Pengajaran Bahasa dan Sastra di Pesantren

Oleh: M. Mustafied






Di pesantren, bahasa Arab merupakan salah satu materi pokok pembelajaran.
Hal ini dilatarbelakangi paling tidak oleh tiga hal. Pertama, teks-teks
kunci yang dipelajari di pesantren, dalam semua fan ilmunya, rerata masih
menggunakan literatur berbahasa Arab.




Kedua, sumber paling dasar dan otentik ajaran pesantren, yakni Al-Qur’an,
Hadist, dan Atsar (opini) Sahabat, juga menggunakan bahasa Arab. Ketiga,
dalam Surah Yusuf Ayat ke-2 ditegaskan oleh Allah Swt, bahwa kitab suci
umat Islam memang diturunkan dalam bahasa Arab. Penegasan ini secara
sosiologis melahirkan dimensi teologis di mana mempelajari bahasa Arab
bukan seperti mempelajari bahasa asing lainnya, namun ada dimensi
“transendental”, dengan kata lain bagian dari ibadah.




Yang menarik, dan banyak disadari berbagai kalangan, materi pembelajaran
bahasa Arab menggunakan teks yang disusun dalam bentuk --sekaligus juga
metode-- sastrawi, yakni puisi atau nazdoman (syi’ir).




Hal ini adalah sesuatu yang tidak ditemukan di komunitas maupun institusi
pendidikan keislaman lain di Indonesia. Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah,
Maqshud, Jauharul Maknun, hanyalah sebagian kecil contoh teks standar yang
dipakai pesantren dalam mempelajari gramatika bahasa Arab.






Keberhasilan menghafal bait-bait syair dalam kitab-kitab tersebut merupakan
prestasi tersendiri di mata santri. Bagi komunitas lain, menghafalkan hal
tersebut barangkali akan menguras energi tersendiri.




Hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi sastra di pesantren sangat kuat,
paling tidak dalam salah satu genre sastra, yakni puisi. Setahu saya, tidak
ada satupun bahasa di dunia ini dirumuskan dan diajarkan dalam bentuk puisi
secara utuh. Banyak pemikir dunia menggunakan puisi atau genre sastra
lainnya seperti novel sebagai arena mengekspresikan gagasan mereka, namun
tidak dalam konteks pembelajaran bahasa.




Jika dilihat lebih jauh, bukan hanya gramatika bahasa Arab, namun disiplin
ilmu lainnya seperti akidah, syariah, tarikh, sampai tasawwuf, tidak jarang
menggunakan genre puisi. Pada sisi lain, harus diakui, karya sastra seperti
cerpen (qishoh qoshiroh), novel (riwayat), sangat jarang ditemukan di
pesantren. Yang paling mendekati adalah semacam hikayat (cerita pendek yang
mengandung hikmah).




Sementara karya-karya tassawuf besar yang ditulis dengan keindahan sastrawi
tingkat tinggi seperti karya-karya Imam Qusyairi, Rumi, Imam Bushiri, lebih
dikategorikan sastra sufi, sesuatu yang disebut Danarto sebagai genre
tersendiri.




Barangkali dari khazanah di atas kemudian muncul istilah “sastra
pesantren”. Sebuah istilah yang masih dalam perdebatan baik dalam kalangan
pesantren maupun luar. Bagi yang setuju dengan istilah sastra pesantren,
dapat dipetakan dalam beberapa hujah.




Pertama, pesantren memang kaya dengan tradisi sastra seperti diuraikan di
atas. Hal ini lebih menunjuk pada konsumsi sastra oleh kalangan pesantren.
Konsumsi sastrawi ini, yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, ketika
dieksternalisasikan (diterjemahkan, dipentaskan, dinikmati publik) tersisa
impresi sastrawi yang sublim dan mendalam. Kedua, banyak sastrawan lahir
dari latar belakang sosio-religio-kultural pesantren. Karya sastra mereka
sedikit banyak dipengaruhi oleh dunia pesantren sebagaimana terekspresikan
dalam struktur psikologi dalam karya maupun settingnya.




Ketiga, sastra pesantren membedakan dengan dirinya dari sumber dan
kandungan nilai yang hendak disampaikan kepada publik. Keempat, banyak
karya sastra lahir dari dunia pesantren.




Sementara bagi yang tidak setuju membangun alasan sebagai berikut ini.
Pertama, apa yang dimaksud dengan tradisi sastra di pesantren tidaklah
berbeda dengan genre sastra konvensional. Artinya, sastra pesantren
belumlah sampai pada pembentukan satu genre tersendiri, sehingga dapat
mengidentifikasi diri sebagai sastra pesantren. Bahkan, produk sastra yang
disebut sebagai sastra pesantren seperti Alfiyyah merupakan karya ulama
luar, bukan dari pesantren sendiri.




Kedua, para sastrawan yang berlatar belakang pesantren adalah mereka yang
mengalami proses dan pematangan sastrawi di luar habitus pesantren.
Pesantren sebatas latar sosial, sementara proses kreatif itu lebih banyak
dibentuk dalam interaksinya dengan elemen-elemen luar pesantren, atau
institusi lain.




Ketiga, setiap karya sastra selalu memuat pesan, baik nilai, gagasan,
ideologi, maupun kepentingan tertentu. Pendek kata, nilai yang tersirat
bukanlah semata-mata khas pesantren. Keempat, banyaknya karya sastra dari
pesantren hanyalah atributif, sebagaimana bisa juga dilekatkan pada sastra
universitas, dan lainnya.




Tulisan sederhana ini tidak ingin masuk dalam debat tersebut. Bagi penulis,
dalam derajat tertentu, tidak dibutuhkan identifikasi khusus sastra
pesantren. Justru yang terpenting adalah menyadari bahwa susastra pesantren
telah mempengaruhi sejarah panjang sastra Nusantara. Pengaruh tersbeut
bukan hanya di ranah istilah (kasidah, burdah, hikayat) namun juga
kandungannya.




Tulisan pendek ini hanya akan memberikan beberapa catatan. Pertama, pada
periode tertentu, terutama, abad 18-19, telah muncul berbagai ajaran
pesantren yang ditulis dalam bentuk puisi, baik itu berbahasa Arab maupun
lokal.




Para penulis tersebut boleh dikatakan sepenuhnya murni produk proses
pendidikan pesantren. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari mengarang kitab
al-Nurul Mubin, KH Abdul Hadi Zahid Langitan menerjemahkan kitab Qashidah
al-Munfarijah dengan model kitab makna gandul, Mbah Kiai Dimyathi Tremas
mengarang syair al-Asmaul Husna, seorang ulama asal Banjarmasin bernama
Ahmad Jamhuri juga menulis syair Kanz al-Asna. Di Cirebon, Kiai Nur Khalish
Hannan dari Ponpes Al-Hikmah, menulis nadzam 99 al-Asmaul husna. Itu
sekedar contoh, yang tidak disebut lebih beragam dan lebih banyak.




Kedua, saat ini telah muncul karya sastra, baik puisi maupun novel, juga
humor, yang lahir dari generasi muda pesantren. Karya-karya yang
diterbitkan beberapa penerbit seperti Matapena, Diva, dan lainnya, secara
jelas menggambarkan arus tersebut.




Meskipun, sekali lagi, proses mereka tidak hanya diperoleh di pesantren.
Namun karya mereka telah menunjukkan sebentuk transformasi dari produk pada
abad 18-19 tersebut. Dua hal yang mencirikan karya ini adalah latar sosial
pesantren yang khas, dan nilai dasar yang hendak disampaikan. Silakan
tengok karya-karya, misalnya Acep Zamzam Noor, D. Zawawi Imron, Hamdi
Salad, Mathori A Elwa untuk puisi. Ahmad Tohari, Gus Mus, untuk novel, dan
cerita pendek.




Ketiga, jika melihat struktur kurikulum, fokus utama pengajaran pesantren
saat ini bukanlah pada aspek sastrawinya, namun pada aspek kebahasaannya.
Hal ini barangkali juga menjadi penjelas kenapa modal sosial dan kultural
pesantren belum juga mengarah ke pembentukan genra sastra khas pesantren.
Hanya saja timbul pertanyaan, mengapa pesantren di era abad 18-19 berhasil
melahirkan ulama-ulama produk murni pesantren dengan karya sastra yang
bernilai tinggi, sedangkan saat ini cukup jarang? Sebagai pengecualian
langka dapat disebut, seperti KH Sahal Mahfudz, yang menulis beberapa karya
puisi seperti al-Tsamarat al-Hajiniyyah yang berisi 166 bait yang
menjelaskan dasar-dasar fiqih.




Keempat, terlepas dari realitas di atas, pesantren merupakan ruang
sosial-budaya, di mana modal sosial bersastra begitu kaya dan merasuk
hingga sumsum kesadaran terdalam para santri. Di pesantren, tiada hari
tanpa berpuisi. Dari pelajaran sampai berdoa pun kaya akan nuansa
sastranya. Bermunajat di keheningan malam selalu sambil melafalkan
bait-bait indah. Artinya, pesantren pada dasarnya sangat berpeluang
menjadikan dirinya sebagai institusi yang produktif dalam menghasilkan kaya
sastra.




Dalam konteks ini, politik identitas sastra pesantren tidak lagi relevan.
Proses sejarah yang akan menjawab akan ke mana pada akhirnya tradisi sastra
di pesantren. Jika pada akhirnya membentuk sebuah genre tersendiri, maka
publik dengan sendirinya akan mengakui adanya sastra pesantren.




Jika tidak, tanpa menggunakan istilah tersebut, publik juga paham dan
mengakui kontribusi pesantren dalam sastra dan perannya menjaga identitas
sastra nusantara.




Untuk mewujudkan hal ini memang dibutuhkan sekian prasyarat. Prasyarat
paling pokok adalah dua hal. Pertama, atmosfer akademik pesantren harus
mampu menumbuhkan sekian kegelisahan ketika bersentuhan dengan realitas
sosial. Kegelisahan adalah pertanda bekerjanya respons kreatif manusia
terhadap berbagai anomali dan krisis sosial di lingkungannya. Tanpa
kegelisahan mustahil lahir pemikiran besar.




Kedua, pengajaran bahasa Arab harus lebih disetimbangkan dengan pengajaran
sastranya, sehingga santri memiliki kemampuan teknis berkarya sastra secara
kreatif.




Titik temu akan kegelisahan santri dan kemampuan bersastra berpotensi
melahirkan sastrawan-sastrawan besar dari pesantren dengan ide-ide
transformatif dari pesantren. Kondisi objektif realitas sosial sangat
membutuhkan arus sastra baru di tengah arus budaya pop yang hedonistik dan
sekularistik (menjauhkan publik dari nilai-nilai profetik), dan
materialisme kebudayaan yang menggerus tugas liberasi dan pencerahan
sastra. Sastra pesantren merupakan salah satu kemungkinan yang paling
mungkin diharapkan. []






M. Mustafied, Pengasuh Pesantren Global Pelajar-Mahasiswa, PP Aswaja
Nusantara, Mlangi Yogyakarta




--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke