KUMAN DISEBERANG LAUTAN TAMPAK, GAJAH DIPELUPUK MATA TIDAK TAMPAK.
KALAU BEGINI SULIT UNTUK MEMPERBAIKI DIRI, KARENA KESALAHAN ORANG LAIN SAJA 
YANG KELIHATAN.



________________________________
 From: Ananto <pratikno.ana...@gmail.com>
To: 
Sent: Friday, July 13, 2012 9:36 AM
Subject: [keluarga-islam] BamSoet: Cemas Melihat Kejahatan Pajak dan Cukai
 

  
---------- Forwarded message ----------
From: <bambangsoesa...@yahoo.com>
Date: 2012/7/10
Subject: OPINI: Kejahatan Pajak


Cemas Melihat Kejahatan Pajak dan Cukai
 
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
 
KEJAHATAN terhadap negara yang dilakukan oknum pegawai negeri sipil (PNS) di 
Kementerian Keuangan saat ini sudah sangat mencemaskan. Rakyat kecewa karena 
remunerasi sekali pun gagal memperbaiki akhlak dan moral mereka. Maka, menjadi 
kewajiban Menteri Keuangan untuk memperkecil celah pencurian di pos-pos 
penerimaan negara.
 
Duapuluhtujuh (27) tahun lalu, Departemen Keuangan (kini Kementerian Keuangan) 
menerima sanksi sangat ekstrim, yakni mosi tidak percaya dari Presiden Republik 
Indonesia.  Pada pekan pertama April 1985, Presiden Soeharto menerbitkan 
Instruksi Presiden (Inpres) No.4/1985 untuk melucuti hampir semua wewenang 
Direktorat Jenderal Bea Cukai (BC) Departemen Keuangan. Inpres ini 
terang-terangan menunjukan ketidakpercayaan Presiden RI terhadap Ditjen Bea 
Cukai sebagai administrator kepabeanan di republik tercinta ini. Ditjen BC 
dituduh sebagai institusi paling korup dengan birokrasi rumit, yang menyebabkan 
terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
 
Fungsi dan tugas kepabeanan Ditjen BC kemudian dipercayakan dan diserahkan 
kepada SGS (Société Générale de Surveillance), surveyor dari Swiss yang seabad 
lebih berpengalaman mengawasi lalu lintas ekspor impor. Jelas bahwa penugasan 
SGS tidak gratis, sebab pemerintah harus membayar ratusan miliar rupiah per 
tahunnya kepada perusahaan yang berpusat di Jenewa itu. Agar Ditjen BC tidak 
menjadi institusi yang menganggur, pemerintah tetap memberi pekerjaan ala 
kadarnya, berupa layanan impor senjata, peluru dan perlengkapan ABRI (kini 
TNI), komoditi dagang bernilai kurang dari lima ribu dolar AS. minyak bumi 
mentah, barang pindahan, permata, barang kesenian, dan logam mulia.
 
Sementara pegawai Ditjen BC meradang, komunitas ekspor-impor bersorak sorai 
menyambut perberlakuan Inpres No.4/1985. Sebelum Inpres itu diterbitkan, 
mengurus dokumen ekspor-impor di Ditjen BC sangat rumit dan menghabiskan biaya 
yang tidak sedikit. Anda harus melintasi lebih dari 50 meja dan setiap meja 
yang disinggahi adalah biaya.
 
Saat itu, oknum Ditjen BC digambarkan sebagai PNS yang ugal-ugalan dalam 
menjalankan tugas dan wewenangnya. Inpres No.4/1985 diterbitkan untuk 
mengoreksi perilaku ugal-ugalan itu. Bagi sebagian orang, koreksi itu memang 
sangat menyakitkan. Tetapi, inisiatif perbaikan saat itu harus digagas, dan 
Presiden Soeharto dengan berani menandatangani dan memberlakukan Inpres yang 
sangat ekstrim itu. Baru pada April 1997, fungsi Ditjen BC dipulihkan lagi 
bersamaan dengan lahirnya undang-undang No.10/1995 tentang kepabeanan. Jadi, 
praktis selama 12 tahun Ditjen BC menjalani sanksi dinonaktifkan.
 
Ugal-Ugalan Lagi
 
Saat ini, kejahatan di sektor pajak dan kepabeanan pun mulai terlihat 
ugal-ugalan. Namun, tidak berarti semua PNS pada Ditjen Pajak dan Ditjen BC 
berperilaku buruk. Sebaliknya, sebagian besar dari mereka tetaplah 
pribadi-pribadi terpuji yang bekerja keras mengabdi negara. Itu sebabnya, 
kontribusi pajak dan cukai dari tahun-tahun terus dinaikan, dan kerja keras 
mereka berhasil memenuhi target yang dipatok Anggaran Pendapatan dan Belanja 
negara (APBN). Publik juga mencatat bahwa kualitas pelayanan aparatur pajak dan 
cukai terus membaik dari waktu ke waktu.
 
Namun, sudah terbukti bahwa prestasi gemilang institusi pajak dan cukai terlalu 
sering dicoreng oleh perilaku tak terpuji oknum-oknum pada institusi mereka 
sendiri. Situasinya menjadi semakin tidak mengenakan bagi jajaran Ditjen Pajak 
maupun Ditjen BC, karena publik menangkap kesan bahwa kejahatan terhadap negara 
yang dilakukan oknum PNS di Ditjen Pajak dan Ditjen BC semakin ugal-ugalan. 
Oknum-oknum itu terkesan tidak jera.
 
Masyarakat hanya bisa geleng-geleng kepala menyimak pemberitaan tentang 
rangkaian kejahatan terhadap negara yang dilakukan oknum PNS di Kemenkeu dalam 
tahun-tahun belakangan ini. Pengungkapan kasusnya silih berganti. Dari kasus 
Bahasyim Assifie berlanjut ke kasus Gayus Tambunan. Usai kasus Gayus, terungkap 
kasus Dhana Wydiatmaka. Belum tuntas kasus Dhana, KPK mengungkap kasus Tommy  
Hindratno, serta menangkap dua oknum pegawai Ditjen BC yang diduga menerima 
suap untuk mengeluarkan barang  sitaan dari gudang Bandara Soekarno-Hatta.
 
Itu kasus-kasus yang sudah terungkap. Orang dalam di Ditjen Pajak maupun Ditjen 
Bea Cukai mensiyalir masih banyak kasus yang belum diungkap penegak hukum. 
Misalnya, kasus pajak Paulus Tumewu yang belum jelas penanganannya, serta kasus 
restitusi pajak Rp 7,2 trilyun yang diminta PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) 
dan PT Multimas Nabati Asahan (MNA) milik Wilmar Group.
 
Sementara kejahatan di sektor kepabeanan ditandai dengan tingginya gelombang 
penyelundupan. Penyelundupan produk yang mengandung racun, produk kategori 
sampah, produk manufaktur kualitas rendah hingga narkotika dimasukan ke pasar 
dalam negeri nyaris tanpa hambatan. Di sisi lain, keberhasilan aparatur BC 
menggagalkan penyelundupan tetap harus diapresiasi. Tetapi, harus juga diakui 
kalau intensitas arus penyelundupan aneka barang ke pasar dalam negeri tetap 
tinggi.
 
Dalam sebuah kesempatan belum lama ini, Wakil Menteri Perdagangan Bayu 
Krisnamurthi mengatakan, penyelundupan bukan masalah yang ringan untuk diatasi. 
Penyelundupan bukan hal yang baru dan sudah mengakar di Indonesia. Memperkuat 
pernyataan itu, sebuah asosiasi dagang mengungkapkan bahwa di pasar dalam 
negeri saat ini, beredar sejumlah produk impor selundupan yang tidak memenuhi 
persyaratan, meliputi produk makanan minuman, produk elektronik, hortikultura, 
tekstil dan kosmetik. Aneka produk ini didatangkan dari China, India, Prancis 
dan Malaysia.
 
Maraknya penyelundupan akhir-akhir ini menimbulkan persepsi yang buruk bagi 
aparat Ditjrn BC. Diasumsikan bahwa sebelum Inpres No.4/1985  diberlakukan 27 
tahun lalu, oknum Ditjen BC memburu uang sogok atau pungutan liar. Kini, oknum 
Ditjen BC dicurigai ‘ngobyek’ dengan cara membuka akses untuk penyelundupan. 
Dampak kejahatan ini sangat serius. Tidak hanya ‘membunuh produk dalam negeri’ 
tetapi juga menimbulkan kerugian negara yang sangat besar.
 
Kejahatan oleh oknum PNS di sektor pajak dan kepabeanan sudah sangat 
mencemaskan. Karena itu, Menteri Keuangan tidak cukup hanya prihatin 
menyaksikan rangkaian kejahatan terhadap negara yang dilakukan oknum PNS di 
kementerian Keuangan (Kemenkeu). Keduanya adalah pos-pos yang mengelola 
pendapatan negara. Dari rangkaian kejahatan itu, publik dengan mudah berasumsi 
bahwa potensi pendapatan negara dari pajak dan cukai jauh lebih besar jika 
ruang bagi oknum PNS melakukan kejahatan bisa diperkecil.
 
Tentu saja, sejarah mosi tidak percaya  terhadap Ditjen BC (Inpres No.4/1985) 
27 tahun lalu itu tidak perlu diulangi. Akan tetapi, aparatur Ditjen Pajak dan 
Ditjen BC harus juga realistis bahwa kepercayaan publik terhadap dua institusi 
yang mengelola pendapatan negara ini terus merosot. Kasus demi kasus 
penyalahgunaan wewenang terus terungkap. Rakyat sangat kecewa karena remunerasi 
yang menghabiskan anggaran sangat besar itu terkesan sama sekali tidak efektif  
memperbaiki akhlak dan moral banyak oknum PNS.
 
Karena itu, harus ada upaya dari pimpinan Kemenkeu mensterilkan pos-pos 
pengelolaan pendapatan negara dari oknum-oknum yang berperilaku korup. 
Diperlukan kemauan dan keberanian melancarkan gerakan sapu bersih terhadap 
oknum PNS dengan perilaku tak terpuji.
 
Selain itu, kecenderungan itu harus diperangi secara konsisten dan tegas. Bagi 
mereka yang terbukti korup dan divonis oleh pengadilan, jatuhkan sanski yang 
seberat-beratnya. Pemerintah bersama penegak hukum harus berani merumuskan 
sanksi hukum dan sanksi sosial yang efektif menumbuhkan efek jera. []
 
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!


-- 

http://harian-oftheday.blogspot.com/
 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

 

Kirim email ke