sayang sebentar lagi tinggal kenangan ... dengan keangkuhan dan kekurangan
para pemimpinnya yang tidak rela BOS besarnya menginterupsi atau mengkritik
kondisi KRL EKONOMI, maka mereka sahabat2ku HOLEC, RHEOS, Toshiba dll akan
segera dienyahkan dari rel jabodetabek.. karena dianggap sebagai biang
keladi dan akar masalah diper KRL an jabodetabek,.. ya allah malang nian
nasib hambamu... kaum proletar di negeri ini.....dimana letak keadilan
itu.... tunjukan pada kami ya Robb...


Mutiara Kemurahan Hati di KRL
Oleh : Achmad Siddik Thoha

” Jalur delapan, kereta Jurusan Bogor - Jakarta Kota siap diberangkatkan
pukul 0.7.35, Jalur tujuh kereta jurusan Jakarta Kota – Bogor di stasiun
Cilebut.”

Pengumuman petugas Stasiun KRL Jabodetabek (Kereta Rangkaian Listrik
Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi) membahana menyebarkan
pemberitahuan rutin tanpa jenuh. Penumpang mulai berjejal memasuki kotak
besi dengan tempat duduk berhadapan disisi kanan dan kirinya. Tak ada
kekacauan yang menghebohkan, tak terlihat rebutan yang membuat panik, tak
ditemui keributan karena antrian, semua berjalan begitu saja. Hambar rasa
dan makna.

Penumpang KRL mewakili struktur sosial masyarakat kota yang serba terburu,
terukur waktunya dengan materi dan sarana mengantar nasib menuju
peruntungannya. Di dalam kotak besi mengular ini, sebagian masyarakat
Jabodetabek sangat tergantung padanya. Biaya yang murah, jalur yang bebas
macet, akses mudah menuju pusat mencari nafkah, pasar menggiurkan pedagang
kecil dan pengantar tak ingkar waktu bagi mahasiswa.

Di dalam KRL pula, keprihatinan negeri ini terwakili. Pelecehan seksual,
judi terselubung, aksi bebas pencopet, penumpang gelap dan pengemis yang
menipu. Anak-anak balita menjadi tumbal orang tuanya sebagai pemancing uang
receh ke dalam kantong plastik kecil. Penyandang cacat yang dengan manjanya
menyeret tubuhnya yang tinggal setengah badan dan yang buta dengan lihai
menelusup himpitan penumpang dengan kantong plastik berjejal uang receh.
Anak-anak jalanan menjadi bebal dengan apa pun lalu merusak aturan
keselamatan dengan naik ke atap kereta tempat kabel bertegangan 2500 volt
terbentang telanjang.

Kereta mulai merengsek pelan dari Bogor. Enam orang penumpang, sepasang
suami istri dan empat anak kecil. Sang ayah menggendong anak berusia kurang
dua tahun, Sang ibu sibuk mengatur posisi tiga anak lainnya. Mereka harus
berdiri karena kalah cepat dengan penumpang ”tetap”. Stasiun Cilebut,
pemberhentian pertama KRL dari Bogor, penumpang makin berjubel. Stasiun
berikutnya, Bojong gede. Kotak besi berwarna perak ini tak kuasa lagi
menampung manusia di dalamnya. Beberapa tubuh mulai menyeruak di pintu dan
sebagian naik ke atap. Sementara sang ayah, ibu dan empat anak ini mulai
terhimpit. Sang balita mulai merengek, tiga anak lain mulai letih berdiri
dan kepanasan

Spontan, suasana ini menyentak penumpang lain. Seorang kakek melepas tempat
duduknya buat sang Ibu dan seorang anaknya. Tak lama berselang suasana agak
gaduh.

”Hei, kamu berdiri, ini ada anak bayi, kasih dong duduk.” Seorang pria
berwajah sangar berempati pada sang ayah yang berkeringat sambil
menenangkan rengekan anak balitanya yang kepanasan.

Pria yang duduk dengan muka seram masih enggan, karena dia tertidur saat
dibangunkan orang-orang. Akhirnya pria itu beranjak, mengakhiri mimpinya di
tempat duduk.

”Minggir pak, Bapak ini mau duduk.” Beberapa orang meminta orang memberi
jalan buat sang Ayah dan baita. Dua anak kecil lainnya mengikuti dan duduk
berdesakan beserta ayahnya disamping penumpang lain yang duduk, semuanya
wanita dan anak-anak.

Akhirnya keluarga muda itu bisa menikmati perjalanannya dengan sedikit
nyaman. Tak senyaman kursi mobil pejabat memang, tapi hatinya nyaman karena
orang-orang masih berempati pada yang lemah. Hatinya juga tenang karena di
KRL, norma bahwa yang lemah harus dibantu dan yang kuat harus mengalah
dijaga keberlangsungannya.
Hatinya terharu sebab orang-orang ’kecil’ yang diangap sangar, kasar,
angker menjadi penjaga norma di KRL. Merekalah yang mau mengalah untuk yang
lemah. Merekalah yang mau mengingatkan yang tidak pantas duduk untuk
mengalah. Merekalah yang sangat sensitif dengan anak balita kepanasan, ibu
hamil yang keletihan dan orang tua yang kepayahan. Ada kemurahan hati di
antara egoisme dan perlombaan mengejar materi. Ada pengorbanan kecil yang
bermakna luas dan berumur panjang. Ada perasaan malu berbuat tidak pantas.

Stasiun pasar Minggu menghentikan laju KRL. Sang Ayah lalu memegang tangan
pria sangar yang memberikan tempat duduknya.

”Terima kasih, Pak.” Sang ayah melempar senyum yang sangat bermakna pada
pria itu. KRL terus melaju mengangkut manusia menuju cita-citanya.

Dengan segala cap buruknya, KRL masih menyimpan mutiara. Mutiara itu
bersinar di kegelapan perilaku manusia kota yang egois dan materialistik.
Mutiara itu menampilkan keindahannya dikubangan pelanggar norma. Mutiara
itu akan senantiasa ditemukan untuk menentramkan kaum lemah. Mutiara itu
pelajaran hidup bagi orang-orang kalangan atas yang tak mampu menjaga
moralitas dan integritasnya. Mutiara itu bernama kemurahan hati.

Sahabat, kadang tampilan fisik menipu kita. Orang dengan penampilan garang
dan apa adanya dianggap tak patuh norma dan sedikit bermoral. Sementara,
kalangan terpelajar dan berstatus sosial tinggi diagggap sebagai pengusung
dan penjaga moral. Kemurahan hati lahir dari keinginan kuat untuk memberi
kebahagiaan pada orang lain. Orang yang murah hati akan memberikan dirinya
dan mengorbankan keinginan sendiri. Kemurahan hati tak harus ditunjukkan
dengan sedekah jutaan rupiah, pentas amal yang gemerlap dan donasi yang
terpampang. Kemurahan hati bisa bermula dari hal-hal kecil berbentuk
senyuman, kata-kata baik atau sekedar mempersilahkan duduk pada orang yang
membutuhkannya.


copy paste dari
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/01/11/mutiara-kemurahan-hati-di-krl/

-- 

::: Anda butuh Konveksi & CMT :::
          Kemeja & Celana
             Jeans & Bahan
     0 8 1 1 9 1 7 0 3 0
  *     ASG Garment**     *

Reply via email to