Mubahalah dan Sumpah Pocong

Oleh: Moh Mahfud MD






Setelah pada awal pekan ini, 16 Februari 2015, hakim Sarpin Rizaldi
mengetokkan palu bahwa penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah, maka saling kecam dan
saling bully antarpendukungKPK dan Budi Gunawan memanas.




Ada yang mengecam hakim karena dianggapnya merusak tata hukum. Ada yang
bersorak dan menuding KPK keok dan terbukti telah melakukan tindakan
sewenang- wenang dalam menetapkan seorang tersangka. Oleh para penyerangnya
KPK semakin dipojokkan dengan pemberhentian sementara Abraham Samad dan
Bambang Widjojanto karena telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polri
dalam tindak pidana umum dan diberhentikan sementara oleh Presiden.




Di jejaring sosial saling serang itu lebih seru dan liar, banyak yang tanpa
argumen dan menyesatkan pemahaman. Misalnya ada cuitan di Twitter yang
kemudian di-retweet secara berantai bahwa yang menimpa KPK sekarang ini
membuktikan bahwa mubahalah sedang bekerja dan terjadi di KPK.




Bagi orang yang paham sedikit saja tentang fikih Islam, pastilah segera
tahu bahwa yang mencuitkan mubahalah bekerja di KPK itu tidak paham arti
mubahalah. Mubahalah adalah saling bersumpah dan kesediaan menerima laknat
Allah melalui ritual atau cara tertentu jika keterangan atau tuduhan dan
bantahannya tidak benar.




Di dalam mubahalah kedua pihak yang berselisih sama-sama menyatakan, “Kalau
Anda benar dan saya salah maka saya bersedia dilaknat oleh Allah.” Di dalam
syariat Islam ketentuan tentang mubahalah tercantum di dalam Alquran, Surat
Ali Imran ayat (61) yang diturunkan oleh Allah karena pertentangan paham
akidah yang sangat penting antara umat islam dan kaum Kristen.




Seorang pendeta Kristen dari Najran bersikeras bahwa Isa (Jesus) anak Allah
sedangkan menurut Islam Isa adalah manusia biasa yang diangkat menjadi
nabi. Untuk menyelesaikan perbedaan tajam yang tidak bisa dipertemukan itu
maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengajak pendeta Najran
melakukan mubahalah, yakni sama-sama bersumpah bahwa dirinya benar dan
siapa yang tidak benar bersedia mendapat laknat dari Allah.




Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, pendeta dari Najran itu tidak
bersedia ber-mubahalah dan memilih membayar jizyah (denda) atas
pernyataanpernyataannya. Pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad sering
dilakukan mubahalah untuk menyelesaikan perselisihan yang tidak mencapai
titik temu sehingga perselisihan diakhiri dan masing-masing menyerahkan
akibatnya kepada Allah dengan bersedia dilaknat jika berdusta.




Jadi, yang namanya mubahalah ada cara ritualnya, yakni bersumpah dengan
kalimat dan cara tertentu dan dengan saksisaksi resmi, yakni keluarga
terdekat semua pihak yang bermubahalah. Di dalam masyarakat kita dikenal
juga adanya sumpah pocong. Dalam praktiknya sumpah pocong sering dicampur-
aduk dengan ritual agama secara bidah dan khurafat.




Misalnya, pihak-pihak yang bersumpah dibungkus dengan kain kafan seperti
mayat, kemudian ditidurkan di shaf masjid dan dituntun oleh pemuka agama
setempat untuk saling bersumpah, bersedia dilaknat oleh Allah jika dirinya
bohong. Sumpah pocong ini sering ditakuti oleh orang yang berbohong karena
ada kepercayaan bahwa laknat Tuhan akan terjadi secepatnya, misalnya, mati
disambar petir, mati terbakar seluruh keluarga, mati tertimpa pohon, atau
ditabrak mobil.






Dalam semua perkara yang pernahditanganiolehKPK, sejak berdirinya pada
tahun 2003, tidak pernah ada mubahalah. Tidaklah benar dan mengadaada kalau
dikatakan bahwa akibat mubahalah sekarang sedang bekerja di KPK. Sebab KPK
maupun orang yang diadili karena dakwaan korupsi tak pernah ber-mubahalah.




Memang terkadang ada juga yang menantang sumpah pocong atau ber-mubahalah,
tetapi tantangan itu tak pernah dipenuhi. Sesaat setelah dijatuhi vonis di
Pengadilan Tipikor Jakarta, misalnya, Anas Urbaningrum mengajak mubahalah,
tetapi mubahalah itutakpernahterjadi. Sejak dulu KPK tak pernah meladeni
ajakan sumpah pocongatau mubahalah, melainkan melakukan pembuktian melalui
proses peradilan yang di dalamnya memang ada sumpah.




Di pengadilan memang ada acara sumpah untuk para saksi tetapi hanya sumpah
biasa, bukan sumpah pocong dan bukan mubahalah. Sistem peradilan kita tidak
mengenal sumpah pocong atau mubahalah. Oleh sebab itu, ketika beredar
cuitan bahwa apa yang menimpa KPK sekarang ini adalah karena bekerjanya
mubahalah, agar tidak menyesatkan, saya pun bercuit bahwa apa yang terjadi
di KPKtakadaurusannya dengan mubahalah-mubahalahan.




Kalaulah peristiwa yang terjadi di KPK ini akan dikaitkan dengan kasus Anas
Urbaningrum yang dipidana dan pernah menantang mubahalah, maka frase
“mubahalah sedang bekerja” juga salah karena dua hal. Pertama, tak pernah
ada pelaksanaan mubahalah sebab tantangan Anas tak ditanggapi sama sekali
baik oleh hakim maupun oleh KPK.




Kedua, jauh sebelum adanya tantangan mubahalah KPK sendiri selalu mendapat
hantaman dari delapan penjuru angin. Kalaulah mau dipaksa dikait-kaitkan
maka, mungkin, istilah awam yang ada hubungannya adalah kualat, bukan
mubahalah. Hantaman yang terjadi pada 2009 malah lebih dahsyat. Komisi
pemberantasan korupsi di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman
dengan berbagai cara.




Tak ada urusan denganlaknatkarena mubahalah. Lagipula, kalau soal laknat
Allah terhadap korupsi atau penyuapan, itu tak perlu pakai mubahalah segala
karena sudah ada Hadis sahih, “Laknatullah ala al-raasyi wa al-murtasyi. “
Terjemahannya: Allah melaknat penyuap dan penerima suap. []






Koran SINDO, 21 Februari 2015
Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Konstitusi






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke