Dikatakannya, ”Lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita 
dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut pun daripada 
kemerdekaan kita ini untuk dollar, untuk rubel.”





Mantab Bung Karno!!!





Coba Kalo Bapak Masih Hidup, Lihat Anakmu waktu jadi Presiden tidak seperti 
dirimu.


JUAL…JUAL…JUAL…SEMUA JUAL….








Mudah2an Bapak tidak menangis karena ulah anaknya sendiri…


Al fatihaa…











From: keluarga-islam@yahoogroups.com [mailto:keluarga-islam@yahoogroups.com]
Sent: Friday, June 27, 2014 9:34 AM
To: undisclosed-recipients:
Subject: [keluarga-islam] Yudi Latif: Keharusan Revolusi Mental








Keharusan Revolusi Mental


Oleh: Yudi Latif





”Merdekakan dirimu dari perbudakan mental,” seru penyanyi reggae legendaris Bob 
Marley. Kolonialisme dan otoritarianisme boleh berlalu, tetapi perbudakan dan 
penindasan tidak dengan sendirinya berakhir.





Warisan terburuk dari kolonialisme dan otoritarianisme tidaklah terletak pada 
besaran kekayaan yang dirampas, penderitaan yang ditimbulkan, dan nyawa yang 
melayang, tetapi pada pewarisan nilai-nilai koruptif, penindasan, dan 
perbudakan yang tertanam dalam mental bangsa. Para pendiri bangsa menyadari 
benar perjuangan kemerdekaan masih jauh dari tuntas. Proklamasi kemerdekaan 
hanya jembatan emas untuk meraih kemerdekaan sejati. Sebagai jembatan emas, 
proklamasi kemerdekaan hanyalah titik keberangkatan untuk meraih cita-cita 
masyarakat adil dan makmur melalui serangkaian perjuangan secara persisten 
(istikamah). Pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956, Bung Karno 
menjelaskan tiga fase revolusi bangsa. Dua fase telah dilalui secara berhasil 
dan satu fase lagi menghadang sebagai tantangan. Indonesia telah melewati taraf 
physical revolution (1945-1949) dan taraf survival (1950-1955). Lantas ia 
menandaskan, ”Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf 
menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human 
skill, material investment, dan mental investment.”





Dalam pandangannya, investasi keterampilan dan material amat penting. Namun, 
yang paling penting investasi mental. Investasi keterampilan dan material tak 
bisa jadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi 
mental. Tanpa kekayaan mental, upaya-upaya pemupukan keterampilan dan material 
hanya akan melanggengkan perbudakan. Dikatakannya, ”Lebih baik kita membuka 
hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini 
daripada menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dollar, untuk 
rubel.” Ditambahkan, ”Mental kita harus mengangkat diri kita di atas kekecilan 
jiwa yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran mempertentangkan urusan tetek 
bengek yang tidak penting.”





Itulah sebabnya Bung Karno sangat menekankan program nation and character 
building. Dalam pandangannya, Indonesia adalah bangsa besar, tetapi sering kali 
memberi nilai terlalu rendah pada bangsanya alias bermental kecil, masih belum 
terbebas dari mentalitas kaum terjajah yang sering mengidap perasaan rendah 
diri (minderwaardigheidscomplex). Bung Karno menyadari bahwa sebagai akibat 
penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter rakyat 
yang disebut ”abdikrat”, meminjam istilah Verhaar dalam bukunya Identitas 
Manusia. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dengan penuh perasaan tak 
berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri (self-confidence). Memasuki alam 
kemerdekaan, Bung Karno menyerukan agar watak demikian harus dikikis habis. 
Rakyat harus berjiwa merdeka dan berani berkata ”ini dadaku, mana dadamu”, 
berani mandiri dan menghargai diri sendiri.





Hingga taraf tertentu, usaha nation and character building di masa Soekarno itu 
berhasil. Rakyat dari Sabang sampai Merauke mulai merasa terikat dalam suatu 
negara bangsa dan merasa bangga sebagai bangsa Indonesia. Kepercayaan diri 
bangsa ini juga meningkat berkat kepeloporan Indonesia dalam berbagai isu 
internasional. Rakyat berani menolak bantuan yang merendahkan bangsa sendiri 
dengan seruan, ”go to hell with your aid!”





Perbudakan mental





Pemerintah Orde Baru bangkit dengan kebijakan yang memprioritaskan investasi 
material (material investment). Kebijakan investasi manusia (human investment) 
lebih menekankan hal-hal yang bersifat kuantitatif dengan memprioritaskan 
pemacuan pendidikan dasar lewat apa yang dikenal sebagai ”sekolah inpres”. 
Investasi mental memang diberikan, tetapi bersifat permukaan. Penataran 
Pancasila digalakkan, tetapi miskin kreativitas, terlalu menekankan dimensi 
kognitif (hafalan), serta kurang menyentuh aspek afektif dan dorongan untuk 
bertindak. Akibatnya, di balik gebyar fisik modernitas kehidupan bangsa, mental 
bangsa tetap terbelakang.





Orde Reformasi hadir sebagai kulminasi dari paradoks antara kemajuan material 
dan keterbelakangan mental dengan segala krisis yang menyertainya. Setelah 14 
tahun Reformasi tak kunjung mendekati janji-janji kesejahteraan, keadilan, 
kepastian hukum, serta pemerintahan yang baik dan bersih, mestinya timbul fajar 
budi kesadaran baru. Bahwa perbudakan mental merupakan pangkal terdalam yang 
membuat kekayaan bangsa ini terus dipersembahkan bagi seluas-luasnya kemakmuran 
asing dan bahwa mental yang terkorupsi (corrupted mind) adalah akar tunjang 
dari merajalelanya praktik korupsi. Penjelasan tentang hal ini diberikan oleh 
Plato. Menurut Plato, jiwa manusia terdiri dari tiga unsur: mental (mind), 
ambisi (spirit), dan selera kesenangan (appetite). Kebaikan hidup tercapai 
manakala mental yang sehat memimpin atas ambisi dan kesenangan.





Apa yang kita saksikan pada kehidupan bangsa saat ini adalah banjir bandang 
kesenangan dan ambisi. Ledakan tuntutan selera dan gaya hidup bangsa ini 
menjadikannya salah satu pengimpor terbesar di dunia, mulai dari garam hingga 
barang mewah. Luapan ambisi kuasa membuat banyak orang meninggalkan tanggung 
jawab profesinya untuk merebut jabatan politik, bahkan menghalalkan segala cara 
termasuk kampanye hitam untuk meraih kekuasaan. Dorongan selera pasar dan 
ambisi perseorangan itu juga sering harus dibayar mahal dengan mengorbankan 
kemandirian dan kedaulatan negara. Dalam situasi seperti itu, mental tak mampu 
menunjukkan kepemimpinannya, terpojok oleh warisan sejarah perbudakan mental 
serta cengkeraman selera dan ambisi. Sebuah politik tanpa kepemimpinan mental 
yang sehat tidak memiliki landasan perwujudan kebajikan kolektif. Perkembangan 
politik mengikuti logika terbalik: mempertahankan yang buruk dan membuang yang 
baik.





Untuk bisa bangkit dari keterpurukan, bangsa ini harus kembali ke trayek 
sejarah yang tercegat: melanjutkan revolusi mental. Inti dari revolusi ini 
adalah perubahan besar dalam struktur mental manusia Indonesia melalui proses 
nation and character building. Usaha pembangunan karakter ini harus 
mempertautkan antara proses penempaan pribadi yang berkarakter dan kolektivitas 
bangsa yang berkarakter. Bahwa kebaikan dan kekuatan karakter individual hanya 
bisa memperoleh kepenuhan manfaatnya jika terintegrasi ke dalam kebaikan dan 
kekuatan karakter bangsa secara kolektif.





Faktanya, negeri ini masih cukup memiliki pribadi-pribadi yang bermental 
karakter baik. Namun, sungguh defisit dalam kolektivitas yang berkarakter baik. 
Apa pun yang bersifat kolektif, mulai dari partai politik, parlemen, birokrasi, 
hingga ormas keagamaan, cenderung sakit. Pada titik ini Indonesia adalah bangsa 
yang belum selesai yang masih memerlukan penguatan kebersamaan dalam nilai, 
perilaku, cipta, rasa, dan karsa kolektif.





Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan 
juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang seperti sebuah bangsa. Ibarat 
individu, pada hakikatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri yang 
tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian bangsa (nation) yang terkenal dari 
Otto Bauer: bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang 
persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan 
pengalaman.





Perhatian terhadap variabel budaya, terutama karakter, sebagai bagian yang 
menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik masyarakat-bangsa pernah 
mengalami musim seminya pada 1940-an dan 1950-an. Para pesohor pengkaji budaya 
periode ini, seperti Margareth Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel 
Almond, Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset, memunculkan 
prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk mengejar kemajuan bagi 
negara-negara yang terpuruk pasca Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju 
developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian budaya 
mengalami musim kemarau pada 1960-an dan 1970-an.





Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan 
ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 
1980-an. Pentingnya variabel mental-budaya bagi perkembangan ekonomi dan 
politik suatu bangsa dapat dilihat dari serangkaian hasil riset yang dilaporkan 
dalam karya Lawrence Horrison (1985), Robert Putnam (1993), dan Ronald 
Inglehart (2000). Alhasil, di tengah intensifikasi globalisasi, kesadaran akan 
pentingnya penguatan karakter bangsa sebagai tumpuan daya saing justru 
mengalami gelombang pasang.





Mandiri dan berdikari





Bagi bangsa Indonesia, basis nilai sebagai tumpuan karakter kolektif yang dapat 
menopang kemajuan peradaban bangsa itu tiada lain adalah Pancasila. Inti nilai 
Pancasila, bagaimana menumbuhkan semangat persatuan dalam keragaman dengan cara 
mengatasi mentalitas mementingkan diri sendiri (self-preservasion and 
self-centeredness), melalui penguatan mentalitas gotong royong berlandaskan 
semangat ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, permusyawaratan, dan keadilan 
sosial. Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagai tujuan akhir 
dari revolusi Indonesia, semangat gotong royong itu diarahkan untuk 
mengembangkan mentalitas-karakter bangsa yang berani berdikari dalam ekonomi, 
berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.





Berdikari dan mandiri tak berarti harus menyendiri. Berdikari adalah sikap 
mental untuk berani menentukan pilihan sendiri yang dapat membebaskan 
ketergantungan ekonomi pada pihak-pihak asing. Berdikari tidak berarti anti 
asing, tidak pula mengurangi, malahan memperluas, kerja sama internasional 
berlandaskan semangat kesederajatan kemanusiaan yang saling menguntungkan. 
Jalan menuju kemandirian ekonomi ini bisa ditempuh setidaknya melalui penguatan 
semangat ekonomi kooperatif dan efektivitas peran negara dalam penguasaan 
kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi kemakmuran rakyat; 
daya saing perekonomian dengan meningkatkan nilai tambah dari keunggulan 
potensi sumber daya yang dimiliki; kedaulatan pangan dan energi disertai 
pengutamaan pembelian produk dalam negeri.





Kedaulatan politik berdimensi eksternal dan internal. Kedaulatan ke luar adalah 
kesanggupan bangsa untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain dan bebas 
mengatur pertaliannya dengan bangsa-bangsa lain berlandaskan prinsip 
kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan. Dan untuk itu perlu penguatan mentalitas 
kosmopolitan. Kedaulatan ke dalam diarahkan untuk memberikan perlindungan dan 
pengawasan pada putra-putri negeri dengan memberikan jaminan hak dasar setiap 
warga dan keselamatan wilayah, keadilan dan kepastian hukum, serta ketertiban 
dan kedisiplinan aparatur negara dan warga negara. Kesemuanya itu mensyaratkan 
proses pendalaman dan perluasan demokrasi berkarakter Pancasila.





Kemandirian ekonomi dan kedaulatan politik hanya bisa tumbuh apabila bangsa ini 
memiliki kepribadian dalam kebudayaan. Berisi kematangan mental untuk percaya 
diri dalam mengekspresikan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa ini sebagai 
keistimewaan khusus dari semesta dalam semangat saling mengisi dan 
menyempurnakan keadaban dunia. Usaha menumbuhkan kepribadian dalam kebudayaan 
ini bisa dilakukan dengan cara memperkuat wawasan Nusantara dan penggemblengan 
mental-karakter bangsa; mengembangkan kearifan lokal dengan visi global; 
melakukan transformasi dari pembangunan berbasis ”modal natur” (sumber daya 
alam) menuju pembangunan berbasis ”modal kultural” (ilmu dan teknologi), dengan 
menggalakkan budaya baca dan meneliti serta kreativitas inovasi masyarakat.


 



Tidak ada perubahan besar dalam sejarah tanpa perubahan mental. Demi mewujudkan 
cita-cita nasional yang terbengkalai, setiap orang harus ambil bagian dalam 
gelombang revolusi mental. Pemerintahan baru, siapa pun yang terpilih, harus 
memenuhi panggilan sejarah ini. []





KOMPAS, 12 Juni 2014


Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan








--


http://harian-oftheday.blogspot.com/





"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."






  • [keluarga-islam] Yudi L... Ananto pratikno.ana...@gmail.com [keluarga-islam]
    • RE: [keluarga-isla... 'andr...@nsk.com' andr...@nsk.com [keluarga-islam]

Kirim email ke