Pesantren, Produktifitas, dan Sastra (2)

Oleh: Fathurrahman Karyadi






--Di banyak pesantren kitab-kitab literatur ilmu 'arudl—sebuah ilmu yang
mempelajari syair Arab—masih banyak diajarkan. Seperti "Mukhtashar
al-Syafi" karya Muhammad al-Damanhuri, "Jawahir al-Addab" karya Ahmad
al-Hasyimi dan sebagainya. Biasanya santri-santri yang mempejari fan ini
adalah mereka yang sudah lulus dari kelas nahwu tingkat "al-Imrithi".






Bagi yang belum mencapai tingkatan tersebut maka tidak diperkenankan
mengkaji 'arudl sebab pembahasan yang disuguhkan agak rumit. Dalam 'arudl
diterangkan bahwa bahr atau not lagu dalam bahasa Arab berjumlah 16 lirik.
Di antaranya yang sering digunakan yaitu bahr al-rajaz.






Hampir seluruh kitab yang berbentuk nadzam (puisi, antonim natsar atau
prosa) yang menjadi acuan di pesantren memakai bahr tersebut. Seperti
Alfiyyah Ibni Malik, al-Imrithi, al-Maqsud, Jawahir al-Maknun,  `Uqud
al-Juman dan masih banyak lagi. Cara melagukan bahr ini  cukup sederhana,
yaitu dengan mengulang-ulang kalimat "mustafilun" sebanyak enam kali pada
setiap baitnya. Seperti contoh di bawah ini:






مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ    مُسْتَفْعِلُنْ
مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ





قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكَِ       أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ
مَالِكِ






Kendati ilmu 'arudl lahir di tanah Arab, bukan berarti kesusteraan bahasa
`ajam (non Arab) tidak dapat dimasuki ilmu 'arudl. Kiai nusatara banyak
mengarang Syair dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda juga Madura yang semuanya
merujuk pada ilmu 'arudl tersebut. Perbedaannya, bila dalam bahasa Arab
terdapat huruf mad (panjang) dan qashr (pendek) sedangkan bahasa `ajam
tidak. Namun tetap saja serasi bila dinyanyikan.






Ada satu hal yang menjadi syarat sebuah syair. Yaitu harus adanya
huruf-huruf yang sama di akhir kalimat. Entah di akhir setiap al-Shadr
al-awwal dan al-Shadr al-Tsani seperti pengalan bait al-Fiyyah di atas,
atau hanya sama pada al-Shadr al-Tsani di baitnya. Seperti Qashidah
al-Burdah yang dikarang Imam Bushiri seluruhnya diakhiri dengan huruf mim
berharakat kasrah. Dalam tata bahasa Arab ilmu yang konsentrasi di bidang
ini disebut ilm al-qawafi.






Almaghfurlah Kiai Bisri Mustofa adalah salah satu sosok kiai nusantara yang
banyak mengarang syair berbahasa Jawa. Salah satu karyanya yang amat
kesohor ialah Tombo Ati. Bahkan saking tenarnya sampai banyak yang tidak
tahu kalau sebenarnya syair yang pernah dilagukan Opick itu dikarang oleh
ayahanda Gus Mus. Kini karya-karya beliau bisa dinikmati lewat dua buah
antologi syairnya berjudul Ngudi Susilo dan Mitera Sejati yang telah
diterbitkan oleh Menara Kudus. Berikut cuplikannya dalam bahr al-rajaz:






Anak Islam kudu cita-cita luhur


Keban dunya akhirate biso makmur


Cukup ilmu umume lan agamane


Cukup dunya kanthi bekti pengerane






Berbeda dengan karya-karya Kiai Bisri yang lebih menanamkan pesan-pesan
moral dan akhlakul karimah, syair karya Kiai Sya'roni Shalih, Magelang
lebih menjurus pada ilmu fikih. Beliau melagukan bab salat lewat buah
penanya yang begitu indah Syi'ir Pashalatan (Semarang: 1962). Begitu pula
Kiai Ahmad Hidayat Hasyim mengarang sebuah kitab syair bahasa Jawa tentang
ubudiyah berjudul Hayya Ala Al Shalat. Bahkan, sebagai rasa cintanya kepada
pondok Tebuireng yang pernah disinggahinya, kiai asal Sumobito, Jombang ini
menyusun biografi panjang Hadratus Syekh KH M Hasyim Asy'ari dalam bentuk
syair berirama rajaz. Insya Allah karya tersebut akan segera dipublikasikan
ke khalayak luas.






Belum bisa dipastikan siapa kiai nusantara pertama yang mengarang syair
baik dalam bahasa Melayu atau Jawa. Maktabah Ahmad Nabhan, Surabaya pernah
menerbitkan kitab Paras Nabi Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam yang berisikan
syair Jawa diakhiri dengan shalawat al-Badriyyah. Kitab yang diduga
dikarang oleh Kiai Ali Manshur, Tuban itu bertarikh hari Sabtu Wage 8
Shafar 1319 H atau sekitar 111 tahun silam.






Kitab itu jelas tidak bisa dijadikan acuan sebagai kitab syair pertama di
nusantara, mengingat sangat banyak ulama terdahulu yang telah menempuh
jalan ke sana. Syekh Hamzah Fanshuri, adalah ulama sekaligus sastrawan
ulung asal Sumatera Selatan yang  hidup pada abad 16. Kini sudah 32 judul

syairnya telah dihimpun dalam The Poems of Hamzah Fansuri oleh Drewes dan
Brakel. Salah satu syairnya berjudul Ikan Tunggal Bernama Fadhil yang
terdiri atas tiga belas bait dan setiap baitnya terdiri atas empat baris:






Ikan tunggal bernama fadhil


Dengan air daim ia washil


'Isyqinya terlalu Kamil


Di dalam laut tiada bersahil






Sebuah sajak ringan yang menyimpan makna dalam. Ikan pada syair di atas
diartikan sebagai nur Muhammad yang memiliki fadl atau keutamaan. Sedangkan
airnya diibaratkan Allah pemilik jagad raya. Maksudnya, Nur muhamad
senantiasa dapat sampai dan bertemu (washil) dengan Allah. Baris ketiga
diartikan sebagai cinta nabi kepada sang khalik yang amat mendalam.
Sedangkan baris keempat merupakan kesimpulan yang dalam tasawuf bisa
diartikan demikian "tidak mudah (tiada bersahil) bagi hamba Allah (ikan)
untuk sampai dan bertemu Allah SWT." []






Fathurrahman Karyadi, adalah lulusan Mahad Aly Tebuireng dan peserta
terpilih Akademi Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke