Naskah Kuno, Pesantren, dan NU

Oleh: Mahrus eL-Mawa






Adakah hubungan naskah kuno, pesantren, dan Nahdlatul Ulama? Jika
jawabannya ada, muncullah pertanyaan berikutnya: Bagaimana hubungan
ketiganya itu? Apakah karena ketiganya itu sama-sama “terpinggirkan”? Atau
termasuk dalam kategori “tradisional”, sehingga kurang mendapat perhatian
dari pemerintah dan masyarakat?






Pada kesempatan ini, penulis ingin mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan cara mengurai ketiganya dalam konteks “al-muhafadhatu ‘alal
qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, melestarikan tradisi lama
yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.”






Dalam tulisan ini, yang dimaksud naskah kuno (selanjutnya disebut
manuskrip) merupakan catatan tulisan tangan, biasanya ditulis di atas alas
kertas Eropa, daluang, ataupun lontar, berkembang sekitar abad ke-17 hingga
awal abad ke-20 di Nusantara. Manuskrip merupakan satu-satunya media yang
digunakan untuk menyimpan pesan ajaran keagamaan dan kebudayaan tertentu,
juga menjelaskan suatu peristiwa tertentu oleh seseorang ataupun kelompok
masyarakat.






Manuskrip sering ditemukan di sekitar kraton (kesultanan, kerajaan),
pesantren/surau/dayah/meunasah, dan orang-orang (koleksi masyarakat) yang
mempunyai hubungan dengan tempat-tempat tersebut. Dalam manuskrip juga
terdapat aksara yang saat ini sudah jarang dipelajari dan dijumpai di
lingkungan “pendidikan nasional”. Aksara dalam manuskrip biasanya
disesuaikan dengan konteks lokal, dimana manuskrip ditemukan.






Contoh ketika Islam berkembang di Nusantara, aksara Arab diadaptasi menjadi
aksara Pego (dengan macam-macam bahasa dan variasi penulisannya), dan
aksara Jawi (untuk bahasa Melayu). Adapun aksara-aksara lainnya yang
terdapat dalam manuskrip antara lain aksara Batak, Bali, Lampung, Lontara
(Sulawesi), dan Jawa. Aksara Jawi dan Pego hingga saat ini, dalam hemat
penulis, biasanya berkembang di sekitar (bekas) kerajaan-kerajaan Islam
(kesultanan), dan komunitas muslim (meunasah, dayah, surau, atau pesantren).






Khusus pesantren, menurut KH Saefuddin Zuhri, kehadirannya tidak dapat
dilepaskan dari tumbuh kembangnya kerajaan-kerajaan Islam, termasuk
kehadiran Walisongo di Jawa. Begitupun dengan eksistensi Islam tidak lepas
dari tulis menulis suatu kitab, seperti ditulisnya dalam Guruku Orang-Orang
dari Pesantren. Karena itu, tidaklah mengherankan bila manuskrip juga
hingga saat ini masih ditemukan di pebagai pesantren (kuno) sebagai cara
untuk melanggengkan ajaran Islam secara tekstual dan kontekstual.






Dalam buku katalog induk naskah-naskah Nusantara jilid 4, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (PNRI) disebutkan tentang naskah koleksi
Abdurrahman Wahid (AW). Koleksi AW ini adalah salah satu bukti manuskrip
yang berada di pesantren sekitar abad ke-18 sampai dengan abad ke-20. Hanya
saja, demi kepentingan yang lebih luas lagi, bersama Martin van Bruimessen
dan Timothy Behrend pada tahun 1993 saat itu Abdurrahman Wahid
menyerahkannya ke tempat yang lebih aman yang ditanggung negara, yaitu
melalui PNRI.






Jumlah koleksi AW di PNRI sekitar 67 naskah dengan kode AW, mulai dari AW 2
sampai dengan AW 130. Sebagaimana kitab yang dikaji di pesantren, jenis
koleksi AW juga beragam, mulai dari Al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Nahwu,
Shorof, Tauhid, dan seterusnya. Di antara kitab fiqih itu Safinah, Sullamut
Taufiq, dan Bidayatul Hidayah.






Nama-nam kitab popular lainnya, seperti as-Samarqandy, Anwanur Risalah, dan
Daqa’iqul Khaliq. Di antara naskah-naskah koleksi AW tersebut seringkali
terdapat pula naskah yang beredar di masyarakat atau kraton, seperti Serat
Yusuf, Mujarabat, Pawukon, dan karya Syekh Haji Abdul Muhyi, Kitab Bayan
al-Qahhar.






Menyadari apa yang telah dilakukan AW di atas, semestinya NU sebagai
organisasi para ulama pesantren dan penerus metode pengajaran Walisongo
juga mempunyai komitmen pada penyelamatan manuskrip. Terlebih lagi, saat
itu AW sedang menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada
periode keduanya. Sayang sekali, sampai dengan AW dipanggil sang kuasa, dan
PBNU telah berganti ketua umumnya untuk kali ketiga periodenya juga belum
ada “gelagat” diteruskan.






Menyahuti slogan “Kembali ke Pesantren”, yang sering didengung-dengungkan
Kang Said sebagai ketua umum, barangkali sudah saatnya, PBNU secara
struktural perlu membuat kebijakan khusus untuk menangani hal pernaskahan
di lingkungan pesantren NU. Hal itu sejalan dengan temuan Amiq tentang
“Tipologi Manuskrip Islam Pesantren di Indonesia” pada Simposium
Internasional Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) pada tanggal 27-29
Juli 2010, bahwa Manuskrip Islam Pesantren (MIPES) di tiga kabupaten Jawa
Timur berjumlah 321 judul, sebagaimana dilakukan oleh Lembaga Pengkajian
Agama dan Masyarakat (LPAM) IAIN Sunan Ampel.






Pesantren di ketiga kabupaten itu adalah Kabupaten Tuban, koleksi milik
Pondok Pesantren Langitan Widang dan koleksi milik Kyai Abdul Jalil di
Pondok Pesantren Darul Ulum Senori.






Lalu di Kabupaten Lamongan, yakni koleksi Pondok Pesantren Tarbiyya
al-Talaba (Pondok Tabah) Keranji Paciran; koleksi pribadi milik Raden
Santoso; koleksi pribadi bapak Rahmat Dasi, dan Masjid Al-Mubarok. Di
kabupaten Ponorogo yaitu koleksi pribadi Ibu Siti Marfu’ah, koleksi pribadi
Kyai Syamsuddin, dan koleksi pribadi Bapak Markuat. Ketiganya berada di
Desa Tegalsari Jetis Ponorogo. Serta, koleksi pribadi Bapak Jamal Nasuhi di
desa Coper Jetis Ponorogo.






Harapan semacam itu juga persis seperti ditulis Oman Fathurrahman sebagai
ketua umum Manassa dalam “NU dan Manuskrip Islam Pesantren” (Seputar
Indonesia, April 2010). Dinyatakan Oman, “Tampilnya KH Said Aqil Siradj
sebagai Ketua Umum Tanfidziyah NU dalam Muktamar di Makassar lalu
memberikan harapan baru pemberdayaan dan penguatan kembali pesantren
sebagai aset kultural bangsa Indonesia.”






Dengan demikian pesantren, NU, dan manuskrip sungguh sangat kait kelindan.
Saatnya pesantren dan NU menjadi “subyek” di tengah geliat kegiatan dan
pengkajian manuskrip pesantren tersebut. Ketika naskah kuno kurang dapat
diakses publik, maka dampaknya bukan sekedar pada naskah dan pemiliknya
saja, tetapi juga penggunanya.






Akhirnya, akankah NU, Pesantren, dan manuskripnya itu tetap
“terpinggirkan”? Semoga adagium “al-muhafadhah” benar-benar
diaktualisasikan dengan tepat. []






Mahrus eL-Mawa, Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Peneliti Pusaat Studi
Budaya dan Manuskrip (PSBM) ISIF Cirebon, dan Pengurus PP LP Ma’arif NU.






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke