Spirit Rakyat dalam Perang 10 November 1945





Kedasyatan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya tidak bisa dilepaskan
dari Resolusi Jihad, Perintah Perang, yang dikeluarkan oleh Hadratush
Syaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari pada Tanggal 22 Oktober 1945. Pernyataan
Perintah Perang itu disampaikan oleh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di depan
Presiden Soekarno di Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, beberapa
hari sebelum pecah Perang 10 November 1945.




Ihwal pertemuan bersejarah itu diungkapkan oleh Ki Setyo Oetomo Darmadi,
adik pahlawan PETA Soepriyadi, di Blok A, Jakarta, Ahad, 7 November 2010.




Menurut mantan anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD) yang akrab dipanggil Ki Darmadi, Bung Karno menemui
Kiai Haji Hasyim Asy’ari ditemani oleh Residen Jawa Timur Soedirman, ayah
Kandung Mantan Gubernur Jawa Timur Basofi Soedirman. Dalam pertemuan
bersejarah di Pondok Pesantren Tebu Ireng itu, kedua pemimpin tersebut
membahas situasi politik terkait kedatangan Pasukan Sekutu dibawa Komando
Inggris, yang membawa serta penjajah Belanda.




“Kiai, dipundi (despundi, bhs Jawa: bagaimana: RED.), bahasa Bung Karno,
Inggris datang niku(itu: Jawa), gimana umat Islam menyikapinya? “ tanya

Presiden Soekarno kepada Rois Akbar NU, yang akrab dengan panggilan Mbah
Hasyim.




Mendapat pertanyaan atas sikapnya dengan kedatangan pasukan Sekutu, yang
berdalih mengambil alih kekuasaan dari Jepang, lawan Perang Dunia Kedua
yang sudah dikalahkan, yang berarti juga menafikan Proklamasi Kemerdekaan,
17 Agustus 1945, Mbah Hasyim pun menjawab dengan tegas.




“Lho Bung, umat Islam jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah: RED.)
untuk NKRI, ini Perintah Perang !” kata Rois Akbar Nahdlatul Ulama
Hadratush Syaikh Kia Haji Hasyim Asy’ari, menjawab pertanyaan, sekaligus
permintaan bantuan dari Presiden Soekarno dalam menghadapi ancaman pasukan
Sekutu.




Pasukan AFNEI mulai mendarat di Jakarta pada Tanggal 29 September 1945
dibawa pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. AFNEI berkekuatan 3
divisi: Divisi ke-23 dibawa Komando Mayor Jenderal D.C Hawthorn, menguasai
daerah Jawa Barat; Divisi ke-5 dibawa Komando Mayor Jenderal E.C.Mansergh,
menguasai daerah Jawa Timur; dan Divisi ke-26 dibawah Komando Mayor
Jenderal H.M. Chambers, menguasai daerah Sumatera. Adapun Brigade ke-49
dibawa pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby yang mendarat di Surabaya
merupakan bagian Divisi ke-23 pimpinan Mayjen D.C Hawthorn. Ketiga divisi
itu bertugas mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Jepang, yang berarti
tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.




Menurut Ki Darmadi, seruan jihad melawan pasukan sekutu yang dikeluarkan
Kiai Haji Hasyim Asy’ari itulah yang dikenal sebagai Resolusi Jihad. “Lalu
Kiai Hasyim Asy’ari meminta Bung Tomo supaya teriak Allahu Akbar untuk
menggerakkan para pemuda. Jasa utama Bung Tomo itu karena diperintah Kiai
Haji Hasyim Asy’ari jadi orator perang,” ungkap Ki Darmadi terkait ihwal
munculnya pekik Allahu Akbar yang dikumandangkan Bung Tomo melaui
radio-radio.




Terkait pertanyaan kenapa Bung Karno menemui Mbah Hasyim Asy’ari, adik
Pahlawan Nasional Soepriyadi, yang lahir di Kediri pada 17 Maret 1930 silam
ini menjawab, “Tujuannya supaya Kiai Hasyim Asy’ari yang memiliki pengaruh
besar di kalangan umat Islam itu menggerakkan jihad. Lalu ada yang hendak
mengenyampingkan, kenapa Bung Karno tidak ke BKR (TKR: RED)? Saya punya
jawaban. Karena jauh sebelum itu, saat pasukan PETA terbentuk, semua
komandan batalyonnya itu ulama. Dan yang punya pengaruh besar terhadap para
ulama, dan santri itu kan Kiai Haji Hasyim Asy’ari,” terang Ki Darmadi.




Di antara para ulama yang memegang kendali komando terhadap pasukan PETA,
salah satu cikal bakal BKR itu, adalah Panglima Divisi Suropati, Kiai Imam
Sujai, Divisi Ranggalawe dengan Panglimanya Jatikusumo, wakilnya adalah
Soedirman, ayah kandung Basofi Soedirman, mantan gubernur Jawa Timur.
Termasuk di Jawa Barat, komandan resimennya seorang ulama yang berjuluk
Singa Bekasi, Kiai Haji Noor Ali.




“Jadi pilihan Bung Karno menemui Kiai Hasyim Asy’ari itu sudah tepat,
karena yang bisa menggerakkan umat Islam ya, Kiai Haji Hasyim Asy’ari.
Terbukti sebelum Inggris masuk seluruh komandan batalyon PETA itu ulama,”
tandas Ki Darmadi.




Presiden Soekarno memang datang ke orang yang tepat, lanjut Ki Darmadi,
dampak perangnya pun luar biasa, seperti digambarkan dalam buku berjudul :
Api Neraka di Surabaya. “Pertempuran di Surabaya itu bagaikan neraka bagi
pasukan Sekutu. Orang bisa mati-matian berperang, itu karena perintah jihad
tadi,” terang Ki Darmadi.




Pelaku dan saksi sejarah lainnya, yaitu Tokoh dan sesepuh Nahdlatul Ulama
(NU) Kiai Haji Muchit Muzadi beberapa tahun lalu mengatakan, Hari Pahlawan
10 November itu tak bisa dilepaskan dengan Resolusi Jihad NU, yang
dicetuskan para ulama di Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945.




“Proklamasi yang diucapkan Bung Karno dan Bung Hatta merupakan tantangan
kepada tentara Sekutu yang saat itu berkuasa setelah Jepang menyerah,” kata
Kiai yang akrab dipanggil dengan Mbah Muchit ini. Pernyataan salah seorang
santri Hadratus Syaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari ini kian menegaskan, bahwa
Deklarasi Resolusi Jihad 21-22 Oktober 1945 merupakan kelanjutan dari hasil
pertemuan Bung Karno dengan Mbah Hasyim.




Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Pada
Tanggal 28 Oktober 1945, pasukan sekutu dibawa Brigadir Jenderal Mallaby
mengambil alih lapangan udara Morokrembangan, dan beberapa gedung penting
kantora jawatan kereta api, pusat telepon dan telegraf, termasuk Rumah
Sakit Darmo.




Pertempuran besar tak terhindarkan antara 6 ribu pasukan Inggris dengan 120
ribu pemuda Indonesia yang terdiri dari para santri, dan tentara. Akibat
kalah jumlah Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia
menghetikan pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno agar mau membujuk
panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran. Terjepit pasukan
sekutu itu digambarkan dalam buku Donnison “The Fighting Cock” sebagai
“Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya”,
kalau tidak dihentikan Soekarno – Hatta dan Amir Syarifuddin.




Jenderal Sekutu Tewas




Karena tidak mau belajar, dari kekalahan pertama, Brigjen Mallaby pun tewas
dalam pertempuran yang pecah pada Tanggal, 30 Oktober 1945. Panglima AFNEI
Letjen Philip Sir Christison pun mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawa
Komando Mayor Jenderal E.C.Mansergh, jenderal yang terkenal karena
kemenangannya dalam Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel,

jenderal legendaris tentara Nazi Jerman. Mansergh membawa 15 ribu tentara,

dibantu 6 ribu personel brigade45 The Fighting Cock dengan persenjataan
serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser,
kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal
terbang jenis Mosquito.




Dengan mesin pembunuhnya itu, Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya, untuk
bertekuk lutut alias menyerah, yang berarti mengakui Indonesia belum
merdeka.




”Ultimatum Sekutu itu pun tak digubris sehingga terjadilah pertempuran 10
November 1945 dengan korban yang tidak sedikit, bahkan para santri dari
Kediri, Tuban, Pasuruan, Situbondo, dan sebagainya banyak yang menjadi
mayat dengan dibawa gerbong KA,” kata Mbah Muchit.




Kiai Kelahiran Tuban Jatim pada 1925 itu menambahkan, semangat dan tekad
untuk merdeka itu merupakan semangat yang dipupuk melalui Resolusi Jihad NU
yang digagas para ulama NU di Jalan Bubutan, Surabaya.”Tapi, terus terang,
semuanya itu tidak tercatat dalam sejarah, karena ulama NU itu memang tidak
ingin menonjolkan diri, sebab mereka berbuat untuk bangsa dan negara demi
ridlo dari Allah SWT, bukan untuk dicatat dalam sejarah,” katanya.




Dampak perlawanan itu sepertinya tidak pernah terpikir oleh pasukan Sekutu,
yang mengultimatum, agar seluruh pemuda, dan pasukan bersenjata bertekuk
lutut. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.




“Kenapa bisa begitu? Karena sebenarnya yang fanatik melbu suwargo (Bhs
Jawa: masuk surga: RED.) itu kan Islam, jadi sudah tidak mikir apa-apa
lagi. Mana ada Jenderal Sekutu tewas dalam Perang Dunia Kedua, itu kan
hanya terjadi di Surabaya, di Indonesia, dengan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby,” kata Ki Darmadi menandaskan.




David Welch menggambarkan dasyatnya pertempuran itu dalam bukunya, Birth of
Indonesia (hal. 66),“Di pusat kota pertempuran adalah lebih dasyat,
jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat
dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing serta anjing-anjing bergelimangan di
selokan selokan. Gelas - gelas berpecahan, perabot rumah tangga,
kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan suara pertempuran
menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong. Perlawanan Indonesia
berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik,
dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang
tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan
lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang”




Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Pada akhir bulan
November 1945 seluruh kota telah jatuh ke tangan sekutu. Namun semangat
perlawanan oleh para pejuang Indonesia yang masih hidup tak bisa
dipadamkan. Para santri, dan tentara mengikuti ribuan pengungsi yang
melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis

pertahanan baru mulai dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di
Timur. Beberapa versi menyebut, korban dari pihak Republik Indonesia
mencapai 20 ribu, bahkan ada yang menyebut 30 ribu jiwa.




Pelaku dan Saksi Sejarah




Pertanyaan, kemudian muncul, bagaimana membuktikan bahwa peristiwa
Pertemuan Bung Karno dengan Rais Akbar Kiai Haji Hasyim Asy’ari itu benar?
Mendapat pertanyaan ini Ki Setyo Oetomo Darmadi, menjelaskan posisinya.

Menurutnya, Inggris datang ke Surabaya itu jauh sebelum meletus Perang 10
November 1945.




“Setelah meletus Pemberontakan PETA yang dipimpin Soepriyadi, saya dan ayah
saya sekeluarga ditahan oleh penjajah Jepang, setelah Proklamasi
Kemerdekaan, yaitu pada Tanggal 25 Agustus kami sekelurga dibebaskan. Usia
saya saat itu 15 tahun, lalu masuk BKR. Karena saya Adiknya Soepriyadi,
saya bisa kenal sama kiai-kiai, di antaranya Pak ud (KH Jusuf Hasyim), Pak
Baidlowi, lalu bapaknya Pak Rozi Munir, yaitu Pak Munasir. Dan kebetulan
saya masih familinya Bung Karno, jadi saya tahu ada pertemuan Bung Karno
dengan Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Hasil pertemuan itu juga disampaikan oleh
Bung Karno kepada para anggota BKR,” ungkap Ki Darmadi menjawab, asal
sumber kesaksian.




Seruan Resolusi Jihad yang disampaikan di depan Presiden Soekarno oleh Rois
Akbar Kiai Haji Hasyim Asy’ari merupakan peristiwa sejarah yang terpendam,
dan hanya menjadi sejarah lisan. Namun, peristiwa tersebut bukan isapan
jempol. Saat penulis meneliti sejumlah arsip Kabinet Presiden di Arsip
Nasional, Cilandak, Jakarta Tahun 2001, penulis menemukan indeks tentang
Resolusi Jihad. Namun saat saya pesan untuk saya baca, ternyata bagian
pelayanan arsip tersebut menyatakan arsip sudah kosong, alias hilang. []






(Abdullah Taruna)






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke