NU: Bagimu Negeri...!

Oleh: Abdullah Syarwani




Nahdlatul Ulama atau NU dikenal secara luas sebagai perhimpunan sosial
keagamaan terbesar. Seperti halnya gerakan sosial keagamaan besar lainnya,
NU didukung oleh massa – anggota masyarakat – yang puluhan juta jumlahnya,
diperkirakan lebih kuran 40 juta, umumnya warga pedesaan.




Karena mayoritas warga jam’iyah adalah warga yang tinggal tersebar di
daerah-daerah desa yang hidup secara sederhana, “ndeso”, NU dikesankan
sebagai “tradisional”. Paling tidak warga NU umumnya masih berpegang teguh
kepada tradisi, yang justru menyimpan potensi kekuatan “self recilience”-
atau ketahanan diri yang kuat untuk menahan pengaruh budaya luar yang
kurang sesuai dengan kondisi lokal di Tanah Air. NU lahir 91 tahun yang
lalu dan pada tanggal 16 Rajab 1435 H bertepatan tanggal 16 Mei 2014
diperingati ulang tahun kelahirannya dengan acara syukuran sederhana di
markaz -, kantor pusat PBNU di Jakarta.




Organisasi masyarakat keagamaan tertua dengan jumlah keanggotaan yang
puluhan juta itu tentulah menjadi pusat perhatian pada setiap peristiwa
politik, khususnya pada pemilihan umum legislatif ataupun pemilihan
presiden/wakil presiden sekarang ini.




Apalagi di saat demokrasi kita yang baru hidup kembali setelah bergulir
reformasi sejak 15 tahun yang lalu. Meskipun NU bukan partai politik,
tetapi memiliki daya tarik politik yang kuat. Salah satu hal yang menarik
dari NU adalah sikap politik kemasyarakatannya, yakni : “Setia kepada NKRI.
” Maknanya jelas, bahwa dalam perjalanan pengabdiannya yang panjang itu,
gerakan jam’iyah NU selalu mengedapankan sikap kebangsaannya yang kental.
Alasannya juga kuat, teologis: hubbul wathan minal iman, cinta kepada tanah
air adalah bagian dari iman (keyakinan). Keyakinan yang teguh tentang
perlunya bangsa yang mandiri, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana
dicita-citakan sejak merdeka dalam wadah NKRI.




Bagaimana kecintaan kepada tanah air itu diwujudkan?




NU, gerakan umat yang lahir dalam suasana kebangkitan nasional ini, sejak
awal memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi. Hal itu tercermin dari
“visinya” yang menginginkan agar masyarakat Indonesia menjadi “khoiro
ummah”, sebaik-baiknya masyarakat, masyarakat yang berkualitas sebagaimana
yang disebut Ibnu Chaldun: al-ijtima’ kaamil (baca kitab kecil: Madinatul
Fadlilah, Negara Utama). Masyarakat yang sempurna atau manusia seutuhnya,
yang memiliki keadrengan mandiri, berkehidupan damai, adil dan sejahtera.




Hal ini menyiratkan adanya kewajiban untuk mengenyahkan kefakiran,
kemiskinan, karena keadaan ini tidak selaras dengan ajaran agama, kaadal
fakru ayyakunakufron. Keadaan miskin, fakir atau “kesrakat”, yakni sangat
miskin –lapis terbawah masyarakat yang hidup digaris kemiskinan adalah
pertanda masyarakat yang belum mampu bersyukur. NU selalu berupaya
menggugah kesadaran masyarakat untuk memahami bahwa bumi dan tanah air kita
memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah dan harus diolah dengan
baik dan berkelanjutan.




Semangat gerakan NU sejatinya selalu seiring dengan panggilan adanya

masalah yang dihadapi bangsa dan negara. Misalnya,disaat awal pra
kemerdekaan. , tokoh Kiai Wahab Hasbullah, yang sekembalinya dari belajar
di Mekkah merasa prihatin dengan keadaan bangsanya yang sangat terbelakang
karena terjajah. Pada tahun 1916, almarhum kiai pendiri NU itu berusaha
untuk menggelorakan semangat guna mengenyahkan penjajahan dengan
mengorganisir Nahdlatul Wathan atau Gerakan Kebangsaan. Para pemuda
digembleng menjadi kader Muslim dan pembela tanah air yang tangguh. Segera
sesudah itu gerakan ini menyebar ke berbagai tempat. Di Wonokromo, Surabaya
di beri nama Ahlul Wathon, di Jombang Hidayatul Wathan (pencerah bangsa)
dan di Semarang Jawa Tengah muncul gerakan Ahlul Wathan atau Solidaritas
Bangsa. Inilah cikal bakal semangat cinta tanah air Indonesia. (baca:
Piagam Perjuangan Kebangsaan, Abdul Mun^im DZ, PBNU, 2011).




Sikap kebangsaan yang istiqomah atau konsisten ditempuh NU terus berlanjut.
Pada tahun l936, muncul hasrat yang menyala dari para pemuda untuk
mendirikan negara bangsa yang merdeka. Segera sesudah itu berturut-turut,
memunculkan resolusi jihad 22 Oktober 1945 yang amat populer itu. Terhadap
kehidupan demokrasi, ditahun 1967 NU mencuatkan deklarasi demokrasi
Pancasila, demokrasi yang berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila. Enambelas
tahun kemudian, di tahun 1983 NU menegaskan hubungan Pancasila dengan
Islam. Deklarasi ini menegaskan tentang perlunya bangsa Indonesia
mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen.




Pada muktamar 1989, NU merumuskan pedoman berpolitik bagi warganya.
Keterlibatan warga NU dengan partai politik yang ada bersifat perorangan
(individual), tidak atas nama organisasi karena NU telah kembali menjadi
organisasi sosial keagamaan, kembali ke khittahnya untuk menjalankan
aktifitasnya di bidang sosial, pembangunan masyarakat, pendidikan dan
da’wah.




Menjelang Usia Pengabdian NU Seabad




Meskipun upaya pembangunan selama kurun waktu 10 tahun terakhir membuahkan
kemajuan yang cukup berarti, namun masih menyisakan ketimpangan jumlah

angka kemiskinan yang besar, mungkin sekitar 15% atau sekitar 25-30 juta
penduduk. Beban ini semakin bertambah jika masalah kemiskinan itu masih
ditambah dengan masalah kemiskinan moral dan akhlak yang mendera bangsa
kita selama ini.




Suasana ulang tahun NU yang ke-91 sekarang ini ditandai dengan kental,
jargon “Setia kepada tanah air, NKRI”. Hal itu dimaksud untuk menegaskan
konsistensi NU dalam menyikapi dinamika sosial dan politik. Sikap
kebangsaan yang sudah dilakukan selama puluhan tahun ini kiranya menjadi
panduan puluhan juta warga NU, khususnya pada saat bangsa Indonesia
diwajibkan memilih pimpinan nasional atau memilih Presiden dan Wakil
Presiden untuk 5 tahun ke depan pada awal Juli yang akan datang.




Para calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan bertarung adalah para
kader bangsa yang jempolan, the best. Bagi warga NU arah pilihannya
tentulah pada calon yang terbaik; best of the best. Capres dan pasangan
yang memiliki sikap tegas, tidak diragukan integritasnya dan berwawasan
kaffaah. Hal ini amat diperlukan untuk meraih kembali marwah dan wibawa
bangsa.




Pimpinan yang “best of the best” ini penting bagi NU yang berkehendak
melanjutkan kesetiaanya kepada NKRI melalui dakwah dan pembangunan
masyarakat, antara lain program pengentasan kemiskinan yang selama ini
sudah dirintisnya. Program semacam ini bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan cenderung menjadi pilihan utama para calon
presiden. Kader pembangunan NU adalah para da’i bil hal (pendakwah dengan
bekerja) yang tersebar di daerah-daerah perdesaan.




Oleh karena itu, menjelang musyawarah nasional yang akan berlangsung dalam
waktu dekat mendatang, sudah seharusnya bagi NU untuk meyiapkan konsep
programnya secara lebih terarah. Strategi pendekatannya yang bertumpu pada
sikap tawassuth (moderat), tawazun (seimbang) dan tasamuh (toleran) dengan
basis masyarakat akar rumput itu, kiranya akan mendukung program aksi
jangka menengah. Apalagi jika hal itu dimaksudkan untuk menyambut
keberadaan NU ke depan menjelang usianya seabad ditahun 2023 mendatang.
Mudah-mudahan harapan untuk memberikan partisipasinya yang terbaik bagi

bangsa ini akan mampu dilaksanakan dengan sungguh- sungguh, tanpa keraguan.
Jika demikian halnya, tepatlah kiranya ditegaskan kesetiannya pada NKRI.
NU: Bagimu Negeri …! []




* Penulis adalah A’wan/ Dewan Pertimbangan PBNU






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Reply via email to