betul banget itu pak AgusSyafii...
dibilang rakyat Indonesia miskin tapi  kok banyak orang menghamburkan duit 
untuk kemewahan...
  ----- Original Message ----- 
  From: agussyafii 
  To: keluarga-islam@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, July 16, 2008 8:14 AM
  Subject: [keluarga-islam] Solidaritas Sosial Kita Dipertanyakan


  Solidaritas Sosial Kita Dipertanyakan

  sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

  Kontroversi nampaknya terjadi dimana-mana. Di dunia, citra Indonesia 
  sangat kurang begitu baik. Korupsi, anarki, pelanggaran HAM, 
  kemiskinan, salah urus, fundamentalisme, terorisme dan banyak lagi 
  stempel buruk, banyak dialamatkan kepada bangsa Indonesia. Benarkah 
  semua berita itu? atau hanya rekayasa media Barat yang memang 
  mempunyai agenda tersendiri ?

  Terlepas dari benar tidaknya citra itu, memang banyak dijumpai 
  kontroversi pada masyarakat kita. Disebutkan bahwa Indonesia sedang 
  dalam keadaan krisis hebat, dan sudah berada di ambang kebang¬krutan, 
  tetapi jemaah haji Indonesia ternyata mencapai angka duaratus ribu, 
  atau terbesar di dunia, dan banyak diantara mereka yang pergi haji 
  untuk yang kedua, ketiga, ke empat dan seterusnya... Meningkatnya 
  jumlah jemaah haji semestinya merupakan indikator peningkatan ekonomi 
  rakyat, karena hanya yang memiliki istitha`ahlah yang bisa pergi 
  haji. Di Makah dan Madinah, kesan Indonesia sedang berada dalam 
  krisis berat justeru tidak nampak, karena jemaah haji Indonesia 
  termasuk pembelanja berat. Para pedagang di dua kota suci itu sangat 
  senang kepada jemaah haji Indonesia karena kegemaran belanjanya itu.

  Kontroversi juga nampak di dalam negeri. Di Jakarta dan kota-kota 
  besar lainnya, mobil mewah yang berharga diatas satu milyard rupiah 
  berseliweran. Mobil built up yang berharga di atas duaratus juta 
  tidak lagi dianggap mewah. Restoran mewah di pusat hiburan dengan 
  menu diatas Rp. 400.000,-/per porsi (setara dengan 80 bungkus nasi 
  padang) juga dipenuhi dengan pengunjung. Pada hari libur, hotel dan 
  villa di Puncak misalnya, juga penuh terisi, bukan oleh turis asing, 
  tetapi oleh turis domestik. Pesta pernikahan di kota besar lebih lagi 
  tidak mencerminkan krisis ekonomi. Makanan lezat, pakaian mewah dan 
  jumlah tamu undangan yang mencapai ribuan mengindikasikan kemakmuran.

  Di sisi lain, angka pengangguran sangat tinggi, pengemis, pengamen, 
  pedagang asongan kecil,pak ogah dan "polisi" cepe "menghiasi" 
  pemandangan di setiap keramaian. Gagal panen dan gagal memasarkan 
  produksi pertanian juga sudah tidak lagi menjadi berita, tetapi 
  kenaikan harga-harga, termasuk harga BBM, tarip listrik dan telpon 
  secara sistematis terus berlanjut, menyebabkan menurunnya secara 
  drastis daya beli masyarakat. 

  Penurunan daya beli masyarakat luas ini membawa imbas pada 
  terhambatnya pendidikan generasi muda karena ketidakmampuan orang tua 
  membayar biaya pendidikan yang bermutu. Keadaan ini diperparah dengan 
  bencana alam yang datang secara beruntun, tanah longsor dan banjir, 
  ditambah problem daerah konflik Aceh, Ambon, Kalimantan, Maluku Utara 
  dan Poso yang belum selesai kemudian menempatkan banyak masyarakat 
  dalam posisi economic need. Boro-boro mikir masa depan anak, makan 
  hari ini dan tempat berteduhpun masih menjadi problem.

  Hujan dan banjir meluas dan berkepanjangan sedikit banyak menumbuhkan 
  gerakan solidaritas sosial dari pelbagai pihak. Tetapi lagi-lagi, 
  aksi solidaritas sosial kita belum menyentuh pemecahan masalah. Pasca 
  musibah, problem masyarakat kecil sangat mendasar, baik menyangkut 
  dasar-dasar ekonomi mereka maupun pendidikan bagi anak-anak dan 
  generasi mudanya, sementara nilai aksi solidaritas sosial masyarakat 
  yang hanya bersifat konsumtif tak ubahnya sekedar terapi Reumason, 
  sebentar memberi rasa kehangatan, tetapi sebenarnya belum menyentuh 
  permasalahan. Proposionalkah orang menjalankan ibadah haji ke tiga, 
  ke empat, ke lima dan seterusnya? Sementara di tanah air, ratusan 
  ribu saudara-saudaranya membutuhkan bantuan strategis. 

  Proposional kah orang makan di restoran yang sekali makan saja 
  biayanya setara dengan kebutuhan 80 perut orang miskin, dan ketika 
  bencana terjadi ia hanya sekedar mengirimkan sekian truk Indomie ke 
  daerah bencana? Proposionalkah orang yang menikmati "keberkahan" 
  negeri ini secara melimpah ruah, tetapi ia tak berfikir nasib masa 
  depan orang lain yang jauh berada di bawah garis kemiskinan ? 
  Tidakkah sudah waktunya memikirkan bagaimana sistem sosial kita agar 
  kesenjangan sosial tidak terlalu lebar ? Moralitas al Qur'an 
  berbunyi; bahwa di dalam harta si kaya terdapat hak bagi orang yang 
  meminta dan yang tidak sempat meminta, wafi amwalihim haqqun lissa 
  ili wal mahrum (Q/51:19), bahwa orang miskin memiliki saham pada 
  harta si kaya. Menjadi tugas para negarawan yang juga khalifah Allah 
  untuk mengetrapkan nilai moralitas ini dalam sistem sosial.

  Dari segi agama, adalah juga sangat ironis, seseorang berderma dengan 
  uang sisa dan pakaian bekas, tetapi ia berdoa untuk dimasukkan ke 
  sorga. Ia membayar dengan sesuatu yang tak bernilai, tetapi mohon 
  kepada Alloh SWT sesuatu yang tak ternilai. 

  Siapakah kita sebenarnya? 

  sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

  Salam Cinta,
  agussyafii

  Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui
  [EMAIL PROTECTED] atau http://mubarok-institute.blogspot.com



   

Kirim email ke