*Pendidikan Karakter dan Revolusi Mental*

Oleh Suratno






--Pendidikan karakter menjadi sangat penting karena tiga hal;






(1) secara makro, telah terjadi kemerosotan karakter bangsa ditandai oleh
tingginya indeks korupsi, premanisme dan kekerasan.






(2) secara mikro dalam dunia pendidikan juga banyak kasus bullying,
tawuran-antar pelajar, kelemahan sistim kurikulum dan proses pembelajaran
yang tidak kondusif bagi pembentukan karakter bangsa.






(3) Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih sejak kampanye

sudah menegaskan perlunya revolusi mental terkait tiga hal utama kedaulatan
politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam budaya.






Pentingnya pendidikan karakter ini juga seperti kutipan dari Presiden
Soekarno bahwa tidak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter
bangsa. Mahatma Gandhi juga mengatakan bahwa pendidikan tanpa karakter
adalah satu dari tujuh ”dosa-dosa berat”  dari sebuah masyarakat (seven
deadly sins of society).






Istilah pendidikan karakter mulai dicetuskan akhir abad ke-18 oleh seorang
pakar pendidikan dari Jerman yakni Friedrich Foerster (1869-1966) yang
menandai pendidikan karakter dengan 4 ciri yakni;






(1) anak didik menghormati nilai dan normatif yang ada, (2) membangun rasa
percaya diri sehingga anak didik tidak takut suasana baru, (3) adanya
otonomi diri dimana anak didik menghayati dan mengamalkan aturan sampai
kemudian terinternalisasi dalam dirinya, dan (4) keteguhan anak dalam
mewujudkan apa yang dianggap baik dan penghormatan pada komitmen yang
dipilihnya.






Dalam konteks Indonesia, Presiden pertama Soekarno merumuskan UU No. 4/1950
bahwa pendidikan harus sesuai dengan tujuan negara dan perlunya nation and
character building karena masyarakat Indonesia mengalami kerusakan mental
yang parah akibat penjajahan. Tahun 1965 Soekarno memutuskan Pancasila
sebagai dasar Sistim Pendidikan Nasional dan menjadi pelajaran wajib dari
Sekolah Dasar sampai Pergurutan Tinggai. Keputusan ini lalu dipertegas
Presiden Soeharto di tahun 1967.






Tahun 1976 Pelajaran pancasila di ganti menjadi PMP (Pendidikan Moral
Pancasila) dan tahun 1979 Presiden Soeharto menjadikan P-4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai program nasional. Tahun 1994
PMP diganti menjadi PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).






Tahun 2001, di tengah tuntutan reformasi untuk mereformasi Pancasila versi

Orde Baru, PPKN di ganti hanya PKN (Pendidikan Kewarganegaraan). Di dunia
Pendidikan sejak reformasi Pancasila justru terkesan di pinggirkan.
Persepsi peserta didik terhadap pelajaran Pancasila dari SD sampai
perguruan tinggi juga sangat tidak menggembirakan.






Sejak terpilih beberapa bulan lalu Jokowi-JK sudah menegaskan perlunya
revolusi mental. Di bidang pendidikan, hal ini sinkron dengan Pendidikan
Karakter yang belum lama digodok kemendikbud terkait pelaksanaan kurikulum
2013 (K-2013). K-2013 yang relatif pelaksanaannya kacau balau, tapi secara
konseptual mengandung menekanan pada aspek tidak hanya kognitif, tapi juga
afektif, motorik dan social-skill sehingga bila dilaksanakan dengan baik
dan benar bisa mendorong pembentukan karakter di sekolah.






Pusat Kurikulum Kemendikbud telah menyusun strategi pendidikan karekter
ini, yang melalui empat hal yakni pembelajaran (teaching), keteladanan
(modelling), penguatan (reinforcing) dan pembiasaan (habituating).
Nilai-nilai dalam pendidikan karakter diambil dari empat sumber utama
yakni: agama, budaya, Pancasila dan tujuan pendidikan.






Kemendikbud juga telah menetapkan 18 nilai utama dalam pendidikan karakter
yakni relijius, jujur, toleransi, disiplin, kerja-keras, mandiri,
demokratis, ingin-tahu, semangat-kebangsaan, cinta-tanah-air,
menghargai-prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta-damai, gemar-membaca,
peduli-lingkungan, peduli-sosial, dan tanggung-jawab.






Di level sekolah guru akan menjadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan
karakter karena mereka yang langsung berinteraksi dengan anak didik. Guru
sesuai asal katanya di gugu (dipercaya) dan di tiru (menjadi tauladan)
memegang peranan penting. Sayangnya profil guru baik dari profesionalitas,
kompetensi, kesejahteraan dan pemerataan guru antara kota dan desa masih
belum baik. Hal ini harus segera di perbaiki kemendikbud di bawah menteri

baru Anies Baswedan.






Selain itu disadari bahwa bagaimanapun pendidikan karakter ini haru dalam
koridor revolusi mental yang sudah digagas Jokowi-JK. Oleh karena itu,
pendidikan karakter akan saling terkait dengan aspek lainnya dalam
kehidupan bernegara seperti agama, budaya, sosial, politik dan sebagainya.
Oleh karena itu pendidikan karakter di sekolah saja tidak cukup. Porsi yang
besar justru dari keluarga dan masyarakat. Pembentukan karakter
mensyaratkan sistim politik yang sehat, penegakkan hukum yang adil,
kesejahteraan masyarakat yang makin merata dan penghargaan masyarakat atas
nilai, norma dan konsititusi yang sudah disepakati bersama. (SRT) []






Suratno, Ketua Tanfidziyah PCI NU Jerman, dosen Universitas Paramadina
Jakarta yang merupakan peserta Program ARFI 2014.










Artikel disampaikan dalam diskusi Komunitas-Reboan-Frankfurt (KRF), Rabu 5
Nopember 2014 bertempat di ruang serba-guna KJRI Frankfurt. Diskusi
dihadiri sekitar 40-an peserta yang kebanyakan masyarakat Indonesia di
Frankfurt serta mahasiswa Indonesia yang sedang studi disana dan para
peserta Program ARFI-POSFI 2014 kerjasama Studi Asia Tenggara
Universitas-Frankfurt dengan DIKTIS Kemenag RI.






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke