ROTFL yang Terjadi setelah ‘Ngamen’

Senin, 02 Juni 2014



Sudah dua minggu ini kami berdebar-debar. Teruskah? Ditolakkah?
Disetujuikah? Tim kami bekerja keras untuk itu. Sepotong e-mail kemudian
muncul tiga hari lalu: setuju!



Horeeee. Rasanya kami semua ROTFL!



Yang kami tunggu adalah ini: apakah perusahaan Amerika Serikat (AS) itu
menyetujui kerja sama dengan BUMN untuk satu hal yang amat strategis. Yakni
bersama-sama mengolah neutron menjadi produk kedokteran nuklir dan akhirnya
kelak juga mengolahnya menjadi listrik.



Tim BUMN dipimpin Direktur Utama PT Inuki (Persero) Dr Ir Yudiutomo
Imardjoko. Inuki adalah kependekan dari Industri Nuklir Indonesia, nama
baru untuk PT Batan Teknologi.



Tim itu dibantu pimpinan PT INACA, anak perusahaan PT Dirgantara Indonesia
di AS. Lalu diperkuat Direktur Utama PT Bahana (Persero) Dwina S. Wijaya
beserta anak buahnya. Bahana adalah BUMN yang bergerak di bidang keuangan.



“Kami sangat beruntung bisa mendapat persetujuan dari perusahaan di AS
ini,” ujar Yudiutomo yang ahli nuklir lulusan UGM dan ahli sampah nuklir
lulusan AS.



Beruntung? Saya tidak setuju dengan kata-katanya itu. Itu bukan karena
beruntung. Itu hasil dari sebuah totalitas usaha. Itu buah dari gabungan
antara “keahlian, kerja keras, pantang menyerah, antifrustrasi, tekun,
telaten, diiringi dengan jalan yang penuh keprihatinan”.



“Jalan penuh keprihatinan” saya masukkan di situ karena semua itu awalnya
dari sikap prihatin. Prihatin karena reaktor nuklir di Serpong yang sudah
tua itu sering rusak sehingga tidak bisa memproduksi neutron secara kontinu.



Prihatin karena reaktor itu milik lembaga negara, Batan, yang itu di luar
wewenang BUMN untuk ikut mengatasi. Apalagi, PT Inuki sendiri baru saja
keluar dari kesulitan keuangan yang amat panjang. Sampai-sampai Inuki harus
bekerja sama dengan Mesir untuk jaga-jaga kalau reaktor Batan yang di
Serpong terus mengalami gangguan.



Prihatin karena Inuki sudah telanjur mengikat kontrak untuk ekspor
radioisotop ke berbagai negara yang tidak mampu membuatnya seperti
Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lainnya.



Prihatin karena membayangkan rumah-rumah sakit akan mengalami krisis
radioisotop akibat tidak cukupnya bahan baku berupa neutron itu. Padahal,
ilmu kedokteran sekarang sudah amat terikat dengan radioisotop untuk proses
MRI dan pendeteksian berbagai penyakit.



Saya pun sempat memutuskan untuk membangun reaktor nuklir yang akan
dimiliki Inuki sendiri. Apalagi, kemajuan teknologi nuklir sudah amat
berbeda dengan zaman reaktor Serpong itu dibangun 30 tahun lalu.



Menurut Yudiutomo, dirinya bisa membangun reaktor yang ukurannya hanya
seperlima dari yang ada di Serpong, tapi memiliki kemampuan produksi 20
kali lipatnya. Tapi, untuk mempersiapkan itu, Yudiutomo dan timnya harus
mondar-mandir ke AS, Rusia, dan Eropa. Padahal, perusahaannya tidak punya
uang untuk keperluan itu.



Sebagai perusahaan kecil yang baru hidup lagi, uangnya hanya pas-pasan
untuk mempertahankan operasinya sehari-hari. Tidak boleh ada biaya
perjalanan yang bisa mengganggu kelancaran operasi perusahaan.



Tapi, cita-cita tidak boleh kandas. Harus ada cara untuk mencapainya.
Biarpun harus lewat jalan yang berliku. Untuk itu tim Inuki harus “ngamen”
lebih dulu.



Kebetulan BUMN memiliki program pengentasan kemiskinan di NTT melalui
tanaman sorgum. Para ahli Inuki harus mau jadi penyuluh lapangan, tinggal
di NTT beberapa bulan, dan membina anak-anak SMK setempat menciptakan
mesin-mesin sederhana pengolahan sorgum.



Untuk itu mereka mendapatkan “upah”. Memang tidak besar, tapi bisa untuk ke
Amerika. Hasil dari “ngamen” inilah yang dipakai membeli tiket untuk pergi
ke sana melakukan penjajakan kerja sama membangun reaktor.



Saya sebenarnya tidak tega untuk minta para ahli yang langka itu harus
“ngamen” sampai ke NTT. Tapi, saya juga percaya tidak ada jalan mudah untuk
mencapai cita-cita. Saya tidak bisa memerintahkan menggunakan dana
perusahaan di luar yang sudah ditentukan.



Saya juga tidak mau minta sumbangan ke BUMN lain yang besar-besar. Karena
saya tahu tidak ada pos pengeluaran untuk yang demikian.



Maka, saya salut dengan tim Inuki yang mau menempuh jalan berliku ini.
Sekalian tes ketahanan, pikir saya. Untuk mengejar kemajuan, harus bersedia
bekerja seperti itu.



Inilah yang saya sebut “jalan keprihatinan”. Jalan itu, kalau bisa ditempuh
dengan tulus, justru akan menjadi pendorong untuk tercapainya cita-cita. Ia
menjadi semacam “tenaga dalam” yang memang tidak kelihatan, tapi bisa
menjadi faktor utama tercapainya sebuah sukses.



Dari beberapa perjalanan ke AS, Rusia, dan Eropa itulah, akhirnya Yudiutomo
menemukan sesuatu yang ternyata jauh di atas sebuah reaktor nuklir. Dia
berhasil mengetahui sebuah penemuan yang masih sangat baru. Belum banyak
yang tahu: untuk memproduksi neutron, tidak harus membangun reaktor nuklir!
Bisa melalui fusi plasma!



Dia sendiri, sebagai anggota aktif asosiasi ahli nuklir dunia, tidak
menyangka ada penemuan sehebat dan semaju itu. Memang pernah diramalkan
ilmu pengetahuan akan sampai di sana. Tapi, menurut perkiraan para ahli,
hal itu baru akan terjadi tahun 2050!



Setelah tahu perkembangan baru itu, target pun diubah. Bukan lagi membangun
reaktor baru, melainkan bagaimana bisa menggandeng perusahaan penemu
tersebut. Tapi, apa mungkin?



Yudiutomo punya kelebihan dibanding calon partner lainnya dari seluruh
dunia. Dia punya keahlian untuk memproses neutron itu menjadi radioisotop
dengan proses yang diizinkan kesepakatan dunia. Yakni sebuah proses yang
tidak membahayakan dunia karena tidak memungkinkan berubah menjadi senjata
nuklir.



Di seluruh dunia, hanya putra Indonesia Yudiutomo yang bisa melakukan itu.
Perusahaan Amerika itu pun tidak bisa melakukannya. Yudi memang
satu-satunya ahli nuklir di dunia yang mampu memproses neutron dan uranium
dengan sistem yang tidak memungkinkan bahan itu menjadi senjata nuklir.



Tapi, perjuangan tentu tidak mudah. Bagaimana bisa sebuah BUMN Indonesia
mengajak kerja sama penemu yang begitu hebat di Amerika. Berkali-kali saya
rapat dengan Inuki dan Bahana merumuskan strateginya.



Alhamdulillah, setelah berbagai pertemuan dan diskusi (langsung maupun via
e-mail) dilakukan antarnegara, tiga hari lalu jawaban itu tiba: pihak
Amerika setuju. Perincian kerja samanya juga sudah disertakan.



Tanggal 16 Juni mendatang, setengah bulan lagi, penandatanganan dilakukan
di Madison, Wisconsin, AS. Saya sengaja belum tuliskan banyak detail di
sini karena untuk itu akan ada waktunya sendiri.



Saya benar-benar tidak setuju jika ini disebut sebuah keberuntungan. Saya
lebih setuju dengan Paulo Coelho yang dalam novel-novel spiritualnya
menyiratkan, justru keberuntunganlah yang selalu mencari-cari orang yang
bersedia dicipratinya. Tapi sayangnya, “ia” hanya mau mencipratkannya
kepada orang-orang yang kuat berjalan jauh dengan totalitas dan ketulusan
penuh untuk mendatanginya! (*)



Dahlan Iskan, Menteri BUMN



Sumber:

http://dahlaniskan.wordpress.com/2014/06/02/rotfl-yang-terjadi-setelah-ngamen/



-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Reply via email to