Raja Abdullah dan Wahabi Rabu, 28 Januari 2015, 14:45 WIB 
 Komentar : 60 
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/01/28/nivmw6-raja-abdullah-dan-wahabi#comments-list
 

 


 

 Reuters
 
 Raja Abdullah bin Abdulaziz.
 A+ 
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/01/28/nivmw6-raja-abdullah-dan-wahabi#
 | Reset  
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/01/28/nivmw6-raja-abdullah-dan-wahabi#|
 A- 
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/01/28/nivmw6-raja-abdullah-dan-wahabi#

 

 REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nurman Kholis
Peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat 
Kementerian Agama
 Raja Kerajaan Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz wafat dalam usia 90 tahun 
pada 23 Januari 2015. Para ulama di negara itu dikenal sebagai penyebar ajaran 
Wahabi. Mereka pun gencar propaganda menghilangkan tradisi turun-temurun di 
kalangan umat Islam yang menurut mereka syirik atau bidah, seperti membuat 
bangunan di kuburan, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, dan percaya kepada 
kiai yang dianggap bisa menjadi perantara mengobati penyakit.

Dalam aspek tauhid, para ulama Arab Saudi juga gencar menyebarkan kitab ajaran 
tauhid versi Wahabi. Di dalamnya, antara lain, mengajarkan tauhid rububiyah, 
uluhiyah, dan asma wa al-shifah. Sebagaimana di Indonesia, kini terjadi 
kontestasi kitab-kitab tersebut dengan kitab tauhid menurut versi ulama 
Ahlussunnah wal jamaah. Di dalamnya antara lain berisi ajaran sifat 20 yang 
wajib diketahui bagi Allah, yaitu wujud, qidam, baqa, dan seterusnya.

Berbagai kajian pun telah dilakukan terkait penyebaran ajaran Wahabi dan ajaran 
dari Timur Tengah lainnya ke Indonesia. Salah satunya hasil penelitian Abdul 
Munip melalui disertasinya di UIN Yogyakarta. Disertasi itu telah dikemas ke 
dalam buku berjudul Transmisi Pengetahuan Timur Tengah Ke Indonesia: Studi 
Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia, 1950-2004.
 Dalam buku yang diterbitkan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan 
tahun 2010 ini dijelaskan penyebaran ajaran Wahabi melalui buku-buku terjemahan 
berbahasa Indonesia. Penerbit buku terjemahan itu tidak hanya dari Indonesia, 
juga Kedutaan Besar Arab Saudi yang dibagikan gratis kepada jamaah haji.

Dalam perkembangannya, ajaran Wahabi semakin banyak diterima di Indonesia. 
Bahkan ajaran itu juga disebarkan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Sebagaimana 
hasil penelitian Tim Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan tentang peta 
lektur keagamaan pada 2013.

Melalui penelitian ini diperoleh buku berjudul Mustasyar MWC NU Menggugat 
Maulid Nabi karya Buchari. Ia mantan anggota Pengurus Pergerakan Mahasiswa 
Islam Indonesia (PMII) tahun 1965 saat kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah 
cabang Serang, dan Wakil Ketua Persatuan Guru NU Kabupaten Lebak 1969-1974. 
Jabatan terakhirnya Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama, Serang, Banten 
(2008-2009).

Perubahan keyakinan Buchari dari pro dan kontra terhadap acara ritual yang 
dipraktikkan NU bermula sejak ia dan istrinya berangkat haji pada 2007. Selama 
di sana, ia membaca buku-buku karya ulama berpaham Wahabi, antara lain, 
Kasyfusy Syubuhat fit Tauhid (Menyingkap Kesalahpahaman dalam Tauhid) karya 
Muhammad bin Abdul Wahhab,Al-Aqidah ash-Shahihah wa Ma Yudladhuha (Aqidah Yang 
Benar dan Hal-Hal yang Membatalkannya) karya Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin 
Baz, dan Haji, Umrah, dan Ziarah Menurut Kitab dan Sunnah, juga karya Syekh 
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.

Berdasarkan bacaannya dari buku-buku karya ulama Wahabi ini, Buchari 
menyatakan, seorang Muslim yang konsisten mengikuti Alquran dan as-Sunnah tidak 
akan mengikuti upacara peringatan 'Maulid Nabi SAW', Isra Miraj Nabi SAW, dan 
Nuzulul Quran. Sebab, tradisi ini tidak bersumber dari Alquran dan as-Sunnah 
as-Shohihah.
 Ia juga menegaskan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal 
adalah mencangkok penganut agama Nasrani dalam menyambut perayaan Hari Natal 
(Hari Lahirnya Yesus Kristus) setiap 25 Desember (halaman 117 dan 211).

'Maulid' Arab Saudi
Di kalangan pendukung ajaran Wahabi terjadi dinamika perbedaan pemahaman 
terhadap ajaran yang dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut. Hal 
ini sebagaimana dituturkan KH Shiddiq Amien saat menjabat ketua umum Persatuan 
Islam (Persis), organisasi yang didirikan dengan spirit memberantas takhayul, 
bid’ah, dan khurafat.
 Menurutnya, dari dua lembaga donor Arab Saudi yang biasa membantu Persis, 
selanjutnya hanya satu saja. Lembaga lainnya belakangan menilai Persis bukan 
'Salafy' (Wahabi) karena jamaah Persis banyak yang tidak berjanggut, celananya 
isbal (melewati mata kaki), asatidzah-nya masih pada merokok, dan sebagainya 
(Shiddiq Amien, Muktamar: Media Memperkokoh Solidaritas dan Kebersamaan, dalam 
majalah Risalah Edisi Khusus Muktamar Persis, Nomor 5 Tahun 43 Jumadit Tsaniyah 
1426/Agustus 2005, halaman 48.

Dinamika penganut paham Wahabi lainnya juga muncul dalam 10 tahun terakhir. 
Sejak kepemimpinan Raja Abdullah, Arab Saudi mulai menyelenggarakan hari 
nasional. Peringatan ini digelar setiap 23 September, awal mula berdirinya 
Kerajaan Arab Saudi. Pada mulanya acara ini mendapatkan tentangan dari para 
ulama di sana. Meskipun, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tetap melangsungkan 
tanggal itu sebagai hari jadi negara.

Karena itu, terjadi hal yang paradoks. Ulama-ulama Saudi mengharamkan gambar 
(fotografi), tapi pada saat yang sama foto-foto raja dan pejabat kerajaan 
banyak dipasang di pinggir jalan. Paradoks lainnya adalah penyelenggaraan acara 
hari jadi negara ini berpatokan pada tanggal Masehi bukan tanggal Hijriyah (AM 
Waskito, 2014, halaman 194-195).

Berkenaan dengan masa kecil salah seorang cucu pendiri Kerajaan Arab Saudi 
Muhammad Ibnu Saud lainnya yang juga bernama Abdullah, Buya Hamka menceritakan 
pengalamannya saat ibadah haji yang kedua pada 1950. Menurutnya, suatu hari 
Amir Abdullah putra Amir Faisal putra Ibnu Saud jatuh dari atas kuda hingga 
kakinya patah. Dokter-dokter di Makkah pun memeriksa dan menyatakan kaki anak 
itu harus dipotong. Kabar ini sampai ke dukun anak dari Palembang yang sedang 
bermukim di Arab.

Ia pun mengurut sekerat rotan sambil memejamkan matanya dan mulutnya 
komat-kamit membaca mantera hingga kaki anak itu sembuh. Raja Arab Saudi pun 
bertanya, "Apakah itu sihir?" Dia menjawab, "Tidak. Saya tidak ahli sihir." 
"Mengapa rotan yang engkau urut bukan kaki Amir?" "Amir seorang mulia, tanganku 
tidak boleh menyentuhnya."

"Apakah yang engkau baca?" "Doa kepada Tuhan, dengan iktikad yang putus, dengan 
tauhid yang khalis (murni), tidak mengharap pertolongan dari yang lain." Raja 
dan amir-amir pun heran. "Tamanna! Katakanlah apa yang engkau suka!" 
"Kesukaanku hanya satu." "Apa?" tanya Raja. "Semoga Baginda Raja diberi umur 
yang panjang."

Hamka pun menjelaskan, konon Raja memerintahkan tukang urut dari Palembang itu 
mengepalai rumah sakit kerajaan di Makkah. "Anta tabib, gairak musy tabib 
(Engkau yang dokter, yang lain itu bukan dokter)." Namun, perintah Raja itu 
ditolaknya. Sementara, banyak orang Arab mengatakan dukun itu bodoh. Sebab, ia 
tidak menyahut "tamanna" dengan baik.

Ia tidak meminta rumah, mobil, uang, dan sebagainya melainkan hanya mengatakan 
supaya usia Raja dipanjangkan. Menurut Hamka, itu bukan kebodohan, melainkan 
jiwa asli bangsa Indonesia (Henry Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam, jilid 
II, 2013, halaman 852).

Karena itu, kemampuan dan akhlak dukun beranak asal Indonesia ini dapat 
diasumsikan diperoleh para ulama terdahulu secara turun-temurun. Dakwah mereka 
pun membuahkan hasil yang ajaib. Nusantara yang sangat jauh dari Arab dan 
terdiri dari berbagai macam pulau, suku, dan bahasa, mayoritas penduduknya 
menjadi Muslim. Para penduduk berbagai suku, pulau, dan bahasa ini dapat 
bersatu dalam wilayah melalui terjalinnya silaturahim antarsultan dan 
antarulama berbagai daerah.

Karena itu, apakah pendirian bangunan berikut nisan dan nama yang di kubur itu 
bidah yang sesat? Hal ini tetap menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. 
Namun, tradisi ini bagi sebagian besar Muslim di Nusantara telah memberikan 
manfaatnya, sebagaimana setelah gelombang tsunami di Aceh pada 26 Desember 
2004. Jika di kompleks makam Sultan Malikus Saleh tidak terdapat batu nisan dan 
nama beliau, maka tidak diketahui jasad siapa yang Allah selamatkan dari amukan 
tsunami.

Daripada terus berdebat tentang syirik atau bidahnya tradisi secara 
turun-temurun itu, umat Islam saat ini sebaiknya bersatu. Dengan sama-sama 
melihat dalam perspektif sunnah, apakah bangsa Arab yang satu daratan, satu 
bahasa, serta umumnya satu agama, tapi pecah jadi belasan negara sejak 
berdirnya Arab "Saudi" pada 1932 adalah bidah atau sunah?
 Sebaliknya, Nusantara yang sejak zaman para sultan dulu meski beda pulau, 
suku, dan bahasa, tapi bisa bersatu dalam satu wilayah di nusantara mendekati 
sunah atau mendekati bidah? Pertanyaan ini harus dimunculkan. Sebab, di dalam 
Alquran dan hadis yang ditulis dalam bahasa Arab, umat Islam diperintahkan 
untuk bersatu.

 

Kirim email ke