Assalamu 'alaikum wr. wb.

Om Wandy, saya mau menggaris-bawahi catatan ini :

================
Kebenaran mutlak memang hanya milik Allah, tapi Islam menganjurkan
umatnya untuk terus belajar dan berpikir sehingga dapat menemukan
kebenaran mutlak tersebut. Proses belajar dan berpikir itu sendiri
merupakan bagian dari kebenaran mutlak. Jika suatu saat ulama
menyatakan bahwa kebenaran itu adalah A, tapi dikemudian hari karena
berkembangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya kemudian dia
menyatakan B, selama keabsahan dan argumentasi2 yang dikemukakannya
kuat dan dapat dipertanggung jawabkan, maka itulah kebenaran.
================

Sehubungan dengan Hadits, misalkan begini :
Al-Imam Ghozali kita kenal sebagai seorang ulama besar yang sangat 
wara', beliau banyak menulis hadits dalam kitab-kitabnya, namun 
demikian karena didukung oleh kondisi dan keadaan diwaktu itu, maka 
dalam kitab-kitabnya beliau kebanyakan tidak mencantumkan lagi sanad-
sanad akan hadits-hadits yang beliau sampaikan, biasanya cukup 
dikatakan "rasulullah mengatakan....."

Lalu berabad-abad kemudian muncul seorang tukang service welker yang 
biasa kita gunakan untuk membantu kita bangun tidur, lalu mengatakan 
bahwa hadits-hadits yang disampaikan oleh Al-Imam ghozali banyak 
terdapat hadits palsu.

Bagaimana om Wandy menyikapi hal ini ?
Maksudnya apakah om wandy langsung percaya tukang service welker yang 
memang sudah biasa memperbaiki welker atau memilih mempercayai Al-
Ghozali yang memang sudah dikenal sebagai seorang ulama besar yang 
memang ahli dalam bidang agama.

Mohon komentarnya.

wassalam,
Arland- Jkt



--- In keluarga-islam@yahoogroups.com, "wandysulastra" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Sedikit sharing mengenai hadits Rasulullah..
> 
> Terjadinya perbedaan pengakuan keabsahan antara al-quran dan hadits 
> sebenarnya berawal dari sisi periwayatannya. Periwayatan hadits 
pada 
> umumnya adalah 'ahad', sedangkan yang 'mutawatir' relatif tidak 
> banyak. Seandainya seluruh periwayatan hadits Nabi sama dengan 
> periwayatan alquran (semuanya mutawatir) mungkin istilah2 seperti 
> hadits shahih, hasan, dhoif, tidak akan pernah ada. 
> 
> Dalam sejarah periwayatan hadits, yang aktif menyebarkan hadits itu 
> bukan hanya mereka yang ahli dan berkepribadian jujur saja, tapi 
> juga orang yg tdk ahli dan tdk jujur pun ikut menyampaikan hadits. 
> Belum lagi ditambah adanya orang2 yang suka membuat hadits2 palsu. 
> Bagi orang awam, sulit untuk dapat membedakan hadits palsu karena 
> isinya tidak selalu buruk, tetapi banyak juga yang sejalan dengan 
> ajaran Islam.
> 
> Untuk menyelamatkan hadits Nabi dari noda2 tersebut maka kemudian 
> ulama bekerja keras mengembangkan berbagai pengetahuan, menciptakan 
> berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, dan membuat berbagai 
> metode penelitian sanad dan matan hadits. Dari berbagai ilmu alat 
> dan metode penelitian kritik sanad dan matan hadits yang diciptakan 
> ulama ahli hadits tersebut kemudian dapat diketahui mana hadits 
yang 
> berstatus mutawatir dan yg ahad. Kemudian dapat diketahui juga 
> hadits ahad yang berkualitas shahih dan tdk shahih, termasuk 
hadits2 
> palsu. 
> 
> Ada perbedaan pendapat ulama dalam mensikapi hadits yang 
berkategori 
> ahad. Terlepas dari adanya perbedaan tersebut, yang jelas jika kita 
> berbicara tentang al-sunnah, maka akan dikenal istilah qath'i dan 
> zhanni. Sesuatu yang bersifat zhanni memang mempunyai kemungkinan 
> mengandung kesalahan. Karena bagian hadits yang diteliti oleh ULAMA 
> HADITS mencakup sanad dan matan, maka bisa jadi kualitas hadits 
yang 
> dihasilkan akan bervariasi, tergantung kepada ketepatan metodologi 
> yang digunakannya. Yang jelas mereka telah berusaha sesuai dengan 
> disiplin ilmunya, mengerahkan segala daya upaya yang dimilikinya, 
> mengerahkan semua ilmu dan pengetahuannya, dengan metode2 yang 
dapat 
> dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 
> 
> Dalam memahami sebuah hadits, perbedaan bidang ilmu memang 
> memungkinkan sekali dapat menyebakan perbedaan pemahaman. Ukuran 
> yang dapat kita pegang dalam menyikapi adanya perbedaan tersebut 
> adalah tingkat keabsahan pendapatnya, dan kekuatan argumentasi yang 
> digunakan.  
> 
> Kebenaran mutlak memang hanya milik Allah, tapi Islam menganjurkan 
> umatnya untuk terus belajar dan berpikir sehingga dapat menemukan 
> kebenaran mutlak tersebut. Proses belajar dan berpikir itu sendiri 
> merupakan bagian dari kebenaran mutlak. Jika suatu saat ulama 
> menyatakan bahwa kebenaran itu adalah A, tapi dikemudian hari 
karena 
> berkembangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya kemudian dia 
> menyatakan B, selama keabsahan dan argumentasi2 yang dikemukakannya 
> kuat dan dapat dipertanggung jawabkan, maka itulah kebenaran.
> 
> Jadi, usaha2 yang dilakukan oleh ulama2 hadits dalam menilai dan 
> meniliti keabsahan suatu hadits, adalah termasuk salah satu jalan 
> untuk mencapai kebenaran tersebut.
> 
> Salam :)
> 
> --- In keluarga-islam@yahoogroups.com, "banganut" <banganut@> 
> wrote:
> >
> > Maaf, mau nanya :
> > 1. Bagaimana ukuran standar proses ilmiah dalam memahami hadits ?
> > 2. Para ulama dengan bidang keahlian masing-masing apakah sama 
> dalam
> > memahami hadits secara proses ilmiah menurut bidang masing-
masing ?
> > misalnya ulama mufassirin, ulama muhaditsin, ulama fuqaha, ulama 
> ushul,
> > ulama tasawuf, ulama falsafi, ulama mutakallimin.
> > 3. Jika berbeda proses ilmiah menurut standar keilmuan masing-
> masing
> > bagaimana mengsingkroninya sehingga menjadi satu nilai yang utuh 
> dan
> > saling menyempurnakan satu sama yang lain
> > 4. Melihat hadits ada dari sisi sanad, ada matan, sejarah (latar
> > belakang / situasi kondisi), atau lainnya, bagaimana cara kita 
> meyakini
> > bahwa itu satu nilai yang memang mutlaq harus dijalani ?
> > 5. bagaimana jika proses ilmiah hadits ditinjau secara standar 
ilmu
> > pengetahuan, sedangkan kita sama-sama tahu bahwa hakekat 
kebenaran 
> ilmu
> > pengetahuan adalah relatif ? Artinya tidak bisa dijadikan sebagai 
> alat
> > dalam memahami sebuah nilai secara mutlak. Karena ilmu pengetahuan
> > selalu berubah sesuai dari perkembangan ilmu pengetahuan itu 
> sendiri.
> > 6. Dan bagaimana cara kita menguji kebenaran suatu teori ilmiah 
> sampai
> > pada tingkat kebenaran mutlak ? ataukah kebenaran proses ilmiah 
itu
> > sendiri masih relatif ?
> > 
> > Mohon pencerahannya
> > 
> > wassalam
> > 
> > anut
> > 
> > 


Kirim email ke