KH Ali Maksum, NU, dan Muktamar Ke-33

Oleh: Muhammadun






PADA 28 Februari ini, semua warga nahdliyin memperingati Haul Ke-26 KH Ali
Maksum, rais aam PB NU 1981–1984. Peringatan haul tahun ini mempunyai
signifikansi tersendiri karena tidak lama lagi Nahdlatul Ulama (NU)
menyelenggarakan Muktamar Ke-33 di Jombang, 1–5 Agustus mendatang. Kiai Ali
Maksum merupakan rais aam, pemimpin tertinggi NU, setelah NU kehilangan
tokoh karismatik Rais Aam KH Bisri Syansuri pada 1980.






Saat itu terjadi konflik dan ketegangan meruncing antara Situbondo dan
Cipete. Kiai Ali Maksum yang dikenal sebagai ’’kamus berjalan’’ mampu
menjadi ’’penengah’’. Dia juga dikenal berpikir moderat dan bisa merangkul
semua kalangan. Karena hidup di kota pelajar, Jogjakarta, Kiai Ali bukan
hanya menjalin silaturahmi dengan para kiai, tetapi juga akademisi. Bahkan,
beliau pernah menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga.






Dari sini, Kiai Ali mempunyai ketegasan dan kecermatan sekaligus keluwesan
dalam membangun jaringan antarulama dan intelektual. Kalau akhirnya menjadi
rais aam, itu memang kemampuan dia yang diakui semua pihak. Apalagi, dia
lahir dari rahim salah seorang pendiri NU, Mbah Maksum Lasem.






Inspirasi Seorang Rais Aam






’’Sesungguhnya aku diberikan kepercayaan atas kalian. Padahal, aku bukanlah
yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, jika kalian melihatku melenceng,
luruskanlah aku, hindarkanlah aku dari kesalahan, dan tegurlah aku sampai
ke tempat yang baik….’’






Kalimat itu diucapkan Kiai Ali Maksum sambil meneteskan air mata ketika
mendapat amanah sebagai rais aam dalam Munas Alim Ulama di Kaliurang
Jogjakarta, 1981. Sebelumnya, Kiai Ali tidak mau menempati jabatan yang
ditinggalkan KH Bisri Syansuri karena sikap tawaduk yang sangat tinggi.

Tetapi, para kiai sepuh menghendaki Kiai Ali bersedia sehingga Gus Dur dan

Gus Mus harus rela menanti di kediaman beliau untuk mengetahui kesediaannya
menjadi rais aam.






Kiai Ali tidak mau memburu jabatan, apalagi sekelas rais aam. Tetapi,
beliau tidak diperbolehkan oleh ajaran Islam untuk menghindari tanggung
jawab. Makanya, kalau ada yang menyeleweng dalam kepemimpinannya, Kiai Ali
siap ditegur dan diluruskan. Jabatan rais aam itu dijalankan hingga
Muktamar Situbondo pada 1984. Beliau tidak mau dicalonkan lagi karena
menginginkan regenerasi tumbuh berkembang di dalam NU. Akhirnya, KH Ahmad
Siddiq menggantikan dia sebagai rais aam PB NU.






Walaupun sudah tidak menjabat rais aam, Kiai Ali tetap setia mengawal
perjalanan NU. Bagi Kiai Ali, NU adalah jalan hidup yang hak (benar). Ada
lima pesan yang ditegaskan Kiai Ali untuk warga NU. Pertama, al-‘alimu wat
ta’alum bi nahdlatil ulama. Warga nahdliyyin mesti mempelajari apa dan
bagaimana NU. Kedua, setelah mempelajari juga perlu untuk diamalkan dan
diajarkan (al-amalu bi nahdlatil ulama). Ketiga, jihad bi nahdlatil ulama
(jihad dengan jalan NU). Keempat, ash-shabru bi nahdlatil ulama (sabar
dalam berjuang bersama NU). Kelima, ats-tsiqotu bi nahdlatil ulama
(memiliki keyakinan terhadap perjuangan NU).






’’Kita mesti yakin bahwa NU merupakan sebuah ormas yang mendapat rida
Allah. Berjuang bersama NU dapat membawa kita masuk ke surga,’’ tegas Kiai
Ali dalam buku Ajakan Suci (1995).






Muktamar Ke-33 NU






Keteladanan dan semangat perjuangan Kiai Ali harus menjadi catatan serius
dalam Muktamar Ke-33 NU. Jangan sampai jabatan rais aam dan ketua umum PB
NU menjadi komoditas politik. Padahal, Kiai Ali malah menangis saat
menerima jabatan itu. Kiai Bisri Syansuri juga tidak mau menerima jabatan
rais aam selama masih ada Kiai Wahab Hasbullah. Kiai Wahab tidak mau
menerima jabatan rais akbar setelah KH Hasyim Asy’ari wafat, tetapi diubah
menjadi rais aam. Demikian juga yang dijalankan Kiai Sahal Mahfudh dalam
Muktamar Cipasung pada 1994 ketika Kiai Ilyas Ruhiyat bersedia.






Bagi Kiai Ali Maksum, ulama dalam NU selalu berada pada posisi yang
menentukan. Ulama bukan sekadar staf ahli yang dipakai jika perlu. Ulama
adalah pemimpin tertinggi, pemutus kata, dan penentu arah organisasi. Kalau

kita mau dalam NU, berarti telah mau menerima kepemimpinan ulama dalam
artian tersebut. Kiai Ali juga menegaskan bahwa yang dimaksud suara ulama
dalam kepemimpinan NU adalah bukan suara seorang ulama atau kiai. Yang
dimaksud suara ulama adalah suara syuriah sebagai lembaga tertinggi dalam
kepemimpinan NU.






Mekanisasi kepemimpinan seperti itu bagi Kiai Ali sesungguhnya telah
disadari bersama karena tidak ada satu pun pemimpin NU, bahkan pemimpin
terendah pun belum memahami maksud ayat, “sesungguhnya yang takut kepada
Allah hanyalah ulama”.






’’Karena itu, jika ada langkah-langkah yang tidak sesuai dengan petunjuk
syuriah, apalagi bertentangan, adalah tidak benar dan itu langkah sesat,
walaupun kelihatannya mengatasnamakan NU. Dan langkah inilah menggusur
kesucian NU, mengotori citra NU dan mencemarkan nama harum para leluhur NU
yang sudah almarhum. Naudzubillah,’’ ujar Kiai Ali memperingatkan warga NU
dengan sangat tegas. []






JAWA POS, 27 Februari 2015
Muhammadun  ;  Peneliti Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PW NU DI Jogjakarta;
Analis pada Program Pascasarjana UIN Jogjakarta






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke