Kepala Sekolahku Seorang Pemulung
 
Domuara Ambarita
Mahmud, pemulung yang juga Kepala Sekolah
/
Artikel Terkait: 
        * Gelar Kabaret untuk Dana Bedah Otak (1) 
Sabtu, 1 November 2008 | 15:29 WIB
WAJAH Mahmud (48) putih bersih. Cerah. Dandanannya rapi, tidak lusuh. Tawanya 
juga renyah. Riang. Di antara empat laki-laki teman kerjanya yang sibuk 
membersihkan botol-botol plastik bekas wadah air mineral di antara tumpukan 
sampah, dia paling keren. 

Sekilas pandang sosok laki-laki setengah baya itu lebih pas juragan atau 
pedagang pengumpul dari para pemulung, tetapi kenyataan dia adalah pemulung 
sebetulnya. Mahmud terkesan pintar menyembunyikan duka lara kendatipun hidup 
sesungguhnya nelangsa.

Mahmud mengenakan kaus oblong atribut kampanye Pemilu 2004 dengan foto wajah 
Susilo Bambang Yudhoyono. Bawahannya sarung warna merah tua. Di tengah 
perbincangan dia pamit menunaikan shalat Maghrib, bersalin kemeja koko hijau 
tua, dan peci hitam. Dia masuk ke rumah kotak dari bambu dan kayu lapis di 
dekat tumpukan sampah, "ladangnya" memulung.

Mahmud seorang guru. Ya, pengajar, bahkan dengan predikat Kepala Sekolah 
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Safinatul Husna di bilangan Pangadengan, Kalideres, 
Jakarta Barat. Pagi sampai siang Mahmud bekerja di sekolah, mengajar berbagai 
mata pelajaran, mulai agama, matematika, bilogi, hingga fisika.

Yayasan yang mengelola sekolah ini terbilang lumayan besar dan membawahi 
sekolah MTs setingkat SMP dan madarasah ibtidaiyah (MI) setingkat SD. Untuk 
Madrasah Tsanawiyah MTs saja memiliki ratusan siswa dengan 17 guru dan seorang 
staf.

Kendati memimpin sekolah yang terbilang besar dan sudah menjadi guru sejak 
tahun 1979, kehidupan keluarga tiga anak ini jauh dari layak. "Orang 
kadang-kadang tidak percaya, gaji saya kurang dari sejuta. Rata-rata hanya Rp 
500.000 sampai Rp 700.000 sebulan," ujar Mahmud. Penuturan Mahmud dibenarkan 
Jumiati, istrinya, bekas penderita kanker otak.

Dengan penghasilan sekecil itu, Mahmud mencari penghasilan tambahan. Dia 
memulung sampah-sampah yang masih bernilai ekonomi, seperti lembaran plastik, 
botol plastik minuman mineral, kertas, dan kaleng dari tempat pembuangan sampah 
sementara.

Jika pagi-siang, pukul 06.30 hingga pukul 14.00 dia bekerja mendidik 
siswa-siswi dan mengorganisasi guru-guru beserta stafnya, sore hingga malam dia 
memulung. "Penghasilan sebagai pemulung saat ini kecil, paling-paling 300.000. 
Sebab, sudah banyak pemulung. Kalau dulu, waktu pemulung sedikit, penghasilan 
suami saya bisa sejuta sebulan," kata Jumiati.

Realita hidup yang dialami Mahmud memang terbilang tragis. Saat Pemerintah 
Provinsi DKI Jakarta mengumbar bonus kepada guru berstatus pegawai negeri sipil 
(PNS) dengan gaji yang dapat dibawa ke rumah minimal Rp 5 juta per bulan, 
berbanding terbalik dengan guru-guru swasta.

Mahmud menuturkan pekerjaan sambilan sebagai pemulung memang tanpa rintangan 
berarti, baik sesama guru, orang tua siswa maupun anak didiknya tidak sampai 
mengucilkan Mahmud. Namun, profesi ganda, guru plus pemulung sempat menjadi 
bahan perguncingan. Mahmud dianggap merendahkan profesi guru, apalagi 
jabatannya cukup keren-beken, yakni kepala sekolah.

Apa tanggapan balik Mahmud atas cibiran itu? "Saya tak bermaksud merendahkan 
martabat dan harga diri profesi guru," kat dia. Justru dengan sambil memulung, 
Mahmud coba memberi pelajaran kepada kawan seprofesinya dan pihak-pihak lain, 
kalau gaji guru di Jakarta saja, ini Jakarta lho, belum cukup untuk kehidupan 
keluarga.

"Mestinya rekan-rekan guru yang lain bangga pada saya, siapa tahu ke depan guru 
swasta pun diperhatikan seperti PNS. Sebab guru swasta juga banyak, dan tugas 
mereka sama seperti guru negeri, mencerdaskan anak-anak," ujar Mahmud yang 
sudah menekuni pekerjaan mengumpulkan barang-barang bernilai ekonomis dari 
sampah buangan keluarga sekitar huniannya.

Derita keluarga Mahmud mengundang banyak keprihatinan, termasuk dari wartawan 
dan insan perfilman.  Saat pembahasan RUU Guru dan Dosen marak rua tahun lalu, 
TVRI membuat tayangan dengan memosisikan Mahmud sebagai 'aktor' utama. TVRI 
mengeskploitasi rangkap jabatan guru dan pemulung. Setelah film itu tayang, 
Mahmud mendapat hadiah berupa tabungan Rp 20 juta.

Tahun lalu, dia juga menjadi "aktor"  film dokumenter berjudul Kepala Sekolahku 
Pemulung. Film dokumenter terbaik yang menyabet penghargaan film favorit dalam 
kompetisi film dokumenter Eagle Award, Metro TV. Mahmud beserta istri pun 
tampil pada acara Kick Andy. "Semua tabungan saya dari film itu habis, ludes... 
des... untuk pengobatan alternatif istri," kata Mahmud dengan nada pelan, lirih.

Seorang anaknya bahkan harus putus kuliah, drop out, setelah dua semester 
berturut-turut tidak mampu membayar uang kuliah karena semua penghasilan mereka 
tersedot untuk pengobatan sang ibu.

Jika dari TVRI didapatkan Mahmud honor Rp 20 juta, dari Metro TV diperoleh 
jalan mendapatkan operasi berbiaya ratusan juta dengan cuma-cuma. Saat derita 
dia diekspos Andy F Noya, sang presenter, hal itu mengilhami pihak RS Siloam 
Karawaci dan Yayasan Otak Indonesia memberi layanan bedah otak tanpa dipungut 
biaya. Beruntunglah keluarga ini, istri atau ibu yang mereka kasihi sudah bebas 
dari sergapan kanker otak mematikan.
Domu Damianus Ambarita 
Sumber : Persda Network



      

Kirim email ke