Mungkin Kyai Indonesia yang terkenal zaman dulu belajar ke Timur Tengah 
ketempat-tempat pusat peradaban Islam sehingga menghasilan kyai yang mempunyai 
Akhlaqul Karimah, sedangkan sekarang kyianya disekolahkan ke Amerika pusat 
peradaban sekuler. Jadi motivasinya beda tentu jadi hasilnya juga beda.

Kalau kyai dulu kita ditanamkan bahwa Ad Dinul Islam agama yang di ridhai Allah 
SWT, sekarang kyainya mengatakan semua agama sama.

Kalau kyai dulu mengajarkan kita dulu belajar Kitab FIQIH dan ini hanya ada 
dalam agama Islam, kyai sekarang mengajarkan  fikih lintas agama. Jadi ternyata 
atau mungkin kyiai sekarang juga belajar fikih agama Kong Hu Cu, Budha, 
Protestan, Hindu.

Mudah-mudahan yang mengatakan semua agama sama itu sudah mendapatkan pertanyaan 
di alam barzakh, apa agamu dan dia bisa menjawab.



Salam,
 




________________________________
From: Ananto <pratikno.ana...@gmail.com>
Sent: Thursday, July 16, 2009 10:01:54 AM
Subject: [keluarga-islam] Model Ideal Kyai Indonesia

  
Model Ideal Kyai Indonesia
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
 
Bila Hadlratussyeikh KH. M Hasyim Asy’ari (kelahiran 1871), KH. Abdul Wahab 
Hasbullah (kelahiran 1888), KH Bishri Sansuri (kelahiran 1886), dan kyai-kyai 
seangkatan mereka pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, kita sebut generasi NU 
angkatan pertama, maka generasi berikutnya–katakanla h generasi kedua—merupakan 
generasi penerus yang benar-benar pewaris sikap dan perjuangan para 
pendahulunya. Angkatan kedua ini paling tidak mewarisi keikhlasan sikap dan 
perjuangan angkatan sebelumnya. Pemahaman yang dalam dan kekokohan memegang 
ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah sekaligus kecintaan kepada tanah air 
Indonesia. (KH Muhammad Dahlan Kebondalem, salah seorang pendiri NU 
berkata,“Berdirinya NU adalah untuk menegakkan syariat Islam menurut ajaran 
Ahlussunnah Wal Jama’ah dan mengajak bangsa ini untuk cinta kepada tanah 
airnya.”)
 
Generasi kyai NU pertama yang mencontohkan dan mengajarkan patriotisme; 
benar-benar berhasil mencetak generasi penerus yang tidak hanya menguasai ilmu 
dan mengamalkan akhlak luhur Islam, tapi juga patriot-patriot bangsa teladan. 
Pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki jiwa keindonesiaan dan kebangsaan yang 
tinggi. Sebagaimana generasi sebelumnya, generasi angkatan kedua ini belajar 
ilmu Islam dari sumber-sumbernya dan dari guru-guru yang memiliki kesinambungan 
ilmiah dari guru ke guru. Dan sebagaimana generasi sebelumnya, merasakan 
pahit-getirnya perjuangan membela tanah air melawan penjajah Belanda dan Jepang.

Generasi kedua ini umumnya--baik langsung atau tidak--merupakan santri-santri 
Hadlratussyeikh KHM Hasyim Asy’ari yang menjadi kebanggaan Indonesia. Beberapa 
diantaranya bahkan pernah beberapa kali dipercaya menjadi menteri Agama 
republik ini, yaitu KH Masykur (kelahiran 1902); KH.M. Dachlan (kelahiran 
1909); KH Muhammad Ilyas (kelahiran 1911); KH. A. Wahid Hasyim (kelahiran 
1914); KHA. Wahib Wahab (1918); dan KH. Saifuddin Zuhri (kelahiran 1919).

KH. Muhammad Ilyas, justru merupakan santri kesayangan dan kepercayaan 
Hadlratussyeikh yang dalam usia 18 tahun sudah dijadikan Lurah Pondok Pesantren 
Tebuireng. KH. M. Ilyas tidak hanya disayangi dan dipercaya oleh 
Hadratussyeikh, tapi bahkan tampaknya juga diserahi “membimbing” atau 
setidaknya menjadi kawan belajar dan berjuang putra beliau, adik sepupu KH. M 
Ilyas sendiri, KHA. Wahid Hasyim.

Hal itu terlihat dari kedekatan dan kebersamaan kedua tokoh kesayangan 
tersebut, sejak bersama-sama ngaji di Tebuireng, mondok di Pesantren Siwalan 
Panji, belajar ke Mekkah, melakukan pembaharuan pendidikan di pesantren, hingga 
bersama-sama berjuang dan berkhidmah untuk Indonesia. Ini semua tentulah tidak 
terlepas dari pengarahan guru besar mereka, Mahakyai Muhammad Hasyim Asy’ari.

Meski keduanya mengaji Islam melalui bahasa Arab dan pernah belajar di Arab 
(Mereka ke Mekkah tahun 1932, KHA. Wahid Hasyim kembali ke Indonesia tahun 1933 
dan KHM. Ilyas tahun 1935) dan menguasai bahasa al-Quran seperti pemilik bahasa 
itu sendiri, namun sedikit pun mereka tidak kehilangan ke-Indonesia- an mereka. 
Bahkan, ketika mereka berada di luar negeri, perhatian mereka terhadap 
Indonesia dan bangsanya sama sekali tidak mengendur.

Bandingkan dengan mereka yang sebentar saja keluar negeri–bahasa negeri 
singgahan mereka pun belum sebenarnya mereka kuasai--tiba- tiba sikap mereka 
seperti orang asing di negeri sendiri. Padahal, mereka dibesarkan dan masih 
hidup di tanah air mereka. Masih makan hasil bumi dan minum air tanah airnya 
sendiri.
 
Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.
   


      

Kirim email ke