Beberapa Persoalan Ketika PMII Ditarik ke NU

Oleh: Muhammad Najih






“Setiap gerakan memiliki eranya masing-masing,” begitulah kira-kira
ungkapan yang sesuai untuk menanggapi pola gerakan mahasiswa yang sudak
terlihat tak se-enerjik era di masa Soekarno dan juga Soeharto.




Begitu juga halnya dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
kemandekan gerakan dan tumpulnya inisiasi-inisiasi yang dicetuskan oleh
para aktivis mahasiswa yang berada di dalamnya merupakan suatu kenyataan
yang sudah tidak dapat dielakkan dari percaturan gerakan mahasiswa.




Namun, semua yang terjadi tentunya bukanlah tanpa sebab, ketidakmampuan
mengaplikasikan analisis diri dan analisis sosial sehingga tidak mampu
membaca fenomena-fenomena sosial dan juga perubahan zaman mungkin adalah
salah satu sebab mengapa stagnasi gerakan itu terjadi. Bahkan hal tersebut
berakibat pada tumpulnya gerakan PMII dalam ranah yang lebih aplikatif dan
dapat diterima oleh masyarakat.




Selama ini, diakui atau tidak, PMII selalu berfokus pada urusan yang
bersifat politis dibandingkan mencari produk gerakan lain yang mungkin akan
lebih diperlukan bagi masyarakat luas. Gerakan turun jalan, atau yang
sering disebut parlemen jalanan seakan-akan juga masih dianggap sebagai
satu-satunya gerakan yang paling mampu mengubah tatanan sosial yang semakin
carut marut dari tahun ke tahun.




Kader-kader PMII ternyata tidak mampu keluar dari kungkungan tempurung
tersebut sehingga beberapa kali para senior pun yang notabene sudah aktif
diranah aplikasi gerakan lain perlu melakukan intervensi terhadap PMII dan
menitih adik-adiknya untuk segera melakukan reformulasi gerakan. Bahkan
organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU)
juga merasa perlu untuk ikut campur dalam gerakan-gerakan PMII.




NU melalui IPNU dan IPPNU adalah pencetus berdirinya PMII sebelum pada
akhirnya PMII resmi melepaskan diri dari NU karena kader-kader PMII merasa
sakit hati kepada NU yang bertransformasi menjadi partai politik. Tetapi
meskipun PMII menyatakan keluar dari NU, secara kultural PMII masih
memegang nilai-nilai yang ada dalam tubuh NU, bahkan sebagian besar
kadernya juga berasal dari kalangan Nahdliyyin.




Campur tangan NU tersebut dapat terlihat dari salah satu keputusan
Musyarawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes
NU) yang berlangsung pada 1-2 November 2014 di Jakarta yang memberikan
tenggang waktu kepada PMII untuk kembali ke NU sampai Muktamar NU pada 2015
mendatang. Tentunya hal tersebut menuai pro kontra dari berbagai kalangan,
khususnya kader-kader PMII sendiri, terlebih keputusan tersebut disertai
dengan ancaman bahwa NU akan membuat organisasi kemahasiswaan baru ketika
PMII tidak mau kembali ke tubuh NU.




Disadari atau tidak, PMII setelah menyatakan diri terlepas secara
struktural dari NU dan meskipun dikatakan mengalami stagnasi gerakan pada
tahun-tahun terakhir, PMII sebenarnya telah melakukan metamorfosa dan
secara mandiri telah mencoba menata kembali sedikit demi sedikit
gerakannya.




PMII yang dulu hanya dikuasai oleh berbagai universitas Islam, kini telah
mampu merambah dan sedikit demi sedikit mampu menguasai
universitas-universitas umum, seperti UGM, UII dan juga Universitas
Brawijaya, meskipun secara kuantitas masih kalah dengan
universitas-universitas Islam. Selain karena persaingan yang lebih ketat

dan susahnya menjaring kader di kampus-kampus umum, dominasi mahasiswa dari
kalangan santri di kampus-kampus islam juga sangat mempengaruhi ketimpangan
dalam kuantitas kader ini.




Menyikapi susahnya dalam menjaring kader dari kampus-kampus umum untuk
masuk ke dalam PMII, akhirnya PMII mengadakan recruitment bagi seluruh
mahasiswa dari kalangan dan latar belakang apa pun untuk dapat masuk
menjadi anggota PMII. Tidak memandang bahwa itu dari NU ataupun organisasi
keislaman lain, mengingat PMII telah independen dari NU. Misalnya saja yang
terjadi di PMII Komisariat Wahid Hasyim-Universitas Islam Indonesia (UII),
di PMII banyak kader yang berasal dari Muhammadiyah atau juga yang tidak
mengaku sebagai Muhamadiyah dan NU (mungkin bisa disebut nasionalis) tetapi
dengan kondisi ini membuat PMII lebih bisa diterima oleh kalangan luas dan
lebih mudah menebarkan konsep moderat atau rahmatan lil-alamin yang ada
dalam PMII, karena PMII tidak eksklusif yang hanya bisa diikuti oleh
orang-orang NU saja.




Pembatasan yang dilakukan oleh NU dengan menuntut kembalinya PMII ke dalam
tubuh NU hanya akan menjadi bumerang bagi eksistensi PMII dari
kampus-kampus umum. Tentunya juga bagi NU sendiri, mengingat ketika
melakukan suatu proyeksi untuk melihat masa depan, PMII, NU bahkan negara
sekalipun sangat membutuhkan teknokrat-teknokrat, akademisi-akademisi
bahkan birokrat-birokrat handal. Hal semacam itu hanya akan didapatkan
melalui jalur profesionalisme dan proses itu diakui atau tidak pada saat

ini akan lebih condong dikuasai oleh kampus-kampus umum.




Pertanyaannya kemudian apakah PMII dan NU hanya akan puas melahirkan
politisi-politisi handal, sedangkan organisasi-organisasi lain sudah
mendominasi dalam hal pembangunan?




Iming-iming akan kuatnya integritas dan kuantitas kader PMII ketika
bersedia untuk kembali ke tubuh NU tampaknya hanya akan menjadi sebuah
omong kosong belaka melihat suatu kenyataan di mana masih banyak badan
otonom NU yang belum jelas ranah geraknya. Contoh saja IPNU dan IPPNU yang
meskipun secara terminologis memiliki ranah khusus, yaitu pelajar, tetapi
kenyataan di lapangan para penggerak IPNU dan IPPNU terhitung dari Anak
Cabang hingga Pengurus Pusat masih didominasi oleh mahasiswa. Selain itu GP
Ansor ternyata juga memiliki ranah gerak di wilayah kampus seperti di
Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur.




Ketika dilihat lebih lanjut ternyata dalam hal ini NU belum mampu menata
pola gerak setiap badan otonom yang ada di bawah naungannya sehingga ketika
nanti PMII kembali ke NU tidak menutup kemungkinan akan terjadi suatu
tumpang tindih gerakan yang akan menganggu stabilitas kaderisasi dalam
setiap organisasi tersebut. Sehingga, yang perlu menjadi pekerjaan rumah
oleh NU sebelum meminta PMII balik ke rahim NU adalah NU paling tidak,
harus menata ranah dan juga pola gerakan badan-badan otonom yang ada di
bawah naungannya. Karena isu kembalinya PMII ke NU saat ini sudah tidak
bisa lagi dikaitkan dengan “dosa besar” NU di masa lalu yang memilih
bertransformasi menjadi partai politik tetapi sudah menyangkut pola
kaderisasi di setiap kampus.




Terlepas dari apa pun kepentingan NU sehingga menuntut kembalinya PMII ke
tubuh NU bahkan disertai dengan ancaman akan didirikan organisasi tandingan
ketika PMII tidak mau kembali ke NU, setiap kader di bawah naungan PMII
perlu melakukan analisis lebih lanjut terkait hal tersebut. Jangan sampai
keputusan-keputusan yang diambil hanya sebatas untuk mendongkrak
kepentingan pribadi sehingga menutup mata dengan dampak yang akan terjadi
di masa yang akan datang. Tetaplah menjadi kader PMII yang menguasai gerak
dan pikirannya sendiri untuk mencapai ridho sang illahi. Dzikir, fikir dan
amal sholeh. []




Muhammad Najih, kader PMII Wahid Hasyim-UII






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke