KH Bisri Syansuri, Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat (11)

Bismillahirrahmanirrahiim

Terlibat Perjuangan Bersenjata

Yang menarik dari cerita orang-orang tua yang masih hidup di desa
tersebut hingga hari ini, periode tahun-tahun tiga puluhan itu juga
menyaksikan sebuah perkembangan menarik dalam diri Kiai Bisri:
keterlibatannya kepada upaya memperbaiki nasib mereka yang malang dan
miskin. Ia menjadi sangat dekat dengan mereka, memberikan santunan
sosial yang besar kepada mereka, dan senantiasa membantu prakarsa
perbaikan nasib dengan usaha-usaha baru di antara mereka. Keterlibatan
kepada upaya perbaikan nasib mereka yang malang dan miskin itu
ternyata tetap dipeganginya hingga ke akhir hayatnya, sebagaimana
dapat direkam dari cerita masyarakat desa tersebut.

Pecahnya Perang Dunia II dan pendudukan Jepang membawa keprihatinannya
sendiri kepada Kiai Bisri. Mula-mula ia harus prihatin dengan
kebalauan hidup yang diakibatkan oleh penjajahan Jepang, terutama yang
menyangkut kegiatan Nahdlatul Ulama dan kelangsungan pendidikan di
pesantrennya sendiri. Setelah itu, ditambah lagi keprihatinan oleh
penangkapan pemerintah Jepang atas diri guru yang dicintainya, yang
kini telah menjadi besannya dengan pernikahan putrinya dengan anak
sang guru, Abdul Wahab Hasyim. Walaupun demikian, ia berusaha
sekuat-kuatnya meneruskan tugas-tugas organisasi dan kewajiban
mendidik santri-santrinya, secara tekun dan tidak kenal putus asa.
Ketika Masjumi dibentuk, Kiai Bisri turut aktif berkiprah di tingkat
lokal, karena bagaimana pun juga kesetiaannya yang pertama adalah
kepada Nahdlatul Ulama.

Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun ternyata masih
diikuti oleh perkembangan yang juga membuat Kiai Bisri lebih
berprihatin. Kemerdekaan bangsa telah tercapai. Yang menjadi masalah
adalah bagaimana mempertahankannya. Kiai Bisri mengambil jalan yang
paling dikenalnya: turut aktif dalam pertahanan negara, dengan jalan
menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang semula
berkedudukan di Waru dekat Surabaya, dan kemudian terus-menerus
terdesak sampai ke garis belakang, hingga saat pembubarannya di kala
TNI telah berdiri sebagai satu-satunya angkatan bersenjata yang
bertanggung jawab atas pertahanan negara. Ternyata usia yang sudah
menginjak ambang 50 tahun di saat itu, tidak mengurangi mobilitas dan
kegesitan gerak fisiknya sama sekali. Jendral (purnawirawan) A.H.
Nasution memberikan informasi tentang bagaimana Kiai Bisri masih tetap
melakukan konsultasi dengan para komandan militer di daerah
pertempuran Surabaya-Jombang, seperti Overste Kretatro dan sebagainya,
bahkan setelah Clash Kesatu sekalipun. Dapatlah diperkirakan apa yang
menjadi motif Kiai Bisri untuk menerjunkan diri seperti itu ke dalam
perjuangan militer secara langsung. Yaitu turunnya fatwa guru tercinta
Kiai Hasyim Asy'ari tentang hukum jihad akbar dan perjuangan di jalan
Allah bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Terlihat
jelas di sini bagaimana keputusan di bidang fiqh ternyata mampu
mendorong tindakan-tindakan besar dengan pengorbanan cukup besar.
Dalam kasus Kiai Bisri, korban yang harus diberikan adalah pengabaian
tugas-tugas organisasi di lingkungan Nahdlatul Ulama dan tugas
mendidik santrinya secara langsung. Padahal pengorbanan itu datang
dari orang yang begitu taat kepada kewajiban, sehingga masih
memberikan pelajaran membaca Alquran di tingkat paling dasar dari
pendidikan agama di pesantrennya, ketika ia telah berusia sembilan
puluh tahun!

Bersambung ke bagian 12...

[*] Dari Buku [KH Bisri Syansuri; Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat]

Kirim email ke