LPPOM MUI Gugat Kehalalan Obat dan Kosmetik

Selama ini masyarakat muslim Indonesia mengenal konsep halal dan haram hanya 
pada produk makanan. Padahal masalah ini adalah kebutuhan dasar yang harus 
dipenuhi termasuk dalam obat dan makanan. Namun, selama ini masyarakat tidak 
bisa memilih obat mana yang statusnya halal dan mana yang tidak. Pasalnya, 
tidak ada kewajiban bagi produsen untuk menyertakan sertifikat halal dalam 
produknya.

  
Kenyataan ini membuat Lembaga Pengkajian Obat-obatan dan Kosmetika Majelis 
Ulama Indonesia (LPPOM MUI) merasa gerah. Direktur LPPOM MUI Mohammad 
Nadratuzzaman menegaskan banyak obat-obatan dan kosmetik yang beredar di 
Indonesia tidak jelas batas halal dan haramnya.
   
  “Kalau dokter ditanya tentang halal atau haramnya kandungan suatu obat 
kemungkinan 90% mereka tidak akan tahu jawabannya,”ujar dia di Masjid Istiqlal 
kemarin.
   
  Akhirnya, pihak LPPOM MUI menggagas sebuah seminar nasional yang bakal 
digelar tanggal 17 Maret mendatang untuk mencari ketegasan hukum halal dan 
haram produk obat dan kosmetika. “Kami akan meminta fatwa dari para kyai,”ujar 
Nadratuzzaman menjelaskan sumber yang ingin mereka minta pendapatnya.
   
  Ketika berbicara tentang kehalalan obat, lanjutnya, seringkali terbentur 
dengan alasan darurat sehingga pasien mau tidak mau harus meminum obat tersebut 
tanpa berpikir dua kali. Dengan alasan darurat itu pula, seakan-akan ada 
toleransi barang haram dan najis bisa digunakan untuk bahan pembuat kosmetik 
atau obat. Walhasil, tak banyak orang peduli atau sekadar tahu apakah obat yang 
mereka minum atau kosmetik yang mereka pakai itu diperbolehkan menurut aturan 
Islam.
   
  Lebih jauh, Nadratuzzaman mengungkapkan, berdasarkan kajian dan informasi 
yang didapat lembaganya, banyak barang haram dan najis masuk kedalam kandungan 
obat dan kosmetik. Unsur haram tersebut masuk kedalam kandungan obat maupun 
menjadi medium perantara dalam proses pembuatannya.
   
  Berbicara terpisah, Wakil LPPOM MUI Anna Priangani Roswiem berujar, dalam 
dunia farmasi dan kosmetika, penggunaan hormon, enzim, dan lemak babi sudah 
bukan rahasia lagi. “Gelatin yang terbuat dari lemak babi sudah biasa digunakan 
sebagai bahan pembuat kapsul,”kata wanita berjilbab ini mencontohkan.
   
  Tak hanya itu, vaksin penyakit tertentu juga dibuat dengan menggunakan medium 
yang disebut kultur sel. Bahan medium itu bervariasi, mulai dari ginjal monyet, 
embrio ayam, hingga plasenta bayi yang baru lahir atau diaborsi. Contoh vaksin 
yang menggunakan bahan-bahan haram atau najis itu, sebut Anna, antara lain 
vaksin untuk penyakit Polio, Rabies, Hepatitis A, Hepatitis B dan Cacar.
   
  Sementara itu dalam dunia kecantikan banyak terobosan baru yang menggunakan 
bahan-bahan yang dianggap haram. Seperti Botox. Anna menjelaskan, produk itu 
berisi toksin dari bakteri Clostridium Botulinum. Toksin tersebut disuntikkan 
ke bagian tubuh manusia dengan pelarut dari bahan dasar plasenta hewan atau 
manusia. “Plasenta hewan yang digunakan bisa berasal dari hewan apa saja,” 
tandas dia.
   
  Karenanya, acara seminar nasional yang diadakan hari Sabtu (17/3) diharapkan 
akan memberikan jawaban jelas bagi masyarakat tentang definisi obat halal atau 
haram. Tapi sayangnya, dalam seminar itu, MUI tidak akan menyebutkan obat mana 
yang halal atau haram.
   
  “Kami tidak mau secara spesifik menyebut produsen mana yang obatnya haram dan 
mana yang tidak karena meminta sertifikat halal tidak wajib bagi produsen obat 
atau kosmetik,” ujar panitia seminar nasional LPPOM MUI Jurnalis Udin. Hanya, 
pria yang pakar ilmu kedokteran ini berharap, produsen obat akhirnya bisa sadar 
dan segera mengubah kandungan obatnya agar masyarakat masih tetap mau membeli 
obat mereka. Sementara itu, Udin menyebutkan, kewajiban untuk meminta produsen 
mencari sertifikat halal adalah tugas Badan Pengawas Obat dan Makanan 
(BPPOM).(nue/jpnn)
www.HalalGuide.info

       
---------------------------------
TV dinner still cooling?
Check out "Tonight's Picks" on Yahoo! TV.

Kirim email ke