Dari syariah online
Assalamu\'alaikum Wr. Wb Ba\'da Shalawat wa Tahmid Ada beberapa hal
yang ingin ana tanyakan berkenaan dengan pernikahan. ana sering
mendengar ada sebagian murobbi yang melarang mad\'u nya untuk menikah
dengan si A, B dsb. Ana berhusnudzon, bahwa mungkin ini sikap bijak
dari mr itu, melihat kemampuan dari mad\'u yang masih kurang (seperti
dalam majalah Tarbawi baru-baru ini), tapi toh yang mau nikah dan
butuh nikah khan mad\'u nya, bukan dia , gimana nih ustadz ? terus
juga ada yang berpendapat, jika mau nikah harus yang sekufu dalam
tarbiyah (mis:yang udah liqo 7 tahun, masa nikah sama yang belum
tarbiyah). apa ada dalil dalam syari\'ah ? terus juga masalah izin
dari mr. Jika misalnya saya menikah tanpa pemberitahuan kpd mr, atau
saya melamar seorang akhwat tapi nggak lewat mrb-nya, lalu apa
pernikahan ini \'sah\'. karena saya melihat ada sebagian murobbi yang
langsung mem-veto mad\'u nya, lalu di boikot sana sini hanya karena
hal seperti ini. Intinya, dimana letak kewajiban seorang mad\'u
terhadap murobbinya dalam masalah pernikahan. apakah ini disyariatkan
atau hanya dibuat-buat saja (tidak ada dalil syar\'i). Tolong
dijelaskan dengan sedetil-detilnya Syukron Jazakumulloh,
wassalamu\'alaikum Wr. Wb
Assalamu `alaikum Wr. Wb.


Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil
Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Sesungguhnya seorang murabbi diharapkan menjadi sosok ustaz, orang tua
dan teman sekaligus. Sebagai ustaz, seorang murabbi dituntut untuk
mampu memberikan pemahaman atas ajaran Islam, baik aqidah, syariah
maupun akhlaq. Sebagai orang tua, murabbi menjadi tempat untuk mengadu
dan meminta pengarahan dalam hidup. Sedangkan sebagai teman, murabbi
adalah kawan seiring dalam meniti perjalanan dakwah dan perjuangan.
Namun tentu saja sosok murabbi tidak boleh melanggar aturan dan sistem
yang sudah baku dalam Islam. Sehingga �misalnya- tidak pernah
dibenarkan seorang murabbi mengambil alih kewalian dari ayah kandung
seorang wanita. Begitu juga masalah izin yang menentukan syah tidaknya
sebuah pernikahan. Karena sebagai orang tua bagi seorang pengantin
laki-laki, sosok seorang ayah yang menjadi saja tidak menjadi syarat
dalam syah tidaknya pernikahan, bagaimana mungkin seorang murabbi bisa
menjadi penentu dalam syah tidaknya pernikahan. Kalaupun izin dan
masukannya bisa dijadikan pertimbangan dalam memilih calon istri,
tidak berarti dia juga berhak membatalkan sebuah perkawinan. Karena
posisi murabbi secara hukum nikah sama sekali tidak dikenal. Tidak
sebagai wali dan tidak juga sebagai bagian ketentuan syariah lainnya.
Karena itu, jangan sampai peran seorang murabbi melewati aturan hukum
yang sudah ada sehingga seolah-olah posisinya sangat menentukan dalam
sebuah akad nikah. Karena itu, kalau kita mengamati lebih dalam peran
dan tugas murabbi tidak lain adalah sebagai uztaz, orang tua atau
teman seiring yang sifatnya membimbing dan mengarahkan mad\'unya
dengan cara yang paling baik, penuh hikmah, mesra dan kental dengan
nuansa persaydaraan dan keakraban. Sosok murabbi tidak pernah
diharapkan tampil sebagai hakim atau qadhi yang berkumis tebal dan
menyeramkan yang selalu siap memvonis mad\'unya sebagai pesakitan yang
duduk di kursi terdakwa. Sosok murabbi juga tidak pernah diharapkan
menjadi polisi yang siap menyemprit bila ada tanda-tanda pelanggaran.
Sosok murabbi juga bukan seorang senoir ospek yang siap mencari-cari
kesalahan adik mahasiswa barunya dan menghujaninya dengan beragam
hukuman. Sosok murabbi juga bukan tipe orang punya aji mumpung bisa
memanfaatkan apa saja milik mad\'unya atas nama dakwah dan pergerakan.
Sosok murabbi ideal adalah seorang teman atau kakak yang welas asih,
menyayangi, melindungi dan membimbing dengan penuh perhatian,
kemesraan dan ketulusan. Sehingga dengan semua sifat mulianya itu,
seorang mad\'u datang kepadanya dengan penuh ketulusan yang indah,
penuh ketaatan yang lahir dari rasa tsiqah yang asli dan murni, bukan
sekedar ikut-ikutan takut dicap ini dan itu. Sehingga ketika seorang
mad\'u berkonsultasi tentang calon istri kepada murabbinya, yang
terjadi adalah dialog yang positif dan mulia serta penuh rasa percaya
yang timbal balik. Kalau pun ada masukan dari murabbi, sifatnya adalah
saran, masukan dan pertimbangan yang bersifat umum. Sama sekali bukan
aturan, vonis, ketetapan hukum atau ikatan-ikatan yang kaku. Saran dan
masukan murabbi itu tidak pernah bersifat memojokkan seseorang, tetapi
menjadi pertimbangan yang bersifat ijtihadi dan subjektif sifatnya.
Seorang mad\'u tetap diberikan kemerdekaan dan kebebasan untuk berbeda
opini atau pandangan atas sebuah masalah dengan orang lain termasuk
murabbinya sendiri. Dan bila saran itu tidak diterima sepenuhnya oleh
mad\'u, maka tidaklah mengapa, karena berbeda pandangan antara murabbi
dan mad\'u adalah sesuatu yang manusiawi dan dibenarkan oleh syariat.
Bukankah tidak semua perintah atau masukan dari Rasulullah SAW
diterima mentah-mentah begitu saja oleh para shahabat ? Bukankah
Rasulullah SAW terbiasa mengajak para shahabatnya untuk bermusyawarah
dan memberikan opini masing-masing serta pendapat pribadi ? Bukankah
Rasulullah SAW seringkali menerima usulan dari shahabatnya yang
berbeda dengan usul yang datang dari dirinya pribadi ? Sebab selama
perkara itu bukan berkaitan langung dengan dengan aturan baku syariat,
maka manusia diberi keluasan untuk berekspersi dan menuangkannya dalam
kehidupannya. Jangan sampai sosok-sosok murabbi itu terlalu jauh
mengatur hingga sampai kepada masalah selera pribadi. Padahal Islam
tidak pernah memerintahkan hal itu dan juga tidak memberi kewenangan
dalam urusan itu. Misalnya, bila ada seorang mad\'u yang punya selera
untuk memilih istri yang cantik, tinggi, putih, pintar dan kaya. Ini
adalah sebuah selera yang manusiawi sifatnya. Sama sekali tidak
tercela karena tetap dibenarkan oleh syariat. Yang tidak boleh adalah
kalau semua itu menjadi pertimbangan tapi dengan melupakan masalah
fikrah, pemahaman, aqidah atau ubudiyahnya. Sedangkan bila semua
kriteria itu ada pada diri seorang wanita, maka beruntunglah suaminya.
Sama sekali tidak ada cacat atau cela ketika seorang mad\'u yang
normal punya selera demikian. Dan bagi murabbinya, jangan sampai
melecehkan atau menganggap selera itu terlalu muluk hanya karena istri
si murabbi tidak seperti khayalan si mad\'u. Hadaanallahu Wa Iyyakum
Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. 

Kirim email ke