Faktanya pula, kebanyakan sarjana kita belum banyak yang mampu bekerja
dengan baik meski di bangku perkuliahan mereka terlihat sangat berprestasi.
Inilah yang disebut sarjana kertas dengan kehebatan memindahkan isi buku ke
dalam lembar kertas ujian.




salam,
ananto
=====




Anak-anak Kita Bukanlah Burung Dara yang Sayapnya Diikat


Oleh: Rhenald Kasali






Pada abad ke-15, seorang pelaut tangguh mengangkat layar kapalnya
menyeberangi lautan. Tujuannya adalah pusat rempah-rempah di timur.




“India.” Ia berseru pada semua awak kapalnya. “Kita telah mendarat di
India.”




Anda mungkin sudah bisa mereka siapa yang saya maksud. Ya, dia adalah
Christopher Colombus. Alih-alih mendarat di India seperti janjinya pada
ratu Isabel yang membiayai misi perjalanannya (untuk memperkuat posisi
Spanyol dalam perdagangan rempah-rempah yang terputus akibat Perang Salib),
Colombus justru mendarat di  Amerika.




Ini tentu di luar harapannya. Saat menghadap ratu, ia pun dicemooh para
penjelajah dunia lainnya yang sudah sampai di Tanjung Harapan. Ketika
itulah Columbus berfilsafat, "Kalau Anda tak pernah kesasar, maka kita tak
akan pernah menemukan jalan baru."




Tetapi bagaimana orang seperti Columbus bisa menjadi penjelajah dunia,
menemukan dunia baru? Sama pertanyaannya, mengapa orang-orang Jepang,
India, Yahudi, China dan Korea ada di seluruh dunia?




Bahkan sekarang, orang Malaysia dan Singapura mulai banyak buka usaha di
sini? Ada apa dengan anak-anak kita yang masih senang berada dalam "ketiak"
keluarga besarnya, menjadi PNS dan sebagainya?




Saya ingin katakan, sesungguhnya anak-anak Anda sama seperti saya. Kita
semua sebenarnya rajawali, dan bukanlah burung dara yang sayapnya diikat
(dikodi) serta tak pernah bisa terbang tinggi, diberi kandang yang sempit
agar selalu dekat dengan tuannya.




Berikan anak-anak Tantangan, Maka Mereka akan Menjadi Pemimpin




Saya kira Columbus benar. Kita semua tahu tidaklah penting apa yang kita
capai hari ini, atau saat ini.  Yang lebih penting sesungguhnya adalah apa
yang bisa kita pelajari dari sebuah perjalanan itu sendiri. Apalagi
perjalanan itu adalah sebuah proses, bukan penghentian akhir.   Anak-anak
tak boleh berhenti belajar walau katanya "sudah tamat" sekolah.




Sebaliknya, Anda tahu hari ini, jutaan manusia Indonesia setiap hari sangat
takut "menjelajahi" dunia baru yang sama sekali belum dikenalnya. Teman
saya, seorang guru matematika misalnya, marah besar saat disuruh mengajar
matematika dengan cara digabungkan dengan ilmu lainnya secara holistik. Dia
biasa nyaman dalam silonya yang parsial dan merasa paling pandai. Dia juga
gemar mengatakan orang lain salah.




Banyak orang menghindari sesuatu yang namanya kegagalan, kesasar, atau
segala hal baru  yang bakal menyulitkan hidupnya. Bahkan, menghindari
sesuatu kalau ada tantangannya karena takut terlihat kurang pandai karena
orang lain bisa melakukannya sedang kita mungkin tidak. Kita maunya
anak-anak kita menjadi juara kelas, lulus cepat dan dapat pekerjaan yang
baik, dimudahkan jalannya.




Kita bahkan carikan mereka pekerjaan dari koneksi kita, yang mudah-mudah.
Tak banyak orang yang mengerti bahwa keunggulan yang dicapai manusia
sebenarnya tak pernah lepas dari seberapa hebat ia terlatih menghadapi
aneka kesulitan dan tantangan kehidupan.




Tanpa kita sadari, sebenarnya kita terperangkap dalam kenyamanan. Persis
seperti perjalanan pulang-pergi rumah-kantor yang selalu melewati jalan
yang sama berulang-ulang, yang sesungguhnya mencerminkan kemalasan berpikir
belaka. Kita takut kesasar, menjaga agar anak-anak tidak tersesat. Padahal
jalan yang buntu itu bukan dead end, tetapi pertanda perlunya putar arah
(reroute).




Ingatlah, masalah baru terus bermunculan dan pengambilan keputusan tak bisa
dihafalkan. Habit kita telah kita wariskan pada bangsa melalui anak-anak
kita.




"Self Driving"




Bepergian ke tempat baru, dengan informasi, uang, waktu dan pengetahuan
terbatas sesungguhnya bisa mengubah nasib manusia. Dan keterbatasan itu
belum tentu membuat kita tersudut tanpa kemampuan keluar (dari kesulitan)
sama sekali. Dan anak-anak remaja kita, sesungguhnya memiliki kemampuan
untuk men-drive diri masing-masing, yang membuat mereka mampu mencari dan
menemukan "pintu keluar" dari kesulitan sehari-hari.




Namun tradisi kita ternyata jauh dari harapan itu. Kita lebih banyak
membentuk mereka menjadi passengers ketimbang drivers. Persis seperti
penumpang angkutan kota yang boleh mengantuk, bahkan tertidur, tak perlu
tahu arah jalan, merawat kendaraan, berinisiatif pindah jalur. Semua sudah
ada yang urus, tahu-tahu sudah sampai di tempat tujuan.




Anak-anak kita sesungguhnya adalah rajawali, bukan burung dara. Tetapi
secara psikologis dan tradisi, kita telah mengikat (meng-'kodi') sayapnya,
sehingga mereka tak bisa terbang tinggi. Mereka hanya menjadi  "burung
dara" yang  hanya bisa melompat ke atap gedung, lalu turun lagi ke bawah
tidak jauh-jauh dari rumah kita.




Kita "kodi" sayapnya dengan berbagai belenggu, apakah itu proteksi dan
kenikmatan yang berlebihan, keputusan yang tidak pernah kita ijinkan untuk
diambil mereka sendiri, hanya untuk memotong rambut atau membeli sepatu.




Banyak masalah mereka kita ambil alih cepat-cepat sebelum mereka bergulat
mengatasinya sendiri dalam kecemasan, dalam ketakberdayaan.




Juga  dogma, ancaman, ketakberdayaan dari pengalaman kita, serta kehadiran
kita yang harus ada kemanapun mereka pergi.




Cerita mereka bisa anda baca dalam buku aplikasi Self Driving (terbit dua
minggu lalu) yang kemarin diluncurkan mahasiswa saya di UI.  Judulnya 30
Paspor di Kelas Sang Profesor. Isinya suka duka dan curhat mereka melepas
kodi-kodi itu agar menjadi rajawali yang hebat dalam program one person-one
nation, kesasar di manca-negara.




Buku itu jadi sebagai akibat provokasi yang saya lakukan pada mereka,
dengan fakta bahwa para tenaga kerja wanita kita di luar negri ternyata
lebih mampu menangani tantangan dan ketidakpastian di luar negri ketimbang
para calon sarjana yang hanya duduk manis di bangku kuliah.




Saya katakan, era jagoan bicara telah berakhir, kini jagoan itu hanya akan
dihormati kalau mereka punya karya, punya langkah. Dan TKW itu adalah
manusia yang terhormat karena mereka punya langkah dan membawa berkah.




Jadi hari pertama kuliah, mereka harus urus paspor. Seminggu kemudian,
membuat rencana perjalanan ke luar negri. Satu negara hanya boleh
dikunjungi oleh satu orang. Dan itu harus cepat, karena 30 mahasiswa
berebut negara tujuan dengan syarat tak boleh yang bahasa dan penduduknya
mirip dengan kita. Kalau terlambat, biayanya makin besar, negeri yang
dikunjungi makin jauh, makin rumit pengurusan visa dan mungkin saja makin
tak menarik untuk dikunjungi. Misalnya  Bangladesh.




Ada dua situasi kebatinan yang akan mereka hadapi: terasing sekaligus
tertantang. Dalam keterasingan, mereka hanya berbicara dengan diri sendiri,
bukan bergantung pada orang lain. Di tengah kesibukan banyak berdialog
dengan orang lain dan media sosial, dalam keterasingan, bagus bagi anak
muda untuk membangun diri. Dialog diri ini akan menimbulkan self awareness
(kesadaran diri) untuk membentuk karakter yang kuat.




Sebab, kuliah saja di bangku kelas tak menjamin manusia belajar menghadapi
tantangan yang sebenarnya. Kini, semua persiapan harus diurus sendiri dalam
waktu yang sangat singkat, dilarang memakai jasa calo atau travel, juga
dilarang menerima bantuan keluarga.




Paspor, penginapan, rencana perjalanan, apa yang mau dilihat, biaya dan
sebagainya. Laporannya pun bebas, diutamakan refleksi kehidupan, bukan soal
produk atau pasar. Jadi perjalanan mereka tidak dimulai di pintu
keberangkatan bandara, melainkan di hari pertama kuliah dengan saya.




Sambil belajar teori saya ajak mereka melihat sendiri dunia, dan hadapi
sendiri segala masalah. Makin kesasar makin bagus. Lama-lama "kodian" itu
lepas, sayap mereka membuka, tanpa disadari mereka mulai bisa terbang jauh.




Satu hal yang dapat dipastikan adalah; mereka akan mulai mengaktifkan
otaknya. Dari situ secara tidak sadar mereka sudah memulai praktik
manajemen yang sebenarnya. Selama ini buku-buku sudah pasti menjelaskan
segala teknik mengatasi masalah dengan amat jelas.




Masalahnya, pernahkah mereka sendiri menggunakanya dalam kehidupan di dunia
nyata?




Faktanya pula, kebanyakan sarjana kita belum banyak yang mampu bekerja
dengan baik meski di bangku perkuliahan mereka terlihat sangat berprestasi.
Inilah yang disebut sarjana kertas dengan kehebatan memindahkan isi buku ke
dalam lembar kertas ujian.




Sebagai guru, saya merenungkan kehadiran saya dalam kehidupan mereka:
apakah saya hanya menjadi pentransfer pengetahuan atau seorang pendidik?
Saya menyadari betul bahwa pendidik bukanlah sekedar penyampai teori.
Kemampuan mewadahi keingintahuan, memperbaiki watak dan karakter, membentuk
masa depan mereka adalah sama pentingnya dengan memperaktikan teori.




Masalahnya, maukah mereka berubah? Apakah perubahan ini diijinkan orangtua
mereka yang "percaya" bahwa menjadi burung dara lebih baik daripada menjadi
rajawali... []








Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Selain itu, pria bergelar Ph. D. dari University of
Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi,
di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi
manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model social
business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari
entrepreneurship dan kemandirian. Saat ini, dia juga maju sebagai kandidat
Rektor Universitas Indonesia. Terakhir, buku yang ditulis berjudul "Self
Driving": Merubah mental passengers menjadi drivers.




--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke