Intelijen Amerika Tak Temukan Program Senjata Nuklir Iran
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat George W. Bush kembali salah 
tuding. Laporan terbaru intelijen AS menemukan fakta bahwa Iran 
sudah menghentikan program senjata nuklir sejak 2003.

Laporan intelijen tersebut mematahkan tudingan Bush yang terus 
menuduh Iran mengembangkan program senjata nuklir. Kesalahan serupa 
dilakukan Bush saat menuduh Iraq memiliki WMD (senjata pemusnah 
masal), yang kemudian dijadikan dalih menyerang negeri itu. Hingga 
saat ini, tuduhan tersebut tidak terbukti, meski AS berhasil 
menguasai Iraq.

Meski begitu, Gedung Putih mencoba berkelit. Bukannya mengaku salah, 
kantor kepresidenan AS itu malah menyangkal laporan intelijennya. 
Bahkan, Bush terus mendesak agar diadili dengan tuduhan yang 
ternyata tidak terbukti tadi.

Laporan intelijen yang menampar muka Bush itu disampaikan Badan 
Estimasi Intelijen Nasional (NIE). Atas bantahan Gedung Putih tadi, 
NIE balik mempertanyakan kredibilitas Gedung Putih yang menentukan 
kebijakan AS tentang isu keamanan internasional. NIE tidak ingin 
mengulangi kecerobohan AS menginvasi Iraq.

Dokumen intelijen itu langsung memantik reaksi keras dari sejumlah 
negara besar yang selama ini turut mendukung langkah AS. Menteri 
Luar Negeri Tiongkok Yang Jiechi mengaku telah menghubungi Uni Eropa 
dan sekutu AS lain via telepon untuk membahas laporan intelijen 
tersebut. "Tiongkok siap menyusun ulang resolusi yang lebih sesuai 
untuk isu nuklir Iran," katanya.

Laporan intelijen itu cukup menampar AS karena Senin (3/12) mereka 
menuding Rusia dan Tiongkok terlalu "konstruktif" terhadap Iran. 
Pernyataan tersebut meluncur saat lima negara pemegang veto PBB 
membahas sanksi Iran. 

Tak ingin kehilangan muka, Bush dengan didukung sekutu Eropa kukuh 
mempertahankan sanksi untuk Iran. Tindakan tersebut langsung 
direspons partai oposisi pemerintah AS, Partai Demokrat, agar Bush 
mengkaji ulang keputusan itu. 

Ketika dikonfirmasi, penasihat keamanan nasional AS Stephen Hadley 
berharap agar hal itu tidak membuat Rusia dan Tiongkok semakin solid 
menolak sanksi Iran. "Hal itu memang cukup tendensius dan mungkin 
membalik opini publik agar lebih melunak kepada Iran," ungkap Hadley.

Jerman dan Inggris mengatakan, laporan itu membuktikan bahwa langkah 
Eropa yang memaksakan tarik ulur terhadap penerapan sanksi tersebut 
sudah benar. Laporan itu, kata mereka, dikeluarkan pada saat yang 
tepat. Sebab, saat ini, AS, Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, dan 
Tiongkok belum tuntas merumuskan sanksi untuk pengayaan uranium Iran 
tersebut. 

NIE yang merupakan konsensus dari 16 agen mata-mata AS mengatakan, 
tujuan Iran untuk mengembangkan persenjataan nuklir pun bias. NIE 
menyimpulkan, program pengembangan senjata nuklir itu sangat mungkin 
dibatalkan sebagai respons terhadap tekanan internasional. 

Jika Iran memulai pengayaan sejak 2003, uranium itu mungkin dapat 
digunakan untuk persenjataan pada akhir 2009. "Namun, kemungkinan 
tersebut sangat kecil," komentar NIE dalam laporan itu.

NIE menggunakan istilah "agak memercayai" bahwa Iran baru bisa 
menggunakan uranium dengan kematangan cukup untuk membuat senjata 
antara 2010-2015 yang sepaham dengan estimasi Departemen Pertahanan 
Iran, yaitu 2013. Saat ini, Dewan Keamanan (DK) PBB telah memberikan 
dua sanksi untuk resolusi Iran karena mereka menolak menghentikan 
pengayaan uranium. Washington pun menyiapkan sanksi unilateral 
tambahan kepada Iran.

Seorang pejabat tinggi militer Iran menyambut baik laporan intelijen 
tersebut. Menurut dia, hal itu merupakan "pengakuan" yang cukup 
logis bagi sebuah kesalahan yang manusiawi. 

Ketua Komisi Keamanan dan Bidang Luar Negeri parlemen Iran Alaeddin 
Boroujerdi mengatakan bahwa laporan intelijen itu membuktikan 
lemahnya akurasi AS dalam menyikapi isu keamanan 
internasional. "Pada faktanya, kami memang tidak mengembangkan 
senjata nuklir," tegasnya. (AFP/AP/Rtr/zul/ruk)


Kirim email ke