Assalamualaikum Wr.wb
 
Orang yang miskin akan lebih cepat dan ringan didalam hisabnya nanti, 
terlebih-lebih bila soleh, jadwal sorganya paling depan bersama Nabi.
 
 
Wassalam
 

-----Original Message-----
From: keluarga-islam@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] Behalf Of 
Kang-Nceps
Sent: Thursday, April 24, 2008 8:37 AM
To: keluarga-islam@yahoogroups.com
Subject: [keluarga-islam] Zalimnya pemerintahan ini




Oleh Rizki Ridyasmara

Sepulang dari pengajian rutin beberapa hari lalu, saya berdiri di tepi trotoar 
daerah Klender. Angkot yang ditunggu belum jua lewat, sedang matahari kian 
memancar terik. Entah mengapa, kedua mata saya tertarik utuk memperhatikan 
seorang bapak tua yang tengah termangu di tepi jalan dengan sebuah gerobak 
kecil yang kosong. Bapak itu duduk di trotoar. Matanya memandang kosong ke arah 
jalan.

Saya mendekatinya. Kami pun terlibat obrolan ringan. Pak Jumari, demikian 
namanya, adalah seorang penjual minyak tanah keliling yang biasa menjajakan 
barang dagangannya di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur. "Tapi kok gerobaknya 
kosong Pak, mana kaleng-kaleng minyaknya?" tanya saya.

Pak Jumari tersenyum kecut. Sambil menghembuskan nafas panjang-panjang seakan 
hendak melepas semua beban yang ada di dadanya, lelaki berusia limapuluh dua 
tahun ini menggeleng. "Gak ada minyaknya…"

Bapak empat anak ini bercerita jika dia tengah bingung. Mei depan, katanya, 
pemerintah akan mencabut subsidi harga minyak tanah. "Saya bingung… saya pasti 
gak bisa lagi jualan minyak. Saya gak tahu lagi harus jualan apa… modal gak 
ada…keterampilan gak punya…." Pak Jumari bercerita. Kedua matanya menatap 
kosong memandang jalanan. Tiba-tiba kedua matanya basah. Dua bulir air segera 
turun melewati pipinya yang cekung.

"Maaf dik saya menangis, saya benar-benar bingung… mau makan apa kami kelak.., 
" ujarnya lagi. Kedua bahunya terguncang menahan tangis. Saya tidak mampu untuk 
menolongnya dan hanya bisa menghibur dengan kata-kata. Tangan saya mengusap 
punggungnya. Saya tahu ini tidak mampu mengurangi beban hidupnya.

Pak Jumari bercerita jika anaknya yang paling besar kabur entah ke mana. "Dia 
kabur dari rumah ketika saya sudah tidak kuat lagi bayar sekolahnya di SMP. Dia 
mungkin malu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat dia.. Adiknya juga 
putus sekolah dan sekarang ngamen di jalan. Sedangkan dua adiknya lagi ikut 
ibunya ngamen di kereta. Entah sampai kapan kami begini …"

Mendengar penuturannya, kedua mata saya ikut basah.

Pak Jumari mengusap kedua matanya dengan handuk kecil lusuh yang melingkar di 
leher. "Dik, katanya adik wartawan.. tolong bilang kepada pemerintah kita, 
kepada bapak-bapak yang duduk di atas sana, keadaan saya dan banyak orang 
seperti saya ini sungguh-sungguh berat sekarang ini. Saya dan orang-orang 
seperti saya ini cuma mau hidup sederhana, punya rumah kecil, bisa nyekolahin 
anak, bisa makan tiap hari, itu saja… " Kedua mata Pak Jumari menatap saya 
dengan sungguh-sungguh.

"Dik, mungkin orang-orang seperti kami ini lebih baik mati... mungkin kehidupan 
di sana lebih baik daripada di sini yah..." Pak Jumari menerawang.

Saya tercekat. Tak mampu berkata apa-apa. Saya tidak sampai hati menceritakan 
keadaan sesungguhnya yang dilakukan oleh para pejabat kita, oleh mereka-mereka 
yang duduk di atas singgasananya. Saya yakin Pak Jumari juga sudah tahu dan 
saya hanya mengangguk.

Mereka, orang-orang seperti Pak Jumari itu telah bekerja siang malam membanting 
tulang memeras keringat, bahkan mungkin jika perlu memeras darah pun mereka 
mau. Namun kemiskinan tetap melilit kehidupannya. Mereka sangat rajin bekerja, 
tetapi mereka tetap melarat.

Kontras sekali dengan para pejabat kita yang seenaknya numpang hidup mewah dari 
hasil merampok uang rakyat. Uang rakyat yang disebut 'anggaran negara' 
digunakan untuk membeli mobil dinas yang mewah, fasilitas alat komunikasi yang 
canggih, rumah dinas yang megah, gaji dan honor yang gede-gedean, uang rapat, 
uang transport, uang makan, akomodasi hotel berbintang nan gemerlap, dan segala 
macam fasilitas gila lainnya. Mumpung ada anggaran negara maka sikat sajalah! 

Inilah para perampok berdasi dan bersedan mewah, yang seharusnya bekerja untuk 
mensejahterakan rakyatnya namun malah berkhianat mensejahterakan diri, 
keluarga, dan kelompoknya sendiri. Inilah para lintah darat yang menghisap 
dengan serakah keringat, darah, tulang hingga sum-sum rakyatnya sendiri. Mereka 
sama sekali tidak perduli betapa rakyatnya kian hari kian susah bernafas. 
Mereka tidak pernah perduli. Betapa zalimnya pemerintahan kita ini!

Subsidi untuk rakyat kecil mereka hilangkan. Tapi subsidi agar para pejabat 
bisa hidup mewah terus saja berlangsung. Ketika rakyat antri minyak 
berhari-hari, para pejabat kita enak-enakan keliling dalam mobil mewah yang 
dibeli dari uang rakyat, menginap berhari-hari di kasur empuk hotel berbintang 
yang dibiayai dari uang rakyat, dan melancong ke luar negeri berkedok studi 
banding, juga dari uang rakyat.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis. Bocah-bocah kecil berbaju 
lusuh bergantian turun naik angkot mengamen. Di perempatan lampu merah, 
beberapa bocah perempuan berkerudung menengadahkan tangan… Di tepi jalan, 
poster-poster pilkadal ditempel dengan norak. Perut saya mual dibuatnya.

Setibanya di rumah, saya peluk dan cium anak saya satu-satunya. "Nak, ini nasi 
bungkus yang engkau minta…" Dia makan dengan lahap. Saya tatap dirinya dengan 
penuh kebahagiaan. Alhamdulillah, saya masih mampu menghidupi keluarga dengan 
uang halal hasil keringat sendiri, bukan numpang hidup dari fasilitas negara, 
mengutak-atik anggaran negara yang sesungguhnya uang rakyat, atau bagai lintah 
yang mengisap kekayaan negara.

Saat malam tiba, wajah Pak Jumari kembali membayang. Saya tidak tahu apakah 
malam ini dia tidur dengan perut kenyang atau tidak. Saya berdoa agar Allah 
senantiasa menjaga dan menolong orang-orang seperti Pak Jumari, dan memberi 
hidayah kepada para pejabat kita yang korup. Mudah-mudahan mereka bisa kembali 
ke jalan yang benar… Mudah-mudahan mereka bisa kembali paham bahwa jabatan 
adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di mahkamah akhir kelak… 
Mudah-mudahan mereka masih punya nurani dan mau melihat ke bawah…

Mudah-mudahan mereka bisa lebih sering naik angkot untuk bisa mencium keringat 
anak-anak negeri ini yang harus bekerja hingga malam demi sesuap nasi, bukan 
berkeliling kota naik sedan mewah...

Mudah-mudahan mereka lebih sering menemui para dhuafa, bukan menemui 
konglomerat dan pejabat... Mudah-mudahan mereka lebih sering berkeliling ke 
wilayah-wilayah kumuh, bukan ke mal...

Amien Ya Allah…




 
--------------------------------------------------------

This message (including any attachments) is only for the use of the person(s) 
for whom it is intended. It may contain Mattel confidential, proprietary and/or 
trade secret information. If you are not the intended recipient, you should not 
copy, distribute or use this information for any purpose, and you should delete 
this message and inform the sender immediately.

Reply via email to