengah yang menjemput Zarima dari Amerika
Serikat dalam kasus ekstasi tahun 1996. Ketika itu Gories Mere masih
berpangkat Letnan Kolonel (kini istilah itu diganti menjadi Ajun Komisaris
Besar, AKBP), dan menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Reserse Polda Metro
Jaya. Kini, Gories Mere adalah perwira tinggi dengan bintang dua (Irjenpol)
menjabat Waka Bareskrim Polri merangkap Ketua Satgas Densus 88 Anti Teror
Mabes Polri.

*Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 5 Th I Muharram 1428 H / Februari 2007,
hal. 32-34.*

[image: image]

<http://swaramuslim.net/images/uploads/xfiles/GAMMA21_27Feb2001_hal24.jpg><http://swaramuslim.net/images/uploads/xfiles/GAMMA21_27Feb2001_hal23.jpg><http://swaramuslim.net/images/uploads/xfiles/GAMMA21_27Feb2001.jpg><http://swaramuslim.net/more.php?id=148_0_1_0_M><http://swaramuslim.net/images/uploads/xfiles/GATRA-13Apr1996.jpg><http://swaramuslim.net/images/uploads/xfiles/PANJI13Sep2000-hal-28.jpg><http://swaramuslim.net/images/uploads/xfiles/PANJI06Sep2000.jpg>

--
This message has been scanned for viruses and
dangerous content by *MailScanner* <http://www.mailscanner.info/>, and is
believed to be clean.



Kirim email ke