Bagi saya, langkah “terpaksa” itu jauh lebih baik ketimbang anggota DPRD
tersebut berkolusi dengan kalangan eksekutif, merancang sejumlah proyek
fiktif, yang tujuannya sebetulnya untuk menilap dana APBD. Supaya fair,
saya kira kita juga perlu mengkritik diri sendiri, atau melakukan
otokritik. Apa yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPRD tadi adalah potret
dari borosnya sistem pemilihan umum (pemilu) di negara kita. Untuk menjadi
anggota DPRD, mereka harus menghabiskan dana hingga ratusan juta rupiah.
Sementara untuk menjadi anggota DPR membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal
hingga miliaran rupiah.




salam,
ananto
=====




Gadai SK Jabatan


Oleh: Rhenald Kasali






Pekan lalu media massa kita diramaikan oleh berita sejumlah anggota DPRD
yang menggadaikan SK pengangkatan mereka untuk masa jabatan 2014-2019.


Itu terjadi di sejumlah kabupaten/kota. Misalnya di Magelang, Jawa Tengah,
75% anggota DPRD melakukannya. Di Depok ada 50% anggota DPRD yang
menggadaikan SK-nya. Fenomena serupa juga dilakukan anggota DPRD Provinsi
DKI Jakarta, juga di Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan,
Sulawesi Selatan, dan sebagainya. Itu setidaktidaknya yang terekam oleh
liputan media massa. Di luar itu, saya menduga, jumlahnya bisa lebih banyak
lagi, meski mungkin belum seperti fenomena gunung es.
MotifgadaiSKyangmerekalakukan beragam.






Di Kabupaten Magelang, sejumlah anggota DPRD menggadaikan SK untuk
memperoleh dana tunai Rp100 juta hingga Rp300 juta. Dana itu mereka
alokasikan untuk membeli tanah, mobil, biaya sekolah, investasi lain,
hingga mengganti biaya kampanye. Untuk kabupaten/kota atau provinsi yang
lain rasanya kurang-lebih juga serupa. Fenomena tersebut bukan hanya
terjadi pada anggota DPRD periode 2014-2019, melainkan sudah berlangsung
sejak dulu. Menurut seorang direktur utama sebuah Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) Bapas 69 di Magelang, setiap periode selalu saja ada anggota DPRD
yang mengajukan permohonan pinjaman dengan menjaminkan SK-nya. Jadi,
fenomena gadai SK sebetulnya sudah berlangsung sejak lama.






Hanya ketika itu beritanya tidak seramai sekarang. Berita gembiranya, masih
menurut direktur utama BPR tadi, sejauh ini tidak ada kendala dalam
pembayaran angsuran. Jadi, tidak ada kredit macet dari gadai SK tersebut.
Aksi gadai SK sebetulnya bukan hanya dilakukan oleh kalangan legislatif,
melainkan juga eksekutif. Sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) melakukannya.
Mereka menggadaikan SK pengangkatannya sebagai PNS untuk memperoleh
sejumlah dana tertentu.






Menuai Kritik






Banyak kecaman mengalir kepada anggota DPRD yang menggadaikan SK
pengangkatannya. Ada yang menyebut aksi tersebut sebagai perilaku yang
tidak patut dan tidak etis untuk dilakukan oleh anggota Dewan yang
terhormat. Itu sama saja dengan anggota DPRD menggadaikan kehormatannya.
Betulkah begitu? Dalam dunia bisnis atau di masyarakat kita, menggadaikan
barang atau surat berharga lain dalam upaya untuk memperoleh
uangtunaiadalahfenomenayang sangat wajar. Banyak orang dan pengusaha yang
melakukannya.






Contohnya saat Lebaran silam. Beberapa pemudik yang tidak ingin membawa
sepeda motornya untuk pulang kampung memilih “menitipkannya” ke jasa
pegadaian. Cara itu lebih aman ketimbang meninggalkan sepeda motornya
begitu saja di rumah. Selain itu, dari menggadaikan sepeda motornya tadi,
si pemudik juga akan memperoleh uang tambahan yang bisa dibelanjakannya
selama berada di kampung halaman. Anda tahu, selama Lebaran banyak barang
yang digadaikan para pemudik.






Bukan hanya sepeda motor, melainkan juga televisi, perhiasan, atau
surat-surat berharga lain yang terlalu berisiko jika ditinggal di rumah
selama mereka pulang mudik. Saya bersahabat dengan sejumlah pengusaha, baik
yang berskala kecil maupun menengah. Beberapa di antara mereka pernah
kewalahan ketika menerima order mendadak dalam jumlah yang lumayan besar.
Mereka menghadapi masalah modal kerja, terutama untuk pengadaan bahan baku.






Mau pinjam ke bank, tapi banyak persyaratan dan prosesnya lama. Akhirnya
ketimbang pusing kepala, para pengusaha tadi memilih menggadaikan beberapa
mobilnya, ditambah dengan sertifikat rumah dan sejumlah perhiasannya. Dari
situ mereka mendapatkan dana segar untuk pembelian bahan baku. Apakah Anda
mau mengatakan pengusaha yang menggadaikan mobil, sertifikat rumah, dan
perhiasannya tengah mempertaruhkan kehormatannya? Jelas tidak. Malah saya
berani menyebutnya sebagai langkah cerdas. Bayangkan, dengan langkahnya
tadi, order perusahaan bertambah. Kita boleh berharap bonus pegawainya bisa
bertambah, seiring peningkatan order tersebut.






Kehormatan






Berkaca dari pengalaman yang terjadi di dunia bisnis, kini bagaimana Anda
menilai aksi gadai SK jabatan oleh sejumlah anggota DPRD atau PNS tadi?
Masihkah Anda memandangnya dengan sinis dan menganggapnya sebagai langkah
yang menggadaikan kehormatannya. Dalam ilmu ekonomi, setiap manusia
diasumsikan sebagai makhluk yang rasional. Itu sebabnya ketika menetapkan
pilihan, kita selalu berpegang pada pilihan terbaik pertama (the first
best), lalu pilihan terbaik kedua (the second best), atau terbaik ketiga
(the third best).






Kalau pilihan terbaik pertama tidak tersedia, kita akan beralih ke pilihan
terbaik kedua, ketiga, dan seterusnya. Pepatah mengatakan, kalau tidak ada
rotan, akar pun jadi. Saya kira, ketika sejumlah anggota DPRD atau PNS
menggadaikan SK pengangkatannya, mereka sebetulnya tengah dihadapkan pada
teori pilihan tadi. Kalau saja tersedia pilihan terbaik pertama, mungkin
saja dalam bentuk tidak perlu menggadaikan SK-nya, mereka tentu akan
mengambil pilihan tersebut. Tapi, kerap kita dihadapkan pada kondisi yang
tidak punya pilihan.






Bagi saya, langkah “terpaksa” itu jauh lebih baik ketimbang anggota DPRD
tersebut berkolusi dengan kalangan eksekutif, merancang sejumlah proyek
fiktif, yang tujuannya sebetulnya untuk menilap dana APBD. Supaya fair,
saya kira kita juga perlu mengkritik diri sendiri, atau melakukan
otokritik. Apa yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPRD tadi adalah potret
dari borosnya sistem pemilihan umum (pemilu) di negara kita. Untuk menjadi
anggota DPRD, mereka harus menghabiskan dana hingga ratusan juta rupiah.
Sementara untuk menjadi anggota DPR membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal
hingga miliaran rupiah.






Di sisi lain, imbalan sebagai anggota DPRD berbeda jauh dengan anggota DPR.
Gaji seorang anggota DPRD hanya berkisar Rp3 juta sampai Rp5 juta meski di
sana ada beberapa komponen tunjangan yang jumlahnya jauh lebih tinggi
ketimbang gaji. Maka itu, ketimbang mengecam perilaku anggota DPRD yang
menggadaikan SK jabatannya, jauh lebih baik kalau kita membenahi sistem
pemilu agar mampu menjaring wakil-wakil rakyat yang berkualitas dan mau
melayani stakeholders-nya.






Dengan biaya yang jauh lebih murah. Sementara ini kita hentikan saja aksi
kecam-mengecam anggota DPRD. Kita tunggu apa yang akan mereka kerjakan bagi
rakyat yang diwakilinya. Kata Wesley Branch Rickey, tokoh di balik
kebesaran Major League Baseball dan namanya kemudian tercantum dalam
Baseball Hall of Fame 1967, “It is not the honor that you take with you,
but the heritage you leave behind.” []






KORAN SINDO, 25 September 2014
Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali




--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke