Indonesian Corner dan membangun Mimpi Jurnal buruhmigrent Sudah beberapa kali saya menikmati kesunyian di perpustakaan Ruwais. Letaknya menyatu dengan recreation center. Satu lorong dengan cinema Ruwais. Saya tidak tahu dalamnya cinema seperti apa karena tidak pernah masuk ke dalam sekali juga. Setiap masuk perpustakaan satu hal yang paling saya sukai adalah tagging pengumuman yang selalu ada di setiap perpustakaan. "Quite please, you are in the library", kalau di perpustakaan LIPI bunyinya, "Dilarang berisik, Anda sedang di perpustakaan". Entah kalo di Europa, seperti apa bunyinya. Tapi saya yakin pasti ada larangan untuk membuat kekacauan dan keributan. Seolah perpustakaan sangat sakral dan tempat yang paling sunyi setelah kuburan. Perpustakaan dan Membangun Peradaban Namun inilah salah satu daya tarik bagi saya untuk mengunjungi perpustakaan publik. Ruangan besar dengan dinding bergema. Jika berbicara sesama pengujung setengah berbisik. "ada di sebelah mana raknya?" "was wes..wos.." hampir tidak terdengar sesama pengunjung berbicara. Berada di dalam atmosfir ruangan penuh buku memang mengasyikkan. Saya seperti berada di dalam ruangan penuh harta karun. Jutaan kata yang tertulis mewakili setiap masa. Seperti ada gambar audio visual yang berseliweran di dalam ruangan yang setiap harinya sepi ini. Ada gambar berisi peperangan, oh..mungkin itu dari buku sejarah. Ada gambar jenis macam hewan, oh ya..itu mungkin dari buku biologi. Ada gambar orang sedang beracting, mungkin itu dari buku sastra. Terkadang buku-buku yang tersimpan di dalam lemari tadi seperti berjingkrak-jingkrak membuat gaduh. Seolah berteriak, "jamah aku-jamah aku..hehe bukan begitu!,maksudnya baca aku!..baca aku!". Saking girangnya menyambut pengunjung yang datang. Bukannya sok tahu dengan sejarah. Dulu, kekhalifahan Islam di Bagdad punya perpustakaan yang terbesar di dunia pada zamannya. Dinasti Bani Umayyah dengan Sultan Harun Al Rasyid memang sukses menjadikan Bagdad sebagai pusat ilmu pengetahuan. Alih bahasa Latin ke arab ternyata membantu percepatan kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa. Membaca, menulis, membangun perpustakaan adalah bagian dari pondasi membangun peradaban. Maka, tatkala pasukan Jenghis Khan datang, Tartar the Destroyer melumatkan buku-buku itu. Dibakar jadi abu dan dimusnahkan di sungai Eufrat. Konon sampai sungai Eufrat terbendung oleh buku-buku yang dibenamkan. Tinggalah sejarah Islam memasuki masa kelam. Tingkatan budaya berbahasa itu dimulai dari bercakap-cakap,mendengar, kemudian menulis dan membaca. Jika segala sesuatu hanya cukup dibicarakan maka jadilah ia angin lalu. Seberapa kuat ingatan kita menyimpan informasi?. Jadi semua harus dituliskan. Begitu juga dengan Al-Qur'an, Muhammad yang mulia memerintahkan Ibnu Mas'ud untuk menulis setiap wahyu. Bangsa Arab memang kuat hafalannya,tetapi saat banyak penghapal Qur'an gugur menjadi syahid maka di masa Khalifah Utsman bin Affan Qur'an dimushafkan (dibukukan). Seperti sekarang, Jadi hanya ada satu mushaf saja, yaitu mushaf Utsmany. Cetakaannya boleh banyak, isinya sama. Bisa kita bayangkan saat wahyu tidak segera dibukukan entah seperti apa jadinya. Begitulah, budaya menulis, membaca dan serta ketersediaan perpustakaan diibaratkan membangun sebuah peradaban. Di dalamnya menjadi rujukan ilmu pengetahuan. Teman saya sempat protes, tidak perlu perpustakaan fisik saat ini. Semua ada di internet. Tinggal klik dan search saja. Saya tidak menyanggah, namun seperti halnya administrasi ada yang softcopy mesti ada juga yang hardcopy. Saling mem back up satu sama lain. Bukan menghilangkan satu sama lain. Namun bagi saya tetap saja aroma perpustakaan membuat saya bahagia. Kedamaian seolah tercipta diantara buah pemikiran yang brilian. Dari perjalanan panjang anak manusia yang entah sampai kapan. Indonesian Corner dan membangun Mimpi Bagian pilihan hidup saya untuk menemukan kedamaian di antara buku-buku. Maka saat di Ruwais ada perpustakaan saya bahagia. Sayangnya setiap kali masuk masih didominasi buku-buku dengan bahasa Arab. Inilah adegan tragisnya. Saya harus memilah buku-buku bahasa Inggris untuk mencoba meresapi isinya. Bahasa Arab buat saya terlalu berat karena tidak ada fathah, kasroh dandomahnya. Kalau pun saya ambil yang berbahasa Arab paling tidak majalah bulanan. Sayangnya isinya gambar-gambar cantik. Membuat saya alergi jadinya. Bukannya tidak suka, saya jadi ingin memiliki. Begitulah endingnya, saya hanya menikmati gambar saja. Jika buku berbahasa Inggris masih oke lah!. Mungkin ini juga yang menjadi alasan orang Indonesia di Ruwais jarang mampir ke perpustakaan. Saya bertanya tiada henti.. Satu kesempatan saya bertanya pada petugas librarian. "Saya lihat masih banyak rak-rak kosong. Bolehkah saya nyumbang buku? Ia menjawab, "Dengan senang hati menerimanya". Saya jelaskan bukunya berbahasa Indonesia. Ia juga meyakinkan saya itu bukan masalah. Maka saya curahkan mimpi saya padanya agar satu hari kelak ada Indonesian corner di perpustakaan Ruwais. Eh..ia bahkan menyambutnya dengan berbinar-binar seolah saya sedang mengungkapkan kata cinta padanya. Maka selepas mengunjungi perpustakaan siang itu isi kepala saya muter-muter. Saya harus beli buku dari Indonesia, terus saya kirim ke sini, harga buku dan biaya kirim pasti lebih mahal biaya kirim. Muter lagi..sampai pusing dibuatnya. Maka saya pecahkan pusingnya saat ini dengan menulis. Saya bermimpi ada Indonesia Corner di perpustakaan Ruwais. DI PEA (persatuan emirat arab), Negara yang kaya duit sampai trilyunan dollar tidak punya satu pun perpustakaan kelas dunia. Kalau hotel dan mall kelas dunia banyak. Di sini memang jagonya. Saya sering sedih saat mengajak anak main ke Abu Dhabi. Hanya Mall yang dituju. Apa yang terjangkar dalam pikirannya saat besar nanti. Satu-satunya jalan mampir ke toko buku. Tetap saja menurut saya kondisi masih minim dan kurang seimbang. Sadarlah saya, saya terperangkap dalam dunia kapitalis. Seolah, yang terjadi di sini adalah siapa yang mengeksploitasi siapa. Para migran yang datang juga tak mau berpikir soal buku, pokoknya number one is dirham. Saat saya tanya ke penduduk asli dimana perpustakaan yang besar di Abu Dhabi, jawabnya "a..e..o..!" kata dia, "jangan tanya itu, mall saja!". Saya sedang membangun mimpi sendirian. Di perpustakaan Ruwais ada Indonesia Corner, berjejal buku-buku dari indonesia. Bisa bahasa Inggris juga bahasa Indonesia. Pilihan menurut saya tepat. Jika membangun perpustakaan di rumah aksesnya sangat terbatas. Lagi pula masalah privacy tidak bisa diabaikan. Jika perpustakaan publik sudah jelas fungsinya. Dan saya kira sudah saatnya kita membiasakan diri mengunjungi perpustakaan bersama keluarga, putra dan putri kita. Di perpustakaan Ruwais di dinding sebelah timur sudah ada ruangan yang memang dikhususkan untuk anak-anak. Diberi pintu tersendiri, jadi jika anak-anak ribut tidak mengganggu pengunjung lainnya. Ketika kedua anak saya dibawa mereka bisa menikmatinya. Sayangnya, buku-buku anaknya masih berbahasa Arab. Butuh waktu cukup lama atau mungkin sangat lama untuk membiasakannya. Saat ini saya masih memilih buku-buku di flat saya yang akan diboyo ng ke perpustakaan di Ruwais. Jika Allah berkehendak saya juga ingin membeli buku-buku dari Indonesia dan mengaturnya untuk bisa dikirim ke sini. Saya juga bicarakan satu persatu pada orang-orang yang tepat dan kira-kira mempunyai visi yang sama. Tidak mudah menemukannya memang karena sepertinya kita sudah terlalu sibuk dengan urusan yang lain dan soal buku serta perpustakaan bukan sesuatu hal yang menarik. Jadi soal Indonesian corner di perpustakaan di Ruwais masih sedang tahap perjuangan untuk mewujudkannya. Ini bagian dari kampanye literasi di salah satu pesolok, remote area istilahnya. Atau perlukah John wood, si pendiri 1000 perpustakaan di dunia untuk didatangkan kemari untuk mewujudkan Indonesia corner? Sudahlah tidak perlu!. Kata SBY, bersama kita bisa!.