hehehe betul pak...

  ----- Original Message ----- 
  From: Raflis amin 
  To: keluarga-islam@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, December 26, 2012 10:48 AM
  Subject: Re: [keluarga-islam] Gus Dur: Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal


    

  Jangankan Fatwa Natal MUI yang dipermasahkan oleh  gUs DuR, Al Quran saja gus 
dur katakan kitab suci terporno didunia. Mudah-mudahan saja sudah selesai 
menjawab pertanyaan Malaikat mengenai masalah kitab suci yang dikatakan 
terporno oleh gus DuR.






------------------------------------------------------------------------------
  From: Ananto <pratikno.ana...@gmail.com>
  To: 
  Sent: Wednesday, December 26, 2012 7:56 AM
  Subject: [keluarga-islam] Gus Dur: Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal



    
  Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal
  Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

  KASUS "Fatwa Natal" dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghe­bohkan juga. 
Lembaga itu didesak agar "mencabut peredaran" fatwa yang melarang kaum muslimin 
untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain. Ini sungguh 
merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan 
jabatan sebagai ketua umum MUI.

  Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan 
kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah. Padahal, 
masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI menggunakan 
terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para ulama umumnya? 
Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti 
itu, karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri? Kalau 
boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus dipergunakan oleh MUI?

  Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia me­nyangkut 
penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang 
sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum 
muslimin.

  Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghu­bung 
antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa 
memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diha­rapkan dapat 
berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang mem­berikan 
keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum 
muslimin. Tidak lebih dari itu. Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai 
"tidak bersifat operatif dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan 
Majelis-majelis Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri 
pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan 
tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan "perwakilan" di 
dalamnya?

  Main Mutlak-mutlakan

  Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang 
dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia selalu 
harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak yang 
terkena).

  Bagaimana halnya dengan ujung persoalan "Fatwa Natal"? Apakah lalu akan 
keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama 
sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis 
juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik 
malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu 
bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu, 
haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang saya 
suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan seterus­nya, dan 
seterusnya.

  Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti 
kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya tertulis 
kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah pengapnya udara 
kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!

  Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari 
seperang­kat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam pemikiran keagamaan kita. 
Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti itu. 
Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi 
perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat 
perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.

  Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas 
tentang wilayah "kajian" (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa 
lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah dasar yang 
dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan 
agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan aga­ma, 
bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan (haram, halal, 
mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum 
muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap ke­bodohan? 
Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua 
hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja.

  Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus "Fatwa 
Natal", yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri?

  TEMPO, 30 Mei 1981



  -- 

  http://harian-oftheday.blogspot.com/

  "...menyembah yang maha esa,
  menghormati yang lebih tua,
  menyayangi yang lebih muda,
  mengasihi sesama..."




  

Kirim email ke