Fwd-2:  liza silvyra [EMAIL PROTECTED] 
       di milis MQ
   
  Fwd-1:  Yuli Anti [EMAIL PROTECTED]
       di milis kafe-muslimah
   
  -------
   
  Oleh Tsabita Adzimatillah      Hidup adalah sebuah anugrah terindah di atas 
dunia. Disebabkan karena hidup maka ada kehidupan, pun bermula dari kehidupan 
maka kematian adalah suatu yang niscaya. Namun demikian kematian bukanlah 
sesuatu yang dapat merenggut arti sebuah geliat kehidupan. Kematian sendiri 
adalah sebuah keindahan manakala kita dapat memaknainya sebagai anugrah. Karena 
setiap yang berjiwa takkan pernah bisa lari dari kematian. Allah berfirman, 
"Walan yuakh khirallahu idza jaa a ajaluha" yang artinya "dan Allah tidak akan 
menangguhkan kematian seseorang apabila telah tiba ajalnya" (Qs 
Al-Munafiqun:11).
   
  Adalah lumrah, wajar, jika kita menangis tiap kali menghadapi sebuah 
kematian, apalagi jika yang terjadi adalah kematian orang-orang yang kita cinta 
seperti, ayah, ibu, suami dan anak. Tapi kematian orang-orang tercinta dapat 
menjadi sebuah pencerahan manakala dimaknai dengan sebuah keimanan, iman 
terhadap Qodarullah. Takdir yang sudah Allah tuliskan buat setiap jiwa saat 
dilahirkan. Terlebih bila mereka meninggal dalam keadaan khusnul khotimah.
   
  Dalam 38 tahun perjalanan hidupku, aku menghadapi semua kematian orang-orang 
kucintai. Tahun 1993 aku kehilangan ayahku, tahun 2003 ibuku wafat. Sejak itu 
aku hidup bersama 7 orang adiku. Kehidupan kami tidak lah sulit meski juga 
tidak mudah. Apalagi kami hidup dijakarta, bahu membahu kami berusaha lalui 
kehidupan dengan segala konsekwensi dan kompleksitasnya.
  Seiring waktu berlalu, aku menikah 18 April 2004 dengan seorang laki-laki 
yang baik yang Allah takdirkan jadi suamiku. Dia laki-laki terbaik yang Allah 
berikan untukku. Cintanya membuat hidupku jadi lebih banyak berarti. Dia 
memberiku nafas kedua dalam banyak hal, memberi dorongan dan semangat dalam 
banyak hal, termasuk menulis sebagai hobbyku dan sebagai akupunturis yang kini 
kutekuni sbg pekerjaanku. Terlebih dari itu dia adalah guru terbaik buatku 
dalam memahami Islam sebagai jalan kehidupanku. Dimataku dia luar biasa di 
balik segala kekurangannya, di balik ringkih tubuhnya dan penyakit yang 
menderanya. Hidupku penuh kebahagiaan bersamanya, sampai maut memisahkan kami. 
Dia meninggal pada 18januari 2008 karena penyakit bocor jantung yang 
dideritanya sejak lahir.
   
  Sejak itu aku merasa kesendirian yang menghempaskanku pada ketakberdayaan, 
kalaulah tidak karena kuingat ayat-ayat cinta dalam Al-Qur'an, maka aku akan 
kian terpuruk dalam duka. Perlahan aku coba maknai kematian suamiku sebagai 
sebuah kesembuhan buatnya dari penyakit yang dideritanya, dan harusnya aku 
bahagia karena dia lepas dari deritanya.
  Aku belajar melalui hidup sendirian. Kusibukan diri dengan klinik ku yang 
dibangun oleh almarhum suamiku untukku, klinik itu diberinya nama Harmony Rumah 
Sehat Holistic. Setiap hari aku berkutat dengan pasien-pasienku hingga waktu 
berlalu dengan tak terasa.
   
  Melihat kesendirianku apalagi jauh dari keluargaku, aku tinggal di kota kecil 
di solo sementara adik-adikku di jakarta, keluarga dan saudara juga 
sahabat-sahabatku ikut prihatin. Hingga mereka berusaha mengenalkanku dengan 
seseorang untuk jadi pendamping hidupku. Setelah melalui proses perkenalan, aku 
menikah ke 2 kalinya dengan laki-laki yang usianya 14 tahun lebih tua dariku. 
Mulanya kuharap pernikahanku akan semanis pernikahanku pertama. Tapi ternyata 
jauh panggang dari api.
   
  Aku dan bahkan sahabat yang menjodohkanku dengannya tidak pernah menyangka 
kalau suamiku punya kebiasaan bercinta dengan perempuan lain, sampai akhirnya 
aku memergokinya bercinta dengan seseorang di sebuah hotel. Belum lagi suamiku 
ke 2 ternyata di balik kelembutan dan kata-kata manisnya berlaku sangat kasar 
padaku, aku kerap dipukulnya, hanya karena masalah sepele, seperti meletakkan 
handphone tidak pada tempatnya. Terakhir puncak kesabaranku habis, ketika dia 
menendangku dan aku terjerembab di kaki tempat tidur, meyebabkan aku pendarahan 
hebat, padahal saat itu sedang hamil 2 bulan, aku nyaris keguguran. Karena 
peristiwa itu, aku menggugat cerai, tapi dia semakin marah dan kalap. 
kuputuskan sementara meninggalkan Solo dan tinggal dengan ibu mertua dari 
almarhum suamiku pertama yang mengasihiku seperti anak kandungnya. Beliau 
tinggal di salah satu kecamatan di kabupaten cilacap.
   
  Selama dalam masa hijrahku kerumah mertuaku, adikku memproses perceraianku 
dengan suamiku. Mulanya dia menolak menceraikanku, tapi adik-adiku terus 
menekannya. Kalau akhirnya dia menceraikanku, dia memberi syarat tidak akan 
bertanggung jawab secara financial atas janin dalam rahimku. Buatku hal itu 
bukan sebuah masalah besar, aku masih bisa menafkahi diriku dan janinku. 
Akhirnya kami resmi bercerai pada 8 februari 2007.
   
  Kembali aku menjalani kehidupan sebagai seorang janda, bedanya kini ada janin 
dalam rahimku, yang harus kujaga dan kurawat dalam keadaan hatiku yang tidak 
stabil. Meski aku membenci ayah dari janinku, tapi aku mencintai janinku. 
Kulalui hari-hari dengan sering mengajak janinku bercakap-cakap, membacakan 
alqur'an bersamanya, menyanyi untuknya dan banyak hal lain yang membuatku bisa 
melupakan kesedihan dan luka hatiku.
   
  Bulan demi bulan berlalu. Pada tanggal 7Mei aku merasakan kontraksi pada 
rahimku, kutunggu sampai bukaan menjadi purna, tapu sampai sepekan kemudian, 
bukaan tanda persalinan belum juga bertambah, dokter bulang baru bukaan 2. 
Karena kondisiku yang lemah setelah 1pekan berlalu, pada 15 mei 2007 pk 20.00, 
dokter kandungan memutuskan aku harus menjalani operasi cesar. Dalam 
kesadaranli yang perlahan menurun karena pengaruh anestesi, aku mendengar 
tangis anaku, laki-laki, sangat keras. Mataku basah, hatiku basah, dalam hati 
kukatakan padanya "selamat datang didunia anakku sayang, ummi mencintaimu." Aku 
baru meraih kesadaranku pk 23.30, ketika dokter mengatakan ternyata anakku 
mengalami Hipoglikemi, kadar gula darahnya cuma 5mg/dl dari normal 80mg/dl. 
Dalam usia 3 jam anakku harus diinfus glucosa.
   
  Kehadiran putraku membuat hidupku lebih bercahaya, lelahku setelah berkutat 
dengan pasien sirna, saat memandang senyumnya, cahaya matanya, belum lagi 
kelucuan tingkahnya. Anaku tumbuh menjadi anaklaki-laki yang tidak cengeng, 
tidak rewel, sangat mudah mengurusnya, inilah sisi kemudahan yang Allah beri 
buatku sebagai orang tua tunggal untuknya.
  Tak terasa usianya 8 bulan sudah. dia mulai duduk, merangkak, dan belajar 
berjalan dengan baby walker. Celotehnya mulai ramai menghiasi rumah dan 
kehidupanku. Tawanya membuat hari-hariku merona bahagia. Aku suka menggelitik 
perutnya dengan ciumanku dan itu membuatnya tertawa-tawa kegelian, 
berteriak-teriak menggemaskan. Apapun bersamanya, semua terasa indah.
  (hari ni kututup tulisan sampai di sini karena aku harus berhenti menulis, 
perutku lapar )
   
  Kebersamaan yang indah dengan putraku tercinta ternyata hanya berlangsung 
sekejap. Hari-hari manis bersamanya harus pupus. 21 januari 2008, mendadak 
anakku sakit muntaber pada pukul 16.00. Segala cara medis yang kutahu 
kuupayakan untuk kesembuhannya. Di bawah pengawasan seorang dokter, di sebuah 
RS. Pukul 4 dinihari dia mulai panas dan kejang-kejang sampai akhirnya koma di 
ruang ICU, hatiku perih, melihat keadaan putraku, berbagai selang tertancap 
ditubuh mungilnya. Mulai selang infus sampai ventilator. Kisaran oksigen 
ditubuhnya menurun sampai di bawah 50 dari kisaran normal harusnya 90-100. 
Detak jantungnya begitu cepat, terikan nafasnya memburu berpacu dengan waktu, 
kulit mulus tubuhnya jadi merah membiru pertanda hipoxy, kekurangan oksigen.
   
  Aku tergugu di sampingnya, menangis. Tapi segera kusadar, anakku tidak butuh 
tangisku, dia lebih butuh semangat dariku. Perlahan kubisikan di telinganya, 
"Sayang, ummi tau kamu anak ummi yang kuat, ayo dek, kita sama-sama berjuang 
agar adek sembuh, kita bantu para perawat dan dokter dengan do'a kita ya nak, 
adek berdoa dengan cara adek, ummi juga berdo'a, semangat ya sayang...ayoo nak 
semangat....ayo cinta, ayo tarik nafas panjang biar oksigenmu sampai 100, ummi 
tau anak ummi ini pinter, kuat dan hebat"
  "Ayo sayang kita melantun dzikir, Allahumasyfii nak...adek ingat, adek pernah 
berjuang waktu adek baru lahir, adek bisa dengan izin Allah meraih kondisi 
terbaik untuk glukosamu, ayo sayang...ummi yakin ade pejuang hebat, mujahid 
ummi yang tangguh, ayo sayang...dalam darahmu ada darah ummi, maka kamu juga 
harus kuat ya nak...karena ummi juga berusaha jadi ibu yang tangguh buatmu..ayo 
sayang terus..terus..terus hirup oksugen sebanyak-banyaknya nak biar adek sehat 
bisa bercanda lagi sama ummi."
   
  Menit demi menit berlalu, aku tak meninggalkkannya sedetikpun kecuali untuk 
sholat dan sekedar mengisi perutku dengan makanan karena aku butuh tenaga dan 
fisik yang sehat buat menjaga putraku. Pun makan kulakukan di sisinya.
  Dengan sepenuh cintaku padanya aku berharap dalam do'aku agar Allah 
memberikan yang terbaik untuk kami. Aku masih terus membisikkan semangat cinta, 
dzikir cinta, kata-kata cinta untuknya, ketika perlahan dan perlahan oksigennya 
mencapai angka 90-100. Perawat bilang ini keajaiban. Dan Subhanallaha...pukul 
21.00, 22 Januari 2208, anakku sadar, dia menolehkan kepalanya dan tersenyum 
padaku..."alhamdulillah anak ummi sudah bangun, jazakallah ya nak, adek sudah 
berjuang untuk bisa senyum lagi untuk ummi."
  Kucium dan kubelai sayang putraku, dia tersenyum kian lebar dan berkata 
lirih, "mi...."
  "Ya sayang, ummi di sini, adek istirahat ya nak, bobo lagi kalo ade ngantuk, 
ummi di sini menjagamu sayang...."
   
  Kulantun dzikir dan doa sambil membelainya dengan cinta, dia tertidur sambil 
tersenyum. Tanpa kusadari, karena lelah, aku pun tertidur sambil duduk 
disisinya dan kepalaku rebah di sisi wajahnya.
  Tiba-tiba kurasakan jilbabku ditarik-tarik, aku terbangun, ternyata anakku 
menarik-narik jilbabku dan tersenyum.
  "Apa sayang? Maaf ummi tertidur, adek mau ngobrol lagi sama ummi?"
  Anakku tersenyum manis, sangat manis...tapi tiba-tiba dia kejang...aku panik, 
dilayar monitor kubaca oksigennya drop..ya Allah...apa yang terjadi...? Baru 
saja dia sadar dan sekarang kembali kejang, aku panik dan berteriak...' 
susteeeerrrrrrr...tooloong...!!!."
   
  Dalam sekejap perawat dan dokter berlarian menghampiri anakku. Mereka 
mengupayakan agar oksigennya kembali normal. Darahnya diambil lagi...ya Allah, 
air mataku menderas sambil terus berucap, "sayang..ayo nak..berjuang lagi, ayo 
dek, kamu pasti bisa, sayang...ummi mencintaimu nak, jangan menyerah nak..ayo 
sayang terus berjuang..."
  Doa dan dzikir tak putus dari bibir dan hatiku. detik demi detik berlalu 
dalam kecemasan, sementara dokter dan para perawat terus berusaha menolong 
anakku.
   
  Saat kularut dalam dzikir dan menyemangati anakku, dokter berkata, "bu, sudah 
ya diikhlaskan, putranya sudah pergi dengan tenang."
  Mataku terbelalak menatap anakku, serasa tak percaya pada perkataan dokter, 
kocoba meyakinkan diriku... ya Allah akhirnya Kau ambil juga dia dariku. 
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun...
  Tubuhku lemas, lunglai, aku semaput di pelukan adikku yang datang menemani 
saat anakku kritis menjelang ajalnya 30 menit yang lalu. Kulihat waktu 
menunjukkan pk 21.30, 22 Januari 2008.
   
  Dalam beberapa saat aku menangis, dia satu-satunya anakku akhirnyaharus pergi 
juga. Aku coba meraih kekuatan dengan memeluk jasadnya. Aku mencoba menguatkan 
diri dengan menciumi tubuhnya dan subhanallah...kucium harum tubuhnya, sangat 
harum sekali...bahkan 3 orang adik yang menemaniku mencium harum yang sama, 
harum khas yang hanya bisa ditimbulkan karena kesyahidan.
   
  Perlahan tapi cukup bisa didengar beberapa sahabat yang saat itu langsung 
datang mendengar anakku meninggal, salah seorang adikku berkata, 
"Rosuullohbersabda, "man mata fil bathni fahuwa syahidun, dan orang yang 
meninggal karena sakit perut dia syahid" dan aku bersaksi saat ini aku mencium 
harum tubuh syahidnya keponakanku karena diare yang dideritanya."
  Dalam kesedihan aku mengaminkan ucapannya. Diare memang pemicu yang 
menyebabkan glucosanya drop sampai 13mg/dl dan oksigennya turun drastis. 
Kekuatanku kembali, meski masih menangis aku sanggup menggendong jasad anakku 
sampai pulang ke rumah bahkan ketika keesokan paginya aku sanggup memangku 
jasad anakku ketika dimandikan.
   
  Setelah pemakaman lewat 2 hari, rumahku kembali sepi, sanak saudaraku kembali 
ke rumah mereka masing-masing. Aku larut dalam dukaku tiap kali memandang foto 
anakku, aku menangis dan menangis, sampai adikku berinisiatif menyimpan 
sementara semua foto, mainan, benda-benda dan pakaian anakku di rumah salah 
seorang saudaraku.
  Aku mencoba mengatasi duka dengan menenggelamkan diri di perpustakaan 
pribadiku. Larut dalam buku-buku bacaan. Kucoba mencari hikmah dari kematian 
anakku. Lembar demi lembar halaman, buku demi buku kubaca hingga sering aku 
tertidur bertumpukan buku-buku yang kubaca.
  Dua pekan berlalu, aku terus mencari dan mencari hikmah agar dapat melebur 
dukaku menjadi selarik bahagia, untuk menepis tangisku agas menjelma seulas 
senyum di bibir dan hatiku. Saat mataku teramat sangat lelah akibat kupaksakan 
mengakomodasi bacaan, saat letih mendera tubuh setelah berhari-hari berkutat 
dengan buku-buku kutemui sebaris kata yang.....pllllaaassshhhhh.....memecah 
dukaku, menepis tangis menjadi syukur. kalimat itu adalah "Sesungguhnya bila 
seorang ibu mendapatkan kematian putranya, lalu ia mengucapkan hamdalah dan 
istirja, maka Allah akan membangunkan Baitul-Hamd baginyadi surga" (HR: 
Tirmidzi dan Ahmad)
   
  Subhanallah...masya allah...betapa Allah sayang padaku. Aku belum lagi 
berbuat kebaikan yang banyak, tapi Allah menganugrahkan padaku janji yang 
pasti, SURGA...siapa yang tak hendak menuju dan mendiaminya?
  Aku bangkit dari dukaku, kuhapus airmataku dan kutekadkan buat menghadapi 
hari-hari ke depan yang kutahu masih teramat panjang. Allah telah mengambil 
putraku, tapi digantikan dengan surga untukku. Ya Rahman...betapa maha kasih 
Engkau...telah kau siapkan surga untukku, dan telah kau siapkan putraku untuk 
menjemputku di pintu surgamu...maka adalah tugasku membuka pintu surgamu dengan 
perbuatan baik yang akan memberiku kemudahan-kemudahan untuk menujunya.
   
  Aku mulai menata hari-hariku, hidupku, mengoperasionalkan lagi klinik yang 
kututup selama 2 pekan. Meski kadang masih luruh air mata karena rinduku pada 
anakku, tapi airmata justru jadi pelecut asa dalam tangis rinduku.
  Satu pekan sudah aku berkutat lagi dengan klinik dan aneka pasien yang datang 
padaku. Lagi dan lagi Allah tak pernah biarkan diriku untuk diam tanpa 
"membaca." Dikirimkannya padaku pasien-pasien cilik, bayi-bayi dan anak-anak 
dengan beragam penyakit. Betapa mereka menderita berbilang bulan dan tahun 
dalam penyakit mereka. Betapa orang tua mereka mengalami mas-masa sulit dan 
ujian kesabaran menghadapi sakit anak-anak mereka.Betapa mereka belum lagi tahu 
kesudahan dari penyakit anak-anak mereka...ooo ya Rahim....betapa aku layak 
bersyukur, anakku tak lama dalam derita sakitnya, betapa aku harus bersyukur 
tak payah ujianku dalam sakit anakku, betapa aku harus sangat bersyukur dengan 
kesudahan yang baik dari sakitnya anakku dan betapa..ya Robb...kau beri imbalan 
dengan janji surgamu atas musibah yang kuhadapi.
   
  Belum lagi aku selesai "membaca" ayat-ayat kauniyahNya, seorang ukhti datang 
padaku dengan tausyiahnya "Kita telah menjual diri kita kepada Allah, dihadapan 
kita tidak ada pilihan lain kecuali menyerahkan apa yang telah kita jual kepada 
yang membelinya. Dan ketika pembeli telah menerima apa yang dibelinya maka dia 
berhak melakukan apa saja atas apa yang dibelinya, bisa dia memelihara ataupun 
membunuhnya, bisa memakaikan pakaian terindah atau membuatnya telanjang. 
Layakkah kita marah jika seseorang membeli seekor kambing dari kita lalu dia 
menyembelih kambing yang dibelinya? Pantaskah kita gundah karenanya? 
Sesungguhnya Allah telah membeli jiwamu dari dirimu, dan engkau berusaha 
menyerahkan barang yang sudah dibeli dan menerima harga yang sangat pantas, dan 
janganlah menyerahkan barang dagangan yang ada aibnya, sedang engkau ingin 
menerima harga secara utuh, Dia lah yang berkuasa atas dirimu dan bukan dirimu 
sendiri."
  Aku tersungkur dalam sujud dann tangis syukurku. Ketika annakku lahir dalam 
segala kesulitan yang kualami aku telah meniatkan dan melisankan "Ya Allah, 
alhamdulillah atas anugrah anak laki-laki dalam hidupku, saksikan ya Robb, aku 
menjual anakku di jalanMu, jadikan dia anak yang sholeh, tumbuh kembangkanlah 
dia dengan sehat, jadikan dia mujahid penegak din MU dimuka bumi, syahidkan dia 
diakhir hidupnya, karena kujual dia padaMU seharga surgaMu"
   
  Aku kian disadarkan bahwa Allah tak pernah salah dalam setiap kehendaknya, 
Dia telah membeli jiwa anakku dengan harga yang kuminta. Fabbi ayyi a'lla i 
robbikuma tukadzibaaan...maka nikmat Robb mu yang mana yang bisa kau 
dustakan?Masya Allah...
  Senyum kian rekah di bibirku. Pelangi kian rona di jiwaku. aku menapaki 
hari-hari hingga saat aku menuliskan semua ini dengan sebuah kesyukuran yang 
amat sangat. Duka telah mengajarkan padaku banyak hal. Duka telah menjadi 
sekolah buatku belajar lebih baik dengan guru yang maha baik, maha 
segalanya...Allah, Ar Rahman, A Rahim...Dia lah guru terbaik dalam kehidupanku.
   
  Lihat..bukankah kesedihan itu indah, manakala kita mampu menyingkap lapis 
demi lapis hikmah yang tersembunyidi dalamnya. Meski demikian kita harus 
berjuang utnuk mendapatkan keindahan di balik setiap kesedihan. Meski kita 
harus berjuang untuk mengalahkan pikiran negatif dari cupet dan sempitnya akal 
dan nafsu kita yang seringkali membujuk kita untuk lunglai, layu, terpuruk 
dalam kesedihan.
   
  Kesedihan itu indah, karena Allah Maha Indah dalam setiap kehendakNya.
  (Rampung kutulis, 24 Februari 2008, pk 11.43, dengan segala persembahan cinta 
buat Robbku dan anakku Daffa Rifqy Rizqurrahman, "tunggu ummi di pintu jannah 
ya nak...")
  
 
   
   
   
   

       
---------------------------------
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!

Kirim email ke