Menolak Hukum Allah?
<http://www.suara-islam.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1745>

<http://www.suara-islam.com/index2.php?option=com_content&task=view&id=1745&pop=1&page=0&Itemid=86>

<http://www.suara-islam.com/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=1745&itemid=86>
    Monday, 11 February 2008  *Suara-islam.com--*Dahulu di kota Madinah ada
dua orang bersengketa, satu Muslim dan yang lain Yahudi.  Mereka ingin
penyelesaian. Yang Muslim menghendaki agar mereka berdua datang ke Ka'ab bin
Al Asyraf, salah seorang pemimpin Yahudi di Madinah.  Yang Yahudi justru
mengajak yang muslim agar mereka menyelesaikan masalah di hadapan Nabi
Muhamamd SAW. Akhirnya disepakati mereka berdua minta penyelesaian kepada
baginda Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW memutuskan perkara mereka
berdua.  Tampaknya sang Yahudi menang dalam perkara tersebut.  Maka yang
Muslim merasa hal itu kurang adil.  Dia tidak bisa menerima keputusan
Rasulullah SAW.

Lalu yang Muslim mengajak Yahudi itu kepada Abu Bakar. Setelah mereka
selesai menyampaikan masalahnya, Abu Bakar berkata: "Ikutilah apa yang telah
diputuskan oleh Baginda Rasulullah SAW".

Si Muslim tidak bisa menerimanya.  Lalu mengajak yang Yahudi untuk menemui
Umar bin Khaththab.  Setelah mendengar penuturan lengkap tentang
permasalahan kedua orang itu, Umar masuk ke kamarnya dan segera keluar lagi
dengan membawa sebilah pedang.  Umar memukulkan pedangnya ke leher si Muslim
itu hingga dia menemui ajalnya.
Sikap Umar bin Khaththab yang tegas ini mengingatkan kita bahwa dalam
perspektif aqidah memang tidak layak bagi seorang muslim untuk menolak
keputusan Rasululullah SAW. dan mengambil alternatif yang lain.  Allah SWT
berfirman:

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah
sesat, sesat yang nyata." (QS. Al Ahzab 36).

Dan sikap keras dan tegas Umar bin Khaththab dalam hal ini dibenarkan oleh
Allah SWT.  Setelah peristiwa itu turunlah firman Allah SWT:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh-nya." (QS. An Nisa
65).

Memang akan menjadi persoalan besar jika tidak ada sikap yang tegas kepada
orang yang menolak keputusan Allah dan Rasul-Nya. Sebab hal itu akan
menjadikan  hukum syara' disia-siakan. Pantaslah Khalifah Abu Bakar as
Shiddiq yang sangat terkenal kehalusan budi bahasanya ternyata bersikap
tegas dalam menghadapi pembangkangan dari kalangan orang-orang yang murtad
dan tidak mau membayar zakat. Khalifah tidak bisa menerima orang yang
menyatakan loyal kepada pemerintahannya, tetap setia menjalankan shalat,
tapi menolak membayar zakat.  Shalat lima waktu hukumnya wajib, zakat pun
hukumnya wajib. Tidak boleh dibedakan.  Maka dengan tegas Khalifah
mengatakan: "Kalau sekiranya mereka menolak membayar anak unta (zakat) yang
mereka  bayarkan kepada Rasulullah. SAW., pasti aku akan memerangi mereka".


Harus dipahami bahwa sikap menolak keputusan Rasulullah SAW. adalah sikap
yang berlawanan dengan aqidah Islam yang diakui seorang muslim. Seorang
muslim sudah selayaknya menerima segala keputusan Rasulullah SAW. yang
mengadili perkara mereka dengan sikap berserah diri secara total, tanpa
reserve. Dalam firman Allah SWT Surat An Nisa ayat 65 tersebut, satu
penolakan saja bisa menggugurkan keimanannya dan dikategorikan sebagai tidak
beriman, alias murtad.  Dan murtad itu hukumannya adalah mati.

Bila satu hukum dibiarkan tersia-siakan, maka hukum-hukum syariah yang lain
akan mengalami nasib serupa.  Berarti akan hancurlah hukum syariah.  Oleh
karena itu, sikap yang ditampilkan Umar bin Khaththab r.a. dan Khalifah Abu
Bakar r.a. yang tegas terhadap orang-orang yang menolak syariah adalah sikap
kenegarawanan yang memiliki pandangan yang sangat jauh ke depan.

Di manapun kegoncangan terhadap sistem akan selalu ada. Masalahnya apakah
sebuah sistem punya mekanisme untuk mengatasinya.  Islam sebagai dinullah
yang memiliki sistem ideologi yang sempurna memiliki system dan mekanisme
untuk menjaga aqidah dan ideologi pemeluknya. Arahan Al Quran tentang
bahayanya murtad dan perlunya orang menjaga keislaman dan ketaqwaan sampai
akhir hayat dipadu dengan mekanisme hukum untuk orang-orang yang murtad.

Sehingga bila ada yang melakukan tindakan berbahaya, yaitu murtad, maka yang
bersangkutan akan diajak diskusi hingga terbukti bahwa dia murtad, lalu
diperingatkan bahayanya murtad yang bakal menghapus seluruh amal (QS. Al
Baqarah 217). Dan diberi tempo tiga hari. Jika dia kembali maka dimaafkan
dan kembali normal. Namun jika menolak, yang bersangkutan dihukum mati.
Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah".

Jika menolak satu saja keputusan hukum yang disampaikan baginda Rasulullah
SAW sudah tergolong murtad dan layak mendapatkan hukuman mati, bagaimana
pula dengan orang-orang yang secara total menolak syariah? Wallahu a'lam!
[Muhammad Al Khaththath/www.suara-islam.com]

Reply via email to