*Menuju Penyatuan Kriteria Awal Bulan (2-Habis)*

Hisab sebagai Penyempurna Rukyah



Dalam konteks penentuan awal bulan qamariyah, maka yang dimaksudkan dengan
rukyah adalah rukyatulhilal. Rukyah dalam bahasa arab sepatah kata isim
berbentuk masdar dari fi’il يَرَى- رَأَى berarti أَبْصَرَ, melihat dengan
mata kepala. Diartikan melihat dengan mata kepala tentu objek lihat (maf’ul
bih) adalah sesuatu yang tampak.



Contoh QS Al-An’am (6): 76-78



...رَأَى كَوْكَبًا … melihat bintang (a. 76)

…رَأَى اْلقَمَرَ … melihat bulan (a. 77)

…رَأَى الشَّمْسَ … melihat matahari (a. 78)



Contoh dalam Hadits:


اِذَا رََأَيْتُمُ اْلهِلاَلَ apabila kamu sekalian melihat hilal… (HR.
Muslim)



Jadi rukyah yang dikaitkan dengan hilal dalam mafhumul ayat QS. Al-Baqarah
(2):189 dan yang disebut dalam lebih dari 20 hadits adalah “melihat hilal
dengan mata kepala”.



Jelasnya rukyatul hilal adalah sistem penentuan awal bulan Qamariyah,
khususnya awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah
dengan cara melaksanakan pengamatan/observasi hilal di lapangan secara
langsung, baik dengan mata telanjang maupun dengan alat, pada tanggal 29
malam 30 dari bulan yang sedang berjalan. Apabila hilal terlihat, maka
bulan baru telah datang, dan apabila hilal tidak terlihat, maka bulan baru
diawali malam berikutnya (*istikmal*).



Setelah hisab masuk dalam kalangan Islam, maka berkembang pemikiran
terhadap makna rukyah. Sebagian ahli hisab memaknai rukyah dengan makna
melihat dengan pikiran dan melihat dengan hati. Alasannya:



1.     Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat diartikan أدرك / علم, yakni
memahami/melihat dengan akal pikiran (tentang wujudulhilal).

2.     Ra-a (رأى) fi’il dari رؤية dapat dapat diartikan حسِب / ظنّ, yakni
menduga/yakin / berpendapat/melihat dengan hati (tentang wujudul hilal).



Dua makna yang terakhir ini dipegangi oleh sebagian ahli hisab. Sehingga
mereka berpendapat hisab adalah sistem alternatif untuk penentuan awal
bulan qamariyah, khususnya awal bulan Ramadlan, awal Bulan Syawal, dan awal
Bulan Dzulhijjah.



Pendapat sebagian ahli hisab ini perlu dikoreksi karena bertentangan dengan
kaidah bahasa Arab:



1.     Ra-a (رأى) yang mempunyai arti أدرك / علم dan حسِب / ظنّ itu,
masdarnya رَأْيٌ, sedang yang disebut dalam hadits adalah رؤية

2.     Oleh karena itu yang disebut dalam hadits Nabi SAW adalah لرؤيته (karena
melihat penampakan hilal) bukan لرأيه (karena memahami, menduga, meyakini,
berpendapat adanya hilal)

3.     Ra-a (رأى) yang diartikan أدرك / علم menurut kaidah bahasa arab,
maf’ul bih (obyek) nya harus berbentuk abstrak, seperti:



أرءيت الذى يكذب بالدين



“*Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?*” (QS. Al-Mâ’ûn [107]: 1)


Sedangkan ra-a (rukyah) yang disebut dalam hadits, obyeknya nyata secara
fisik yaitu hilal, seperti:

اذا رايتم الهلال فصوموا...

* *

*“Apabila kamu melihat hilal maka berpuasalah…” *(HR. Muslim)



4.     Ra-a (رأى) yang diartikan حسِب / ظنّ, menurut kaidah bahasa arab
mempunyai 2 maf’ul bih (obyek). Contoh:



انهم يرونه بعيدا



“*Sesungguhnya mereka menduga siksaan itu jauh (mustahil)*” (QS. Al-Ma’ârij
[70]: 6), dan



ونره قريبا



“*Sedangkan kami yakin siksaan itu dekat (pasti terjadi).*” (QS. Al-Ma’ârij
[70]:7).

Adapun yang dimaksud ra-a (rukyah) dalam hadits, maf’ul bih (obyek)nya
satu. Contohnya seperti pada hadits nomor 3 dan contoh:



صوموا لرؤيته ...



“..*berpuasalah kalian karena terlihat hilal*…” (HR. Bukhari dan Muslim)



5.     Ahli hisab sering mendukung argumentasinya dengan mengemukakan
kalimat faqdurûlahu yang terdapat dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim
yang diartikan kadarkanlah padanya, maksudnya perkirakanlah. Argumen ini
tidak tepat karena:

a.       Dalam hadits lain riwayat Muslim terdapat ungkapan *faqdurûlahu
tsalatsîna *(فاقدرواله ثلاثين), artinya: “*Maka kadarkan (tentukan) lah
padanya 30 (hari).*” Sesungguhnya hadits ini dapat dijadikan penjelasan
bagi hadits riwayat Bukhari-Muslim tersebut.

b.      *Faqdurû *adalah bentuk amr dari fi’il madli *qadara *dan memiliki
banyak arti: sanggupilah, kuasailah, ukurlah, bandingkanlah, pikirkanlah,
pertimbangkanlah, sediakanlah, persiapkanlah, agungkanlah, muliakanlah,
bagilah, tentukanlah, takdirkanlah, persempitlah, tekanlah, dan masih
banyak arti yang lain. Arti yang demikian banyak ini menjadi sulit untuk
diambil salah satunya ketika dihubungkan dengan tujuan hadits tentang puasa
Ramadlan.



Menurut ahli ushul Kata faqdurû disebut kata mujmal (banyak artinya). Untuk
memahaminya harus dijelaskan dengan mencarikan kata *mufassar *(pasti
artinya) seperti اَكْمِلُوْا (sempurnakanlah) sebagaimana dalam hadits Nabi
SAW:



فَاَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ



“*Maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh.*” (HR.
Bukhori dan Muslim).

Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan *faqdurûlahu *dalam
hadits riwayat Bukhori dan Muslim tersebut harus dipahami dengan makna
“sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh”



6.     Rukyah / رأى dalam hadits-hadits diberi penjelasan “kalau
penglihatanmu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan menjadi 30”.
Penjelasan demikian ini tidak relevan jika dihubungkan رأْى / رَأَي yang
diartikan أدرك/ علم dan حسِب / ظنّ



Dengan koreksi ini, maka kita lebih yakin, bahwa makna yang tepat bagi
rukyah / رأى yang dimaksud dalam hadits-hadits adalah “melihat dengan mata
kepala/pengamatan langsung terhadap hilal”. Jadi arti dan maksud rukyatul
hilal adalah melihat dengan mata kepala/mengamati secara langsung/observasi
terhadap penampakan bulan sabit, tidak dapat dimaksudkan melihat dengan
akal dan melihat dengan hati.



Rukyah adalah ibu yang melahirkan hisab. Tanpa rukyah hisab akan mandeg,
bahkan mustahil adanya. Jadi rukyah itu ilmiah.



Meskipun Islam membuka luas cakrawala pengembangan pemikiran keIslaman,
namun harus segera diingatkan, bahwa manusia secerdas apapun tidak akan
mampu menyamai wahyu. Islam dibangun atas dasar wahyu, bukan dibangun atas
dasar ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan sangat
bermanfaat untuk kesempurnaan memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran
Islam.

Ilmu hisab dapat digunakan untuk kesempurnaan memahami, menghayati dan
mengamalkan nash tentang rukyatul hilal. Atas dasar prinsip ini maka:



1.     Definisi hilal dan rukyah sebagaimana dipaparkan di muka, dijadikan
sebagai landasan dalam mencari solusi atas perbedaan dan untuk menetapkan
kriteria awal bulan.

2.     Atas dasar landasan tersebut maka perlu ada kesepakatan metode hisab
yang akan digunakan untuk penentuan kriteria imkanur rukyah.

3.      Kriteria imkanur rukyah itu tidak dimaksudkan sebagai pengganti
nash yang bertalian dengan rukyah.



Dalam pada itu, hak itsbat awal bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah
sepenuhnya berada di tangan Negara/pemerintah yang dalam hal ini
didelegasikan kepada Menteri Agama.

Itsbat Menteri Agama yang didasarkan pada rukyah dan hisab sebagaimana
rekomendasi MUI mengikat dan berlakau bagi umat Islam secara nasional. Oleh
karena itu ormas Islam diharapkan tidak mengeluarkan penetapan awal bulan
Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah mendahului itsbat pemerintah sehingga
merisaukan umat.



KH A Ghazalie Masroeri

Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)



*) *Berasal dari paparan lisan yang disampaikan dalam diskusi kriteria awal
bulan di Departemen Agama tanggal 18 September 2007 yang dihadiri oleh
Menteri Agama, Sekjen Depag, Dirjen Bimas Islam, Direktur Urais, Kasubdit
Pembinaan Syariat dan Hisab Rukyat Depag, wakil dari NU, Muhammadiyah,
Persis, DDII, para ahli astronomi dari LAPAN, Observatorium Boscha,
Planetarium, Bakosurtanal, BMG, Dirjen Pembinaan Peradilan Agama MA, dan MUI
*



-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke