Memang di Indonesia sudah parah mengenai lalulintas jalan, jakarta,
bekasi sama saja, tlotoar buat pejalan kaki bisa dijadikan alternatif
dalam kemacetan oleh pengendara sepeda motor, saya pernah di sodok motor
lain dari arah belakan gara-gara saya memberi jalan kepada serombongan
penyebrang, pengendara yang nyodok malah marah-marah kepada saya dengan
alasan ngerem mendadak, padahal lampu belakang motor saya normal.
 
Saya semdiri juga heran, jauh sekali dengan di kampung, fenomena yang
sangat jelas kalau di kampung saya pada saat libur lebaran, pemudik
dengan gagah dan bangganya seolah-olah memamerkan kesuksesanya di rantau
dan bukan kampungan lagi membuat iklim lain dalam berlalulintas saat
itu, setelah arus balik maka di kampung terasa nyaman dan plong.
 
________________________________

From: keluarga-islam@yahoogroups.com
[mailto:keluarga-is...@yahoogroups.com] On Behalf Of Ananto
Sent: Thursday, July 16, 2009 10:06 AM
Subject: [keluarga-islam] Akhlak Kita di Jalan Raya


  

Akhlak Kita di Jalan Raya
Oleh: UAA

 

Walau sudah empat tahun tinggal di Boston, saya masih terus mengagumi
beberapa aspek kecil dalam kehidupan sehari-hari di sana. Setiap saya
berjalan kaki dan hendak menyeberang jalan, pengendara mobil pasti akan
berhenti beberapa meter untuk memberi jalan kepada saya -- tak peduli
saya menyeberang melalui jalur zebra atau bukan.


Saat saya mengendarai mobil dan hendak belok, biasanya mobil dari arah
yang lain akan dengan senang hati memberi jalan kepada saya. Jika
kebetulan saya mengendarai mobil di jalan yang hanya terdiri dari dua
jalur, jarang sekali saya melihat pengendara lain menyalip saya hanya
karena saya berjalan lambat. Pengendara lain yang ada di belakang saya
akan dengan sabar mengikuti mobil saya dari belakang.


Yang menarik perhatian saya adalah perangai para pengendara sepeda
motor. Tidak seperti di Jakarta, di mana para pemotor dengan seenaknya
lari kencang, zig-zag di antara mobil yang amat berbahaya, para pemotor
di Boston jarang yang dengan seenaknya menyalip mobil di depannya,
apalagi berjalan di sela-sela antara dua kendaraan. Jika lampu merah
menyala, para pemotor akan berhenti, dan tidak akan berusaha untuk
menyelinap di antara mobil untuk berada di barisan terdepan.


Menyetir mobil atau mengendarai motor, bahkan mengayuh sepeda onthel, di
kota seperti Boston adalah pengalaman yang menyenangkan sekali. Tak ada
perasaan terancam. Semuanya serba teratur, dan semua orang berharap
orang lain mengikuti sebuah aturan yang jelas. Di jalan, kita menemui
"sense of order", rasa keteraturan. 


Keteraturan ini muncul bukan semata-mata karena ada hukum atau aturan
yang bersifat formal, tetapi juga karena ada "etika publik" yang membuat
seseorang menghormati orang lain. Salah satu konvensi sosial yang sudah
diketahui oleh para pengendara di sana adalah saat seseorang mengendarai
mobil dan sampai di sebuah perempatan yang kebetulan tak dilengkapi
dengan lampu lalu-lintas (karena di kawasan hunian yang tak terlalu
ramai, misalnya).


Dalam keadaan seperti itu, seorang pengendara yang sampai terlebih
dahulu di perempatan itu, akan dengan sendirinya memiliki hak untuk
melintas terlebih dahulu. Pengendara lain yang datang belakangan harus
memberi jalan kepada pengendara itu. Dia bisa saja memaksa untuk
menyerobot terlebih dahulu, tetapi jarang saya melihat pengendara yang
"tak sopan" semacam itu.


Pejalan kaki adalah "raja" di kota seperti Boston. Jika seorang pejalan
kaki menyeberang, sudah pasti pengendara mobil akan memberikan jalan
kepadanya. Apalagi jika yang melintas adalah anak-anak, orang tua, atau
penyandang cacat tubuh.


Kota Boston jelas tidak diatur menurut syariat agama tertentu, tetapi
akhlak pengendara kendaraan di jalan umum sunguh membuat saya
terheran-heran, bukan karena kebrengsekannya tetapi karena kesopanan
yang mereka peragakan dengan amat mengesankan. Dengan mengatakan ini,
bukan berarti di kota itu tak ada pengendara mobil yang brengsek. Sudah
tentu ada. Tetapi secara umum, saya melihat perilaku berlalu-lintas yang
sangat sopan, sesuai dengan "al-akhlaq al-karimah" -- perilaku yang bisa
anda sebut sangat "Islami", meskipun Islam bukanlah agama mayoritas di
sana.


Sudah sebulan ini saya berada di Jakarta, dan melihat perangai
berlalu-lintas yang sungguh bukan main "unik"-nya. Sudah tentu, perangai
di jalan raya itu bukanlah sesuatu yang aneh buat saya, sebab selama
bertahun-tahun saya tinggal di kota itu. Tetapi, setelah empat tahun
tinggal di Boston dan balik lagi ke Jakarta, saya menemukan perbandingan
lain yang membuat pemandangan lalu-lintas di kota itu tampak begitu
"mengerikan" di mata saya.


Beberapa hari lalu, saya melihat pemandangan yang begitu "vulgar" di
kawasan Jatibening, daerah tempat saya tinggal sekarang. Seorang ibu
setengah baya yang berjalan dengan terpincang-pincang hendak menyeberang
jalan yang memang sangat padat lalu-lintasnya. Dia harus menunggu
beberapa menit untuk menyeberang, karena tak bisa berlari dengan cepat.
Dia tampat ragu-ragu. Saat dia sudah menyeberang "setengah jalan",
tiba-tiba pengendara motor lewat dengan kencang di depan ibu itu, tanpa
memberinya kesempatan untuk lewat. Mobil-mobilpun seperti tak rela
memberikan kesempatan kepada ibu tersebut untuk menyeberang, dan tampak
hendak memaksa untuk jalan terus.


Pemandangan itu terus-menerus melekat dan mengganggu benak saya pada
malam hari: sudah begitu burukkah "akhlak publik" masyarakat kita di
jalan raya?


Saya bertanya-tanya dalam hati: kenapa terjadi semacam "anarki sosial"
di jalan raya Jakarta semacam itu? Apakah agama yang sekarang begitu
marak sekali di masyarakat Jakarta tak mengubah sedikitpun watak mereka
di jalan raya? Kenapa "demam agama" di masyarakat kita tak membawa
pengaruh kepada prilaku sosial di jalan raya? Ataukah saya salah
mempersoalkan peran agama di sini, sebab akar masalahnya bukan di sana?


Saya mencoba menduga-duga, bahwa agama memang tak bisa dimintai
tanggung-jawab apapun dalam hal ini. Mungkin saya harus mencoba mencari
jawaban pada hal-hal lain. Baik. Salah satu faktor yang layak disebut
adalah soal penegakan hukum di jalan raya. Saya kira, memang soal
penegakan hukum berlalu-lintas ini adalah salah satu sebab utama
kesemrawutan itu. Pengendara mobil dan motor bisa dengan seenaknya
menggenjot gas sedalam-dalamnya dan berlari begitu kencang sekali,
dengan mengabaikan batas kecepatan yang diperbolehkan. 


Tetapi, saya kira, masalah penegakan hukum bukanlah segala-galanya. Tak
semua perilaku berlalu-lintas bisa diatur dengan hukum. Memberikan
prioritas kepada pejalan kaki untuk menyeberang jalan, apalagi di
kawasan pinggiran kota yang tak terlalu padat, tentu tak membutuhkan
hukum tersendiri. Mestinya, seorang pengendara tahu bahwa menurut "akal
sehat" yang biasa, sudah selayaknya seorang pejalan kaki didahulukan dan
dihormati. 


Ada hal-hal dalam berlalu-lintas yang hanya perlu diatur oleh sebuah
etika publik saja yang tidak bersifat mengikat, tetapi semua orang
dengan taat mengikutinya, karena merasa tak pantas jika melanggarnya.
Etika semacam itu yang tak saya lihat di Jakarta saat ini. Seorang
pengendara mobil atau motor bertindak seperti dalam adagium yang
terkendal dari Thomas Hobbes, "bellum omnium contra omnes", perang semua
melawan semua.


Situasi berkendaraan di Jakarta seperti sebuah medan peperangan di mana
kalau anda tak membunuh, ya anda akan terbunuh. Semua orang seperti
hendak menang, tak mau mengalah. To kill or to be killed. Karena semua
orang hendak menang semuanya, maka seringlah kita melihat pemandangan
"leher botol" (bottle neck). Sore ini, saat melewati Pasar Pondok Gede
dan menuju ke arah Bojong, saya melihat pemandangan "leher botol" itu.
Di sebuah pertigaan di dekat Pasar Pondok Gede, terjadi kemacetan yang
luar biasa. Pasalnya sederhana saja: semua mobil merangsek ke arah
pertigaan, semua hendak lewat lebih dahulu, sehingga membuat arus
bekendaraan macet total. Saya seperti tak melihat pengertian tentang
pentingnya antri.


Di jalan-jalan Jakarta, saya melihat semacam peragaan dari "permainan
semua melawan nol" atau zero sum game. Dalam permainan seperti itu,
seseorang merasa harus mendapatkan semuanya atau kalah sama sekali. Tak
dan "solusi menang-menang" atau win-win solution. Yang ada adalah atau
anda menang atau kalah sama sekali. Kalau anda memberi jalan kepada
pengendara lain, maka anda akan kalah. Kalau anda mau menang, anda harus
mendesak, merangsek, memaksa, supaya pengendara lain memberi anda
kesempatan untuk lewat.


Yang mencemaskan saya adalah membayangkan pengaruh pemandangan
lalu-lintas seperti itu dalam membentuk sikap-sikap dalam masyarakat.
Saya menduga, prilaku berlalu-lintas seperti itu, sedikit atau banyak,
mempengaruhi mentalitas seseorang di luar jalan raya. Jika setiap hari
kita disuguhi pemandangan "zero sum game" semacam itu di jalan raya,
bukan mustahil akan terbentuk dalam diri kita mentalitas "mau menang
sendiri", bersikap mutlak-mutlakan, absolutisme. 


Saya menduga, ada aspek "geografis" dalam kekacauan berlalu-lintas
semacam itu. Perbandingan antara luas tanah dan jumlah penduduk Jakarta
dan sekitarnya makin mengecil, sehingga muncullah gejala ruang sempit
yang dihuni secara berdesak-desak oleh banyak orang. Dalam situasi yang
tak ideal semacam itu, tentu seseorang akan dipaksa untuk saling berebut
untuk medapatkan "ruang kosong". Karena jumlah penduduk terus meningkat,
persaingan untuk mendapatkan ruang makin meningkat. Tak ada cara lain
untuk mengatasi hal ini kecuali memikirkan tata-kota secara baik. Banyak
kota besar dunia dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, tetapi
berhasil menjaga keteraturan. Contoh yang baik adalah kota Tokyo di
Jepang. 


Tetapi, kontribusi etika atau akhlak publik juga sangat besar dalam
membentuk warga negara yang "sipil" atau beradab di jalan raya. Etika
ini patut diajarkan kepada masyarakat. Pengertian tentang akhlak atau
etika dalam masyarakat juga pelan-pelan harus diubah. Selama ini, akhlak
cenderung dimengerti sebatas sebagai sopan santun di dalam wilayah
privat. Masyarakat diajarkan untuk berperangai sopan kepada orang tua,
guru, dan orang yang lebih senior di rumah atau di ruang-ruang tertutup.



Tetapi etika atau akhlak yang berkaitan dengan kehidupan publik, seperti
di jalan raya, kurang mendapatkan perhatian. Seolah-olah berlalu-lintas
secara baik dan sopan bukan bagian dari imperatif etis, bukan bagian
dari tuntutan berakhlak mulia sebagaimana diajarkan oleh agama.
Seseorang yang rajin beribadah menurut ajaran agama tertentu merasa
tidak ada masalah jika berlaku kasar di jalan raya, seolah-olah menjadi
seorang beragama yang "saleh" di mata Tuhan tak ada kaitannya dengan
berlaku "saleh" terhadap sesama manusia. 


Ini tentu sebuah paradoks yang mencemaskan! ***** 


Kirim email ke