Hebat ya, orang kristen pun minta nasihat kepada beliau. Islam memang Rahmatan 
lil Alamin.

--- Pada Jum, 13/8/10, Raflis amin <aminraflis2...@yahoo.com> menulis:

Dari: Raflis amin <aminraflis2...@yahoo.com>
Judul: Re: [keluarga-islam] Kang Said: Ramadhan dan Kesadaran Pluralis
Kepada: keluarga-islam@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 13 Agustus, 2010, 10:47 AM







 



  


    
      
      
      Bapak Ananto :
Mungkin informasi ini berguna bagi bapak. Dengan diterimanya informasi ini maka 
saya harap tidak ada komentar lagi.

Dalam Buku "50 Tokoh Islam Liberal Indonesia" Pengusung Ide Sekularisme, 
Pluralisme dan Liberalisme Agama Karangan Budi Handrianto dengan kata pengantar 
oleh Adian Husaini, MA,  Penerbit HUJJAH Press, cetakan Pertama , Mei 2007. 
halaman 159 - 163, Said Aqiel merupakan seniornya dari 15 orang para senior 
tokoh Pluralis.

Dalam buku tersebut didalam biodata : Kegiatan lain antara lain : Penasehat 
Angkatan Muda Kristen Republik Indonesia.
Mudah-mudahan bapak Ananto memiliki buku
 tersebut.

Wassalam.


Raflis Amin. 




From: Ananto <pratikno.ana...@gmail.com>
To: keluarga-islam@yahoogroups.com
Sent: Fri, August 13, 2010 7:40:23 AM
Subject: Re: [keluarga-islam] Kang Said: Ramadhan dan Kesadaran Pluralis








 



    
      
      
      mas raflis,
 
pemikiran kang said mungkin tidak sama dengan pemikiran sampeyan...
banyak kasus, si A tidak sepaham dengan si B... nyantai saja, jangan menuduh yg 
tidak2...
 
salam hangat,
ananto

 
On 8/12/10, Raflis amin <aminraflis2...@yahoo.com> wrote:

  





Tulisan ini pendek, tapi mengundang beberapa pertanyaan yang mengelitik.

1. Kenapa Ramadhan dikaitkan dengan kesadaran Pluralis, seolah-olah ummat Islam 
yang berpuasa cukup diam saja walaupun disekelilingnya muncul kemaksiatan 
dengan menyodorkan istilah win-win solution. Ummat Islam disuruh untuk 
menghormati kelompok lain, walaupun kelompok lain tersebut tidak menghormati 
Ummat  Islam yang menjalankan ibadah puasa.


2. Dasar pemikiran bertitik tolak dari S2:183 : kama kutibal 'alaa alladzina 
min qablikum (diwajibkan atas ummat2 sebelum kamu)
    Sehingga Said Aqiel mangatakan :Dari tilikan sejarah ini penting hendaknya 
dikemukakan bahwa kebiasaan puasa menyimpan makna dan hikmah perlunya kesadaran 
atas "PLURALIS".   PUASA BUKANLAH ORISINIL BERASAL DARI  ISLAM. Kalau dilihat 
dari penggalan ayat diatas mungkin pendapat ini benar. Tapi dia lupa awal ayat 
ini diawali dengan "YAA AYYUAHAL LADZI NA AMANUU". Memang agama yang diturunkan 
Allah kepada Rasulullan SAW dinamakan Agama Islam yang menge - Esa - kan Allah 
SWT. Agama dari Nabi Adam sampai 

kepada Rasulullan SAW adalah agama TAUHID. Jadi kalau ada musyrikin Makkah 
puasa bukan didasari kepada Iman kepada Allah tidak bisa disamakan dengan puasa 
yang Ummat Islam kerjakan dibulan Ramadhan.

Said Aqil menambahkan "Itulah, Al Qur'an menambah dengan kata-kata "sebagaimana 
diwajibkan atas orang-orang sebelumnya". Jelas hal ini menekankan pada ummat 
Islam pentingnya Pluralis. Kerenda hatian, saling menghormati dan kasih sayang 
menjadi pondasi bagi prosesi puasa."

Allah SWT bukan menambahkannya tapi ayat itu merupakan ketetapan Allah SWT.
Mungkin ada pertanyaan untuk Said Aqiel: Dinegara mana didunia ini yang paling 
toleran kepada kelompok minoritas selain Islam jangan dibalik sudut pandangnya.


Mungkin Said Aqiel menulis tulisan ini agar Ummat Islam diam aja dengan 
kemaksiatan yang ada disekelilingnya sebagai manifestasi toleransi Islam. 
Entahhhhlahhhh.    Tapi tulisan ini mendangkalan untuk menegakkan kebenaran.



Salam,















From: Ananto <pratikno.ana...@gmail.com>
Sent: Wed, August 11, 2010 7:52:05 AM

Subject: [keluarga-islam] Kang Said: Ramadhan dan Kesadaran Pluralis


  


Ramadhan dan Kesadaran Pluralis
Selasa, 10 Agustus 2010 | 04:10 WIB
Oleh: Said Aqiel Siradj
 
Ramadan adalah bulan suci umat Islam yang penuh rahmat dan pengampunan. Di 
dalamnya tersimpuh ajaran adiluhung untuk melatih diri (riyadhah al-nafs) dan 
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs).

 
Puasa bukanlah sekadar ”ritual kosong”, melainkan bermakna secara spiritual, 
psikologis, humanis, dan sosial. Saking mendalamnya ”bobot” puasa, 
sampai-sampai diwartakan bahwa ibadah puasa menjadi lelaku yang ”sangat privat”.

 
Artinya, orang yang berpuasa mempunyai ikatan atau tanggung jawab langsung 
dengan Allah. Berbeda dengan ibadah lainnya seperti shalat yang secara lahiriah 
mudah dikenali, orang yang berpuasa akan sulit diketahui dari lahiriahnya.

 
Kesadaran pluralis
 
Kewajiban puasa dirujuk oleh dalil naqli, yaitu pada Surah Al-Baqarah Ayat 183. 
Pada ayat tersebut disebutkan bahwa berpuasa diwajibkan sebagaimana diwajibkan 
atas orang-orang sebelumnya (kama kutiba ’ala alladzina min qablikum).

 
Petunjuk dalam ayat ini, di samping tentang hukum wajib puasa Ramadhan, lebih 
dari itu adalah untuk mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa kewajiban 
berpuasa mempunyai ”pertalian sejarah” dengan umat sebelumnya.

 
Sejarah membuktikan bahwa setiap peradaban selalu menggenggam perintah bagi 
kaumnya untuk berpuasa. Pada masa jahiliah Arab pra-Islam, orang Quraisy biasa 
berpuasa pada hari Assyura (Muharam). Umat Yahudi juga rutin menjalankan puasa 
pada bulan itu. Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad, selalu berpuasa pada bulan 
Ramadhan. Umat Nasrani dan umat beragama lainnya ataupun kelompok kepercayaan 
juga punya tradisi berpuasa.

 
Dari tilikan sejarah ini, yang penting hendak dikemukakan adalah bahwa 
kebiasaan berpuasa menyimpan makna dan hikmah perlunya kesadaran atas 
pluralitas. Puasa bukanlah sesuatu yang orisinal berasal dari Islam. Islam 
sebagai agama penyempurna sekadar memberikan ”sentuhan lain”. Misalnya, kalau 
umat Nasrani pada waktu berpuasa melarang menggauli istrinya pada malam hari, 
Islam membolehkan. Begitu juga bersangkut dengan anjuran sahur.

 
Itulah, Al Quran menambahi dengan kata-kata ”sebagaimana diwajibkan atas 
orang-orang sebelumnya”. Jelas hal ini untuk menekankan pada umat Islam 
pentingnya kesadaran pluralis. Kerendahhatian, saling menghormati, dan kasih 
sayang menjadi fondasi bagi prosesi puasa.

 
Kebajikan public
 
Kesadaran untuk senantiasa menghargai pluralitas tentu saja tidak cuma 
bertalian dengan eksternalitas adanya kebiasaan puasa pada umat beragama 
lainnya. Pluralitas juga seharusnya dipahami dalam bingkai kejamakan perilaku 
masyarakat. Secara internal, umat Islam sendiri secara quick count berapa 
persen yang menjalankan puasa.

 
Belum lagi kalau ditelisik dalam konteks ”penghayatan” menjalaninya. Terlebih, 
jikalau menggunakan istilah sufistik yang menyebutkan bahwa orang berpuasa 
mempunyai tiga tingkatan, yaitu umum, khusus, dan paling khusus. Kacamata 
sufistik ini menyodorkan tekanan pada privatisasi puasa.

 
Beranjak dari sini, sebenarnya umat Islam perlu makin menyadari bahwa perintah 
berpuasa lebih terfokus pada penataan mental-spiritual individu. Dari 
pengolahan individual ini akan memancarkan insan-insan yang berkepribadian 
kuat, tidak mudah goyah oleh rayuan, berkarakter humanis dan sosial dengan kian 
bersemangat untuk menolong sesama, solidaritas, dan kebajikan publik. 
Terwujudnya tatanan sosial yang tertib perlu melalui penataan secara individual 
terlebih dahulu.

 
Sebab itulah, di dalam Islam sangat dipentingkan adanya pelatihan diri pribadi 
sebelum melakukan tindakan publik yang positif. Dalam Al Quran tegas 
dinyatakan: ”Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Ayat ini 
menunjukkan pentingnya penataan diri untuk menjadi pribadi yang berakhlak 
luhur. Kewajiban berdakwah kepada orang harus berangkat dari penyempurnaan 
akhlak pribadi dan dilakukan secara bijaksana.

 
Nah, jangan sampai pada bulan Ramadhan tahun ini terjadi kekerasan, baik 
antarsesama Muslim. Kesucian Ramadhan menjadi ternodai. Bentuk penodaan ini 
tidak lantas hanya dihujamkan pada masih maraknya kemaksiatan pada bulan suci 
ini. Akan tetapi, bentuk-bentuk main hakim sendiri yang kemudian menimbulkan 
respons kekerasan dari mereka yang merasa dirugikan akibat penggerebekan, itu 
juga merupakan penodaan.

 
Tindakan penggerebekan menjadi kewajiban pemerintah lewat aparat kepolisian, 
dan itu sudah cukup menjadi sebab hukum (’illah) bagi umat Islam untuk tidak 
bertindak serampangan. Pemerintah telah merespons tuntutan umat Islam untuk 
membersihkan tempat maksiat di bulan Ramadhan.

 
Kalau toh masih terjadi penyimpangan, tentunya tidak lantas dijadikan dalih 
untuk bertindak main hakim sendiri. Indonesia adalah negara demokratis. 
Simbol-simbol keislaman diberikan keleluasaan oleh pemerintah untuk 
ditampilkan. Kebebasan beribadah mendapatkan tempat luas. Ini jadi argumentasi 
yang sahih untuk menaati rule of law yang berlaku.

 
Islam adalah agama empiris. Maksudnya, Islam senantiasa memerhatikan dinamika 
kenyataan di masyarakat (ma’rifah ahwal al-nas). Adanya kemaksiatan, misalnya, 
tidak mesti dihakimi sebagai bentuk penistaan yang tiada ampun.

 
Yang bijak—mengikuti rumusan hukum Wahbah Zuhailli—adalah hukum asalnya 
(al-ahkam al-ashliyah) saja, yakni puasa yang dilaksanakan. Sedangkan 
penggerebekan terhadap lokasi-lokasi kemaksiatan—apalagi melalui 
pemaksaan—karena hanya hukum pendukung (al-ahkam al-muayyidah) , tidak mesti 
diterapkan.

 
Hukum pendukung sifatnya kontekstual. Yang terpenting terciptanya win-win 
solution, tercapainya pemeliharaan agama dan kemaslahatan masyarakat (haratsah 
al-din wa al-siyasah al-dunya).

 
Tujuan utama syariat Islam (maqashid al-syari’ah) adalah terwujudnya kebajikan 
umum (mashalih al-’ammah). Pertarungan antara maslahat dan mafsadah dalam 
kehidupan nyata telah diberi perimbangan (muwazanah) yang bijak dalam hukum 
Islam. Seperti kaidah fikih: ”Bahaya dihapus sesuai kemungkinan yang ada”. 
Artinya, ikhtiar menghapus bahaya harus selalu berpijak pada etika dan estetika 
sosial.

 
Said Aqiel Siradj Ketua Umum PBNU

-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,

mengasihi sesama..." 





-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..." 


    
     








      

    
     

    
    


 



  





Kirim email ke