*Wahyu Ilahi terhadap Hamba-HambaNya*


Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa, sahabat Harist bin Hisyam
Radhiyallâhu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasul, bagaimana cara datangnya wahyu kepadamu?”



Nabi menjawab, “Kadang wahyu tersebut sampai kepadaku seperti bunyi lonceng
dan cara turun wahyu sedemikian ini terasa paling berat bagiku, kemudian
aku merasa ketakutan, dan sungguh aku dapat menghafal apa yang telah
disampaikan malaikat kepadaku. Dan kadangkala malaikat mengubah wujudnya
menjadi sosok seorang laki-laki, kemudian berucap kepadaku, sehingga aku
hafal apa yang ia katakan.”



Wahyu merupakan hal yang sangat sakral, tidak sembarang orang menerimanya,
makhluk yang dipilih untuk menerima wahyu berarti makhluk yang luar biasa,
diantaranya adalah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.



Turunnya wahyu kepada sang Baginda Rasulullah melalui bermacam-macam cara.
Kadang melalui mimpi, kadang juga datang kepada beliau dalam keadaan
terjaga.



Nabi kita Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika wahyu turun,
mengalami semacam kepayahan, keningnya bercucuran meskipun saat itu
kondisinya sangatlah dingin. Aisyah berkata, “Sungguh aku melihat wahyu
diturunkan kepadanya pada waktu sangat dingin sehingga mengakibatkan Nabi
ketakutan dan keningnya bercucuran keringat.” (H. al-Bukhari).



Rawi-Rawi Hadis



Perawi Hadis yang terlibat dalam periwayatan hadis ini sebanyak enam rawi,
yaitu:

1) Abdullah bin Yusuf al-Mishriy at-Tinnisiy1), 2) al-Imam Malik2), 3) Abul
Mundzir, Hisyam bin Urwah bin az-Zubair bin al-Awam al-Qurasyi al-Asadi, 4)
Abu Abdillah, Urwah yang tak lain adalah Ayah Shahabat Hisyam (urutan kedua
perawi Hadis ini), 5) Ummul Mukminin Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq
Radhiyallâhu ‘anhu.3), 6) Al-Harist bin Hisam bin al-Mughirah bin Abdillah
bin Makhzum4), saudara kandung Abu Jahal.



Untuk kapasitas dan kwalitas Hadis di atas, baik yang berkenaan dengan para
perawinya atau yang berkenaan dengan matannya tidak perlu dipermasalahkan,
sebab Hadis ini sudah diteliti oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dan
keduanya mencantumkan Hadis tersebut dalam karyanya Shahih al-Bukhari dan
Shahih Muslim. Dan Ulama sudah sepakat dan mengamini kwalitas dan tingkat
akurasi kedua kitab Shahih tersebut.



Wahyu ataukah Ilham?



Wahyu adalah sebuah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada Nabi-Nya
secara samar atau tersembunyi. Wahyu menurut istilah syariat adalah
penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang ditujukan kepada Nabi-nabiNya
atas suatu hal, adakalanya berupa Kalam, Risalah via malaikat, dan lain
sebagainya, baik ketika tidur atau terjaga. Kadang kala kata “wahyu” ini
diartikan sebagai barang (materi) yang diwahyukan. Arti sedemikian ini bila
lihat dengan kacamata ilmu Balaghah merupakan bagian dari sastra Arab yang
berupa bentuk kata mashdar (pekerjaan/proses). Tapi yang dimaksud adalah
maf’ûl (obyek) atau sesuatu yang diwahyukan. Jadi kata “wahyu” berarti
sesuatu yang diwahyukan kepada rasul-Nya. Hal ini mencakup al-Qur’an dan
Hadis sebagaimana dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya5):
“Ucapan (Muhammad) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS
an-Najm [35]: 04) Kata “wahyu” memiliki beberapa pengertian serta bentuk
tergantung dengan kalimat apa kata tesebut dikaitkan. Jika kata wahyu
dikaitkan atau disandingkan dengan kata “Nabi” atau “Anbiya’” (para nabi),
maka mempunyai tiga bentuk6):



Pertama, wahyu yang ditransfer kepada nabi-Nya yang berupa kalam qadîm
seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ‘Alaihissalâm di Bukit Tursina
(Gunung Sina). Kedua, wahyu yang tersampaikan kepada nabi melalui perantara
malaikat, seperti dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya,
“…atau mengutus seorang utusan (malaikat)..” (QS asy-Syûrâ [42]: 51). Dan
Ketiga, wahyu menghembus ke dalam hati Nabi, sesuai dengan Hadis Nabi :
“Innar-Rûh al-Quddûs nafatsa fî rau‘î ay nafsî”. Artinya, “Sesungguhnya
malaikat jibril meniupkan pada hatiku.”



Dalam Hadis di atas, kata “rau’î” ditafsiri dengan kata “nafsi” yang
artinya hatiku. Menurut sebagian pendapat bentuk wahyu yang ketiga ini juga
dialami oleh Nabi Daud ‘Alaihissalâm.



Lain halnya bilamana kata “wahyu” disandingkan dengan kata selain kata
“Anbiya’” maka kata wahyu tersebut mempunyai arti ilham. Seperti wahyu
Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada lebahdalam firman Allah yang artinya, “Dan
tuhanmu mewahyukan pada lebah…” (QS an-Nahl [16]: 68)7)



Bentuk Turunnya Wahyu



Imam as-Suhaili memaparkan dengan jelas bahwa kata “wahyu” mempunyai tujuh
bentuk, yaitu:



Pertama, mimpi (manâm) seperti yang diriwayatkan Aisyah yang artinya,
“Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur…”
(HR al-Bukhari)



Kedua, kedatangan wahyu seperti bunyi sebuah lonceng, seperti dalam Hadis
di atas. Ulama berpendapat bahwa cara turunnya wahyu yang sedemikian
mempunyai hikmah yang tersimpan, yaitu menarik dan memfokuskan perhatian
Nabi dari hal-hal lain.8)



Ketiga, datangnya wahyu merasuk ke dalam hati Nabi. Bentuk ini sejalan
dengan pembagian wahyu yang ketiga.



Keempat, malaikat menjelma menjadi sesosok manusia. Seperti Hadis di atas.
Pernah suatu ketika malaikat menjelma menjadi Sahabat Dihyah bin Khalifah
al-Kalbi. Sahabat Dihyah adalah Sahabat yang paling tampan di antara
sahabat-sahabat yang lain. Dengan alasan itu pula malaikat yang menjelma
sahabat Dihyah memilih untuk menutupi wajahnya dengan sehelai kain supaya
terhindar dari ketertarikan kaum Hawa.9)



Kelima, Malaikat Jibril memperlihatkan sosok seperti wujud aslinya dengan
perlengkapan sayap yang berjumlah 600 dan menyajikan barang yang dianggap
sangat berharga di kalangan manusia, yaitu sebuah lu’lu’ (permata) dan
Yaqut.



Keenam, Allah Subhânahu wa ta‘âlâ memperdengarkan suara dari belakang
hijâb. Kejadian ini sama persis yang dialami Nabi Musa ‘Alaihissalâm di
sebuah Bukit Tursina (Gunung Sinai). Allah Subhânahu wa ta‘âlâ berfirman
yang artinya, “…Dan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ telah bebicara kepada Nabi
Musa ‘Alaihissalâm dengan langsung” (QS an-Nisa’ [04]: 164). Dan yang
dialami Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika malam Isrâ’,
firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau dari belakang tabir.”
(QS asy-Syûrâ [42]: 51)



Wahyu turun kepada Rasulullah baik beliau dalam keadaaan terbangun, seperti
dalam Hadis yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Kemudian malaikat
datang kepadaku dan berkata, ‘Bacalah!’”, ataupun pada waktu Nabi sedang
dalam keadaan tertidur seperti dalam Hadis yang juga diriwayatkan oleh
Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada
waktu Nabi tertidur”.



Ketujuh, wahyu yang disampaikan melalui malaikat Israfil. Yang dimaksud
wahyu di sini bukanlah al-Qur’an. Karena malaikat Israfil menemani Nabi
semenjak diangkat menjadi Nabi selama tiga tahun, sebelum diangkat menjadi
Rasul. Sedangkan al-Qur’an sepenuhnya diturunkan melalui perantara Jibril
‘Alaihissalâm.10)



Kesimpulan



Kedua Hadis di atas menunjukkan kepada kita salah satu bentuk turunnya
wahyu yang diterima Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dari kedua
Hadis tersebut dapat kita mengerti bahwa menerima wahyu bukanlah hal yang
gampang dan terasa ringan. Dengan gamblang Nabi menceritakan bahwa rasanya
sangat berat dan sakit.



Dan yang perlu diperhatikan dalam redaksi Hadis di atas adalahbahwasanya
pertanyaan Sahabat Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu yang tertera dalam Hadis di
atas murni bertujuan untuk ketenangan hati, serta bukanlah sebuah wujud
dari keingkaran sahabat Nabi.11)



Catatan akhir:

1.     Dikenal dengan at-Tinnisiy karena mukim di Tinnis, wafat tahun 218
H. Tahdzibul-Kamal X/654. disepakati kredibilitasnya sebaimana komentar
Imam al-Kholiliy, Tahdzibut-Tahdzib 6/80

2.     Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Malik bin Abi Amir al-Ashbikhiy al-
Madaniy. Lahir 95 H. salah satu golongan Muktsirin, meriyaytkan meriwyatkan
sebayak 2630 Hadis, wafat 179 H. pada usia 94

3.     Lahir selisih empat atau lima tahun setelah kenabian, salah satu
golongan Muktsirin, meriwyatkan sebanyak 2210 Hadis. Wafat malam Selasa
tangaal 17 Ramadan pada tahun 58 H

4.     Hadir dalam peperangan Badar sesbagai musuh orang Islam (bersatatus
Kafir), kemudian masuk Islam pada hari penaklukan Makah, beliau mempunyai
32 anak

5.     Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy,
Darulfikr,1994, I/9

6.     Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ‘ilmiyah ,2001, I/79

7.     Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi , Tafsir al-Baghawi,
Dar Thayyibah, 1997, VII/400

8.     Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarhu an-Nawawiy ‘ala al-Muslim, Dar
kotob Ilmiyah ,2000, viii/46

9.     Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy,
Darulfikr,1994, I/ 09

10.  Lihat ‘Umdatul-Qârî Syarh Shahîhul-Bukhari, 2001, Dar Kotob Ilmiyah,
vol.I hlm.79.

11.  Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ilmiyah, I/88



Sumber: Pesantren Sidogiri – Pasuruan



-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke