BERDUSTA ITU MELELAHKAN
Abdi Sumaithi
 
Setiap manusia, dalam interaksi dengan di luar diri dan lingkungannya, 
senantiasa mempunyai harapan agar keadaan sejati dirinya diterima dan dihargai 
orang lain secara layak. Dalam batas yang proporsional, adanya harapan itu 
merupakan ciri manusia normal. Pada umumnya, harapan yang bersifat intrinsik 
itu dapat terpuaskan jika realitas dirinya selaras dengan kehendak dan harapan 
orang lain. 

Dalam kondisi keselarasan seperti itu, interaksi dan komunikasi dengan orang 
lain di luar dirinya akan berjalan harmonis, wajar, menyenangkan, dan tanpa 
beban. Sebagai akibatnya, ia merasakan kepuasan dan kenyamanan. Ia tak menemui 
problem dengan dirinya sendiri. 
Masalahnya, tidak selamanya dalam hubungan dengan sesama manusia realitas 
sejati diri seseorang selalu selaras dengan harapan dan kehendak orang lain. 
Ada kalanya realitas sejati dirinya justru bertentangan dengan harapan dan 
kehendak orang lain yang menyebabkan sang diri mengalami disharmoni dalam 
interaksinya dengan orang lain serta mengindikasikan adanya problem. Dalam 
kondisi seperti ini seseorang akan merasa tidak nyaman, bukan hanya dengan 
orang lain, namun juga dengan dirinya sendiri.

Apabila sang diri menghadapi kondisi yang dirasa tidak ideal, ia akan berupaya 
mencari cara-cara yang dapat menghilangkan atau meminimalisasi dampak yang 
tidak menyenangkan yang ditimbulkannya. Boleh jadi dalam hal ini ia harus 
melakukan dua kemungkinan tindakan ekstrem; menenggelamkan dirinya kepada 
harapan dan kehendak orang lain meskipun harus bertentangan dengan realitas 
sejati dan mengorbankan kepribadiannya, atau meneguhkan realitas sejatinya 
dengan konsekuensi kehadiran realitas sejati dirinya tidak diterima di tengah 
lingkungannya.

Seseorang yang cenderung ingin selalu mendapat tempat dan memperoleh 
penghargaan dari orang lain di lingkungannya, memersepsi nilai harga diri 
semata-mata berkaitan dengan penerimaan dan penolakan orang lain terhadap 
keadaan dirinya. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan, bahkan cenderung 
mati-matian berupaya menenggelamkan dirinya ke dalam harapan dan kehendak orang 
lain. Ia siap untuk melakukan apa saja untuk merengkuh keinginannya itu, 
termasuk melakukan kebohongan, sampai ke tingkat merenggut otensitas 
keperibadiannya. Sesungguhnya, bagaimana pun situasi yang dihadapi, seseorang 
tidak akan berbohong kalau hati nuraninya tidak bermasalah. “Hatinya tidak 
mendustakan apa yang telah dilihatnya (QS, al-Najm [53]: 11).(Insya Allah ada 
lanjutannya)
 

Secara sunnatullah, begitu seseorang melakukan kebohongan, pada saat itulah ia 
sesungguhnya mulai menanam dan mengembangkan dusta di dalam dirinya. Dikatakan 
demikian, karena ia dapat menampilkan 'kebenaran' di mata orang lain melalui 
'pembenaran-pembenaran' yang terjadi secara individual. Ibnu al-Jauzi dalam 
al-Thibb al-Ruhani menuturkan, bohong adalah sikap yang lahir dari dorongan 
nafsu demi kecintaannya pada posisi dan harga diri individunya. 

Secara psikologis, dusta memerlukan pengerahan energi jiwa yang lebih banyak 
dan lebih berat. Sebab dirinya harus menghadapi dua tuntutan yang dalam waktu 
berbarengan harus dipenuhi. Pertama, tuntutan penyelarasan dengan 
lingkungannya. Kedua, tuntutan dari dalam diri yang senantiasa mencari 
kenyamanan dan keharmonisan. 

Jika pemenuhan kedua tuntutan itu tidak berjalan harmonis, tak dapat dielakkan 
akan terjadi berbagai konflik kejiwaan yang tak berkesudahan, atau 
pertentangan-pertentangan jiwa yang melahirkan perasaan ‘exhaustive’ 
(habis-habisan mencurahkan energi). Malik bin Dinar mengatakaan, “Kejujuran dan 
kedustaan bertarung habis-habisan di dalam diri seseorang hingga salah satunya 
bias terpelanting.” Selanjutnya, kemenangan kedustaan atas kejujuran membuat 
jiwa akan mengalami kelelahan yang amat sangat. 

Oleh sebab itu pada hakikatnya dusta merupakan bagian dari tindakan melampaui 
batas yang karenanya akan sangat membebani jiwanya. “..Dan jika ia seorang 
pendusta, maka dialah yang menanggung (beban dosa) dustanya itu; dan jika ia 
seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan 
menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas 
lagi pendusta. (QS, Ghafir [40]: 28). 
Rasulullah Saw menegaskan bahwa kebohongan akan menjadi beban yang melelahkan 
kepada pelakunya dalam sabdanya, “…Aku melihat dua orang yang mendatangiku dan 
mereka berkata, “Orang yang melihat mulutnya dikoyak tadi adalah seorang 
pendusta. Ia berbohong hingga kebohongannya itu dibebankan kepadanya sampai 
mencapai ufuk. Ia diberi beban seperti itu sampai hari Kiamat.” (HR, Bukari dan 
Muslim). 
 

Seseorang bisa saja mendustai atau membohongi orang lain, tapi ia tak akan 
sanggup mendustai semua orang. Sebab jiwanya tidak akan sanggup menyeret beban 
kebohongannya. Kebohongan yang dilakukan oleh seseorang pada orang lain pada 
dasarnya bagaikan menimpakan butiran batu sedikit demi sedikit pada diri 
sendiri. Lama kelamaan butiran itu menjadi bongkahan yang menumpuk, menjadi 
beban yang memberatkan dan semakin rumit untuk dipecahkan. Rasulullah Saw 
mengingatkan, “Senantiasa seorang hamba berdusta dan membiasakannya hingga 
dicatat di sisi Allah Swt sebagai seorang pendusta”. (HR, Bukhari).

Beban itu pada akhirnya akan memberatkan perjalanan spiritualnya. Dia akan 
terus-menerus menyeret beban hingga akhirnya terjerumus dalam neraka. 
“Berhati-hatilah kalian dari dusta,karena dusta itu akan membimbing kepada 
kejahatan, dan kejahatan itu akan menyeretnya ke neraka.” (HR, Bukhari) 
Oleh karena itu, menyimpan dan menumpuk kedustaan adalah sauatu tindakan bodoh 
seseorang yang patut diratapi. Semestinya tindakan itu dibuang jauh-jauh. Sebab 
kebohongan bagaikan upaya menimbuni diri sendiri dengan dosa yang penuh 
kesia-siaan. Hidup ini terlalu berharga untuk dilalui dan diakhiri dengan 
kesia-siaan. Wallahu A’lam





      

Kirim email ke